Mohon tunggu...
Shierly Safarina
Shierly Safarina Mohon Tunggu... -

student at Universitas Negeri Jakarta in Educational Technology

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tanpa Persekolahan

16 Agustus 2014   17:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:23 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang dimaksud persekolahan tanpa pendidikan disini adalah sebuah kekeliruan yang paling mendasar bahwa pendidikan hanya sekedar dilakukan di persekolahan belaka. Pendidikan nonformal, apalagi pendidikan informalyang ada dikeluarga di nomor duakan karena dianggap tidak terukur, dan tidak memiliki standar. Ketika pendidikan di orientasikan pada sekolah maka pendidikan telah menjadi barang langka dan anak yang tidak bisa bersekolah dianggap tidak berpendidikan. Kalimat Too much schooling, not the lack of it dalam artikeldapat diartikan sebagai kegagalan dari system persekolahan itu sendiri dimana sekolah yang dijadikan pemeran utama dalam pendidikan masih memiliki banyak kekurangan dimana masih belum bisa memberikan pendidikan, pengaruh serta pengarahan yang baik secara keseluruhan dalam hal ilmu pengetahuan, keagamaan, kepribadian maupun dalam hal minat dan bakat. Melihat hasil lulusan sekolah, masih sangat banyak yang tidak memiliki kualitas karena sekolah pada umumnya hanya difokuskan pada pelajaran text book, dan tidak mempelajari pelajaran menganai kehidupan secara mendalam supaya siswa dapat memahami bagaimana untuk menjadi orang yang dapat berguna bagi kehidupannya dan menjadikan apa yang telah mereka pelajari dapat berguna untuk kehidupan mereka.

Berdasarkan artikel yang akan dianalisis ini terdapat anggapan umum bangsa Indonesia bahwa pendidikan disekolah adalah suatu hal yang harus dilakukan untuk bisa dikatakan “berpendidikan”. Anggaran dana yang cukup besar dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang pedidikan hanya untuk membiayai kegiatan persekolahan formal seperti untuk meringankan bayaran sekolah, memberi bantuan untuk membeli keperluan sekolah, hingga memberi buku pinjaman gratis kepada para siswa. Namun pada faktanya yang terjadi adalah kebanyakan siswa bersikap cuek terhadap fasilitas yang telah diberikan, karena kembali lagi pada minat belajar siswa yang semakin memprihatinkan membuat bantuan tersebut seolah menjadi sia-sia, bantuan yang diberikan hanya dapat menghasilkan sedikit sekali siswa-siswi yang berprestasi dari seluruh jumlah siswa yang mendapat bantuan.

Seperti kita ketahui, masih banyak terdapat sekolah yang berada di daerah terpencil yang mengalami kesulitan akses tidak mendapat perhatian sama sekali dari pemerintah. Gedung sekolah yang sangat tidak layak, guru yang bisa dikatakan “mengabdikan diri” bagi sekolah tersebut tanpa diberi gaji yang layak, apalagi fasilitas yang yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai sekolah formal. Namun yang kita ketahui bersama, semangat belajar mereka jauh lebih tinggi daripada siswa yang mendapat fasilitas yang lebih baik disekolah formal. Hal tersebut membuktikan bahwa sekolah formal dan bantuan-bantuannya bukan lah bukti penghasil anak-anak didik berprestasi yang lebih banyak daripada anak-anak yang bersekolah disekolah yang “tidak layak” tersebut.

Di sisi lain, pelaksanaan Ujian Nasional sebagai alat untuk penentuan kelulusan mendapat banyak kritik. Wajar saja, waktu yang telah digunakan untuk belajar selama 3 tahun ditentukan dengan proporsi nilai yang lebih besar presentase nya dalam Ujian Nasional yang hanya berlangsung 3 atau 4 hari. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kecurangan banyak terjadi dimana-mana. Sering sekali terjadi, anak yang sungguh-sungguh belajar dan selalu berprestasi di kelasnya justru mendapat nilai lebih rendah daripada temannya yang bermalas-malasan dan tidak menonjol sama sekali dalam pelajaran.

Ujian Nasional yang dijadikan evaluasi belajar akhir sudah pasti merupakan pemahaman yang salah. Karena faktanya, pelajaran yang telah dipelajari bahkan sampai mengikuti bimbingan belajar pun akhirnya kebanyakan akan menjadi sia-sia. Hanya orang-orang tertentu yang akan tetap sedikit ingat dan paham kegunaan pelajaran-pelajaran tersebut untuk masa depan, selebihnya akan melupakannya begitu saja karena sudah selesai.

Sekolah telah menjadi sesuatu yang dipaksakan, dalam arti pemaksaan dari diri sendiri dan pemaksaan dari luar. Bagi siswa-siswi yang haus dan terbiasa akan prestasi disekolah, belajar adalah sesuatu yang harus dia lakukan untuk mendapat nilai dan peringkat baik walaupun dia tidak menyukai pelajaran tersebut dan pada akhirnya tetap akan melupakan sebagian besar dari pelajaran yang telah ia hapal. Metode menghapal yang biasa dilakukan anak usia SMA adalah salah, karena mereka hanya menghapal, mengerjakan kemudian melupakan tanpa memahami maksud dari apa yang mereka hapal sehingga kemungkinan untuk tetap mengingat hal-hal tersebut bisa dikatakan kecil. Sedangkan bagi para siswa yang malas, sekolah adalah pemaksaan dari luar seperti orangtua mereka dan sanksi yang diterapkan oleh sekolah. Bukan karena mereka takut akan sanksi tersebut, melainkan hanya tidak ingin orangtua mereka dipanggil oleh pihak sekolah.

