Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Srie

23 Januari 2019   16:01 Diperbarui: 23 Januari 2019   16:01 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh ... ya ... ya ... ya ..." orang-orang berguman.

"Cowongaaaan ....! " Mbekayu Sarti njempling.

"Cowongan ... cowongan ... cowongan ....!" anak-anak berteriak, khususnya anak-anak, prawan desa.

"Tapi, Srie sudah nggak ada!" Uwa Disun mengingatkan.

Orang-orang pun terdiam. Mereka tahu, Sire lah yang selalu menjadi  lengger dan memainkan cowongan  ketika mengadakan ritual agraris untuk mengundang hujan. Menggelar baritan di tengah sawah kering untuk mengundang hujan dan menolak bala penyakit ternak. Srie cucunya Nini Dul Mupid yang selalu menjadi kembang desa, bidadari pembawa hujan utusan Dewi Sri.

Walaupun agak kurang genep, prawan kencur tanggung ini trampil menari lengger dan menggoyang cowongan. Entah belajar dari mana atau memang turunan lengger dari neneknya Nini Dul Mupid yang dulu  lengger di masa mudanya.

"Seperti ini saja," Uwa Disun memecah kesunyian. "Pokoknya, mari mengadakan cowongan yang dibawakan anak-anak perempuan, prawan desa. Lalu, para pemuda main ujungan. Bagaimana?" Uwa Disun memutuskan kebuntuan.

"Setujuuuuuuuuuu ......" warga berteriak serempak.

Sore itu, di tengah sawah kering, ritual agraris digelar. Setelah ujungan, giliran cowongan tampil. Para prawan desa yang berdandan ala kadarnya mirip dandanan lengger sudah memegang cowongan. Diiringingi calung dan kenthongan mereka menari membuat koreografi untuk memohon Sang Murbeng Dumadi kersa menurunkan bidadari utusan Dewi Sri turun ke bumi membawa hujan.

"Cowongan ... cowongan ... cowong-cowong ginoyong. Sulasih sulanjana kukus menyan ngundang dewa. Ana dewa ndaning sukma widadari temuruna. Runtung-runtung kesanga sing mburi kari lima ........"

Mantra dikumandangkan para prawan desa penari cowongan mulai bergetar bergoyang merasa berat membawa cowongan. Serasa kerasukan,  mereka trance sempoyongan, ditimpa musik yang makin keras, kencang dan membahana. Tiba-tiba angin bertiup kencang, awan menghitam, langit menjadi gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun