Sudah beberapa bulan ini sawah dan ladang di desa itu puso. Nyaris tak ada lagi jengkal tanah merangkul tanaman. Para sedulur tani amat tergantung kepada padi, penyuluh pertanian belum masuk ke desa itu. Makanya, bila kemarau berkepanjangan paceklik pun mencekik. Menu mereka thiwul.
Malam itu, rasanya mati. Hawa panas, angin membeku. Sunyi senyap tak terdengar dering gasir bersahutan dengan tenggoret yang biasanya mewarnai malam. Lamat-lamat suara tembang Megatruh, "Aja sipat lan pegat siyