Akhir-akhir ini sering terdengar seorang ibu-ibu yang melakukan live challange di sebuah platform video TikTok. Dalam konten live streamingnya, dituliskan bahwa ia akan mengguyur dirinya dengan air setelah si penonton memberikan hadiah melalui currency dalam aplikasi. Tak hanya beliau, masih ada banyak lagi user TikTok atau platform lain yang melakukan hal serupa entah itu untuk mendapat ketenaran atau kekayaan.
Gift Challange atau yang biasa dikenal dengan istilah subathon, seperti namanya, merupakan kegiatan di mana sang penyelenggara melakukan live streaming di platform tertentu, dan akan melakukan sesuai permintaan penonton dengan bayaran gift yang telah disepakati. Dengan begini kedua belah pihak pun akan mendapat keuntungan yang setimpal.
Konten yang beliau unggah ini banyak sekali menuai komentar positif dan negatif dari para netizen. Unggahan seorang user bernama Yann Ndexx yang membagikan cuplikan di sebuah grup facebook pada Rabu, 28 Desember 2022, memunculkan banyak sekali sentimen negatif:
"Itu keknya yg punya akun emang sengaja ngajak ibu-ibu/bapak-bapak buat ngemis kek gini. Soalnya yg paling sering live ngemis ya akun ini," komentar pengguna bernama Mega Syifa Nugraha.
"Makin banyak orang males dan mental pengemis," cuit GlowFox.
Komentar-komentar yang sedemikian rupa wajar sekali muncul sebagai tanggapan masyarakat terhadap hal yang kontroversial di mata mereka. Banyak yang mengaitkan konten di atas dengan istilah "pengemis". Dikutip dari jurnal hukum "Kebijakan Hukum Pidana Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Semarang" yang ditulis oleh Adrianus Terry Febriken, Nur Rochaeti, dan Endah Sri Astuti, dijelaskan bahwa kegiatan pengemisan merupakan kegiatan yang mengganggu kenyamanan publik dan dapat dijatuhi pidana kurungan. Mengemis yang dimaksudkan oleh komentar GlowFox tentunya adalah aksi meminta-minta.
"Banyakin belajar buat ga urusin idup orang lain bro, toh juga ibunya ga ngerugiin kita," tanggap Bayibumi.
Tentu, netizen tidak akan dirugikan atau diganggu dengan konten demikian. Mereka yang tidak menyukainya bisa langsung berpindah ke konten lain hanya dengan usapan jari di layar ponsel.
Masih dari jurnal yang sama, disebutkan bahwa pengemis yang dimaksud adalah, "Masyarakat yang memanfaatkan keadaan tertentu (rasa iba/ kasihan terhadap sesama) untuk keuntungan pribadi dan dilakukan berulang kali sehingga menjadi suatu kegiatan rutin." (Febriken & Rochaeti & Astuti, 2016). Dengan begitu, istilah mengemis tidak bisa dijadikan representasi. Sang penyelenggara pada dasarnya memberikan hiburan, dan penonton memberikan hadiah. Jika tidak ada yang membenci, akan terjadi happy ending. Tetapi hal itu sulit terjadi, pasalnya dengan ibu-ibu sebagai aktor, entah atas kemauan sendiri, terpaksa, atau terancam, beliau tetap akan dipandang memanfaatkan rasa iba oleh sebagian orang. Identik dengan ibu-ibu yang mengantre sambil menggendong anak.
Konten seperti ini mirip dengan mitos red room, sebuah situs rahasia di deep web yang mempertontonkan penyiksaan manusia melalui streaming video. Konon, para penonton bebas meminta si penyiksa untuk melakukan apa pun yang diinginkannya dengan bayarannya adalah uang kripto. Mirip bukan dalam sentimen negatif terhadap aksi aktor, namun dari kedua konten tersebut yang bersifat destruktif terhadap aktor di dalamnya. Berbeda jika tantangan yang diberikan adalah dimisalkan belajar atau riset untuk donasi dalam jumlah tertentu yang mana merupakan kegiatan yang masih bisa dibilang positif. Namun, jika tantangan yang diberikan adalah kotor-kotoran atau sejenisnya yang bisa mengundang penyakit, dapat berakibat fatal.