Pendidikan telah lari dari tujuan yang sebenarnya yaitu untuk menumbuhkan dan mengembangkan minat, bakat dan kapasitas anak yang unik. Formalitas, manipulasi dan penyeragaman membuat suasana belajar menjadi kaku dan menghilangkan keunikan anak. Sekolah mengharuskan untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka sukai hanya untuk sesuatu yang dikatakan “nilai/score”. Keyakinan sejak dulu bahwa score adalah segala-galanya menciptakan generasi yang betujuan pada “score” dan bukan pada proses bagaimana mendapat kan score dan keuntungan yang bisa diperoleh melalui proses belajar tersebut. Sekolah tidak memberi kebebasan pada anak didik untuk mengembangkan hal-hal positif yang mereka sukai.

Perbaikan kurikulum harus dilakukan oleh para ahli yang sangat paham pendidikan dan karakter anak, kurikulum seharusnya selain memberikan pengetahuan namun harus juga dapat membuat anak mengembangkan potensi nya dan emiliki kepribadian baik. Fasilitas yang lebih seharusnya diberikan kepada anak usia SMP dan SMA karena ketertarikan mereka dengan hal-hal unik lebih besar daripada ketertarikan mereka terhadap hal yang monoton. Selain itu juga minat belajar anak berbeda-beda, tidak semua anak memiliki minat dalam pelajaran wajib disekolah. Mereka mungkin memiliki minat dan kecerdasan dalam hal lain, mereka tidak bodoh atau malas, namun hanya sangat tidak suka terhadap pelajaran formal yang ada disekolah. Apabila pemerintah memfasilitasi sarana dan prasarana pendidikan sekolah untuk dapat mengembangkan minat mereka, maka mereka tidak akan menjadi anak yang hanya menghabiskan uang orangtua untuk biaya pendidikan dan menjadi sampah masyarakat dan tujuan dari pendidikan tidak menjadi sia-sia. Sebagian dari mereka mungkin punya ketertarikan dalam music seperti menciptakan lagu dan membuat aransemen music. Hal tersebut tentu tidak bisa dikembangkan hanya melalui diri mereka sendiri, melainkan perlu bimbingan dari pengajar yang ahli supaya mereka dapat menciptakan lagu-lagu Indonesia yang berkualitas, atau mungkin mereka punya kecerdasan dalam bidang jasmani, apabila fasilitas untuk pembelajaran jasmani disediakan, mereka dapat menjadi atlet atau pemain sepak bola yang berprestasi daripada hanya duduk dikelas dan bermalas-malasan tidak mendapat apa-apa.

Bagi siswa TK dan SD, menghapal adalah metode yang menurut saya baik. Karena anak pada usia tersebut masih memiliki pikiran yang murni, tidak seperti anak usia SMP dan SMA yang sudah memikirkan masalah kehidupan yang lebih nyata dan rumit. Hapalan yang dilakukan pada siswa TK dan SD akan lebih mudah di ingat, namun tentu harus dengan cara yang menyenangkan dan tidak membuat anak bosan dengan hal tersebut karena siswa memiliki semangat belajar yang berbeda. Oleh karena itu penting juga bagi guru untuk memahami karakter anak yang berbeda-beda, tentunya hal ini tidak mudah karena itu guru juga harus mendapat pelajaran psikologi perkembangan anak.

Pendidikan karakter juga merupakan hal yang wajib dilakukan. Bukan dimulai dari sekolah namun dari rumah. Hal-hal kecil harus diperhatikan oleh orang tua seperti mengingatkan dan mencontohkan anak bahwa kita harus jujur, takut kepada Tuhan, kasih sayang dan pesan moral lainnya. Karena pesan moral yang disampaikan oleh orangtua terutama ibu akan terus tersimpan dan menjadi pedoman hidup bagi anak tersebut sehingga ia akan tumbuh menjadi anak yang baik dan berguna. Oleh karena itu, penting pula pendidikan perkembangan anak bagi orangtua yang berpendidikan rendah atau tidak memiliki cukup bekal untuk menjadikan anak menjadi anak yang baik dan berguna bagi kehidupannya. Memiliki anak tidak hanya dengan memberikan fasilitas yang ia butuhkan namun juga harus memberi pendidikan moral agar bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang baik.

Harapan saya supaya pihak-pihak yang terkait dapat mendukung untuk menciptakan generasi penerus yang lebih baik melalui pendidikan karakter dan kepribadian yang utamanya dilakukan dari rumah dan pendidikan pengetahuan serta pendidikan untuk mengasah potensi anak sehingga negara kita dapat menghasilkan generasi mendatang yang jauh lebih baik. Karena semuanya dimulai dari pendidikan yang baik, baik dirumah, lingkungan hingga sekolah.

Sumber:

-widiyanto.com/persekolahan-tanpa-pendidikan/

Referensi

-pendidikankarakter.com/cara-jitu-menumbuhkan-semangat-belajar-pada-anak/

-indonesiasetara.org/pendidikan-karakter-di-rumah-prestasi-indonesia-dimulai-dari-keluarga.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun