Aku masih ingat pelukanmu di punggungku. Masih terasa basah karena kau menangis saat itu.
Aku yang tidak sanggup berbalik dan membalas pelukanmu hanya bisa terisak sembari merapihkan pakaian yang sudah masuk di dalam koper.
Jangan pergi, dan jangan marah... kau pun terisak.
Berat rasanya melihat pelupuk matanya yang kuyakin sudah banjir air mata. Tetap. Kuputuskan untuk pergi.
Langkah yang berat.
Matahari pagi di stasiun kereta mengahangatkan punggungku yang tadi kau hujani dengan air matamu. Entah harus hangat seperti apalagi punggungku ini yang sudah kurasakan ada keringat yang menetes. Yah, lebih baik keringatku yang menetes daripada harus merasakan air matamu yang menetes.
Kugenggam tiket keretaku dengan penuh rasa sakit hati. Mungkin ini yang mereka mau, Â jangan jadikan dirimu sampah, kata-kata itu terus bergaung di pikiranku.
Pergi jauh dari tempat ini mungkin bisa membuat kewarasanku kembali. Ah, tapi bagaimana aku bisa waras jika aku meninggalkan mu dalam keadaan berlinang air mata ?
Benar saja. Sudah berminggu-minggu, kewarasanku tidak muncul juga.
Apa yang menyebabkannya?
Kau tak memikirkan ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H