Jalan masuk sudah sepenuhnya tertimbun tanah, tapi entah beruntung atau celaka, kedua sahabat tadi tidak ikut tertimbun. Tanpa dapat melihat apa pun bak menjadi buta, mereka meraba-raba tanah mencari jalan naik menuju pintu gua. Setelah cukup lama berjalan merangkak layaknya seorang bayi, ditemukanlah jalan masuk yang telah tertimbun. Mereka gali, gali, dan gali, namun tak ada seberkas cahaya terlihat. Mereka juga hanya mengandalkan komunikasi suara untuk mengusir kesunyian satu sama lain.
Tentu, mereka tak pernah menyerah. Mereka masih mencoba menggali sampai-sampai kuku tangan Kasim patah dan terlepas. Darah yang tertutup kegelapan terus mengucur memberikan rasa sakit yang semakin menyiksa akibat infeksi oleh tanah. Dia pun berteriak, namun Mursidi juga tak dapat melakukan apa-apa. Kasim yang menjerit kesakitan pun tak lain hanya menghabiskan pasokan oksigen mereka. Hanya perlu beberapa menit, Kasim mulai merasakan sesak.
Mereka lapar, tapi makanan juga telah ikut tertimbun. Orang-orang desa termasuk Jimin, mengetahui rencana mereka untuk menginap di gua selama beberapa hari dan hanya akan mencari makan di sekitar sana. Jadi, tak ada seorang pun yang akan merasa janggal jika Kasim dan Mursidi tak pulang selama beberapa hari itu.
Mereka yang terjebak telah kehilangan kesadaran akan waktu, pengelihatan, dan juga harapan. Selama lima hari mereka bertahan di dalam tempat pengap minim oksigen sampai para warga dan satu atau dua tentara Belanda merasakan cemas dan mulai mencari. Gua yang telah tertimbun pun menyatu dengan tanah akibat hujan dan tidak dapat diketahui dengan mudah di mana gua yang sempat dimasuki. Semua terlihat rata.
Kasim sudah tidak kuat, lapar, dan nafas tersengal-sengal. Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa jam setelah meninggalnya Kasim, entah berkat keputusasaan atau memang terlalu lapar, Mursidi memukuli jasad Kasim. Terkadang menghantamnya dengan ujung kayu obor sampai terdengar dengan jelas retakan tulang. Mursidi dengan lahap memakan daging manusia. Berharap dapat memenuhi perut dan membuatnya bertahan lebih lama. Dia percaya bahwa bantuan akan datang.
Namun, bantuan tak kunjung datang. Jasad Kasim mulai membusuk dan tak dapat lagi dimakan. Meminum darah pun hanya membuatnya semakin haus. Hujan di luar yang agak sering turun pun memaksa warga untuk selalu menghentikan pencarian lebih awal. Sembilan hari sejak saat itu, warga menemukan satu tempat yang dicurigai sebagai jalan masuk gua. Dengan menaruh harapan, mereka berbondong-bondong bekerjasama menggali tempat itu berharap Kasim dan Mursidi masih selamat menunggu di dalam sana.
Pintu gua terbuka. Cahaya dari mentari pagi yang menembus rimbunnya hutan bukit pun dapat masuk ke dalam. Memperlihatkan pemandangan mengenaskan dari apa yang terjadi di dalam sana. Jasad Kasim terbujur kaku dengan wajah yang tersisa tengkorak dengan sisa-sisa daging yang membusuk. Bau busuk pun menyeruak keluar. Tubuhnya seolah digerogoti tepat setelah kematiannya.
Sedangkan Mursidi, dia duduk memeluk kedua lutunya seperti telah putus asa. Tubuhnya begitu kurus sampai lekukan belulangnya terlihat degan jelas hanya terbungkus kulit cokelat. Ketika warga masuk, Mursidi sempat perlahan mengangkat kepalanya. Warna pupil matanya memudar dan ekspresi senyum di wajahnya nampak seperti dia lega bahwa warga akhirnya datang menyelamatkan.
“Aku ngerti kowe bakal teka, Alhamdulillah,” ucapnya terbata-bata sebelum akhirnya menundukkan kepala lagi. Mursidi meninggal.
Dokter setempat yang melakukan autopsi secara cuma-cuma pun mulai merangkai seluruh kejadian yang terjadi di dalam gua tadi.
Cerita ini didapat oleh temanku secara turun-temurun semenjak kejadian itu berakhir. Sejak saat itu pula, orang-orang dilarang bepergian ke dalam gua tanpa membawa peralatan dan persiapan yang benar-benar matang. Tentu saja ini adalah hal wajar, namun, sejarah tetap diceritakan agar tragedi tadi tidak pernah terjadi lagi.