Cerita ini kudapat dari seorang teman yang tinggal di daerah dekat Juwangi. Memang, mungkin untuk cerita mengerikan seperti ini pada masa penjajahan dulu, merupakan hal wajar yang terjadi di mana-mana. Yaitu mengenai Mursidi. Pria yang baru saja memasuki usia delapan belas tahun, harus terjebak di dalam gua selama berhari-hari.
Pada akhir 1800an, kecamatan Juwangi bisa dibilang tempat yang damai. Meski Belanda yang saat itu menjajah, juga ikut menempati, tak ada sedikit pun kekerasan, meski perbedaan strata sosial masih terlihat jelas. Mungkin ini yang sedikit membedakan cerita kali ini dengan cerita masa penjajahan lain.
Kala itu, Mursidi yang baru menginjak usia delapan belas tahun, mendengar cerita heroik dari kawan-kawannya mengenai seorang pejuang yang bermarkas di sebuah gua. Tentu saja cerita itu hanya kebohongan belaka. Cerita yang dibuat oleh para tetua untuk meningkatkan semangat juang mengusir penjajah.
Mursidi adalah anak yang penuh semangat dan suka petualangan. Dia bahkan pernah menyusuri hutan dekat desanya ketika masih berusia sepuluh tahun, yang mana sudah dikatakan banyak ular dan kalajengking berbisa di area tersebut.
Setelah mendengar cerita heroik tadi, Mursidi pun mengajak kelima orang temannya untuk ikut menyusuri gua juga. Para orang tua yang mendengar seruan Mursidi, langsung memperingatkan bahwa di sekitar area bukit, sedang dilakukan pengujian bom. Sedangkan, orang tuanya memiliki firasat buruk akan terjadi, hanya saja, mereka tidak bisa mengungkapkannya.
Kelima orang tadi lengsung berangkat hanya membawa obor dan sedikit bekal makanan. Sekitar satu jam mereka berjalan, gua akhirnya ditemukan. Mereka tidak asal pilih, melainkan mencari tempat yang sedikit atas dan agak jauh dari pemukiman. Gua itu menurun agak landai dan lembap, tapi mereka tetap masuk. Nahas, pilihan itulah yang akan membawa petaka.
Mereka masuk sedalam sekitar lima ratus meteran sampai udara di sana terasa begitu pengap dan tak ada cahaya selain obor mereka. Gua yang dikunjungi berdiameter cukup luas, yaitu enam meter, sehingga, di kedalaman tersebut pun mereka masih bisa leluasa bergerak. Jimin yang memiliki firasat buruk akan adanya pengujian bom pun meminta teman-temannya untuk segera kembali ke rumah saja. Namun, Mursidi yang mengajak, bersikeras meminta kawan-kawan untuk terus melanjutkan perjalanan.
“Nek sampeyan ora kuat, mulih o wae rapopo, kang.” Begitulah kira-kira perkataan terakhir yang didengar oleh Jimin dan dua orang lainnya.
Tinggalah Mursidi dengan Kasim, sahabat terbaiknya. Setelah ketiga temannya menghilang dari pandangan, mereka memutuskan untuk duduk sebentar dan makan bekal singkong rebus. Obor masih menyala menghangatkan sekaligus memberi pengelihatan. Tapi selesainya makan, entah sebagai pertanda atau bagaimana, obor tadi seketika padam. Dan tak lama setelahnya, getaran cukup hebat mereka rasakan. Getaran dari pengujian bom.
Gua yang sedikit labil pun mulai runtuh bersamaan dengan getaran tadi. Mursidi dan Kasim yang panik bukan main, langsung berlari sekuat tenaga sebelum lubang masuk tertimbun tanah. Namun lima puluh meter menjadi jarak yang sangat jauh ketika gumpalan tanah yang jatuh, menggelinding ke bawah dan menumbangkan mereka, menyeret mereka semakin ke kedalaman gua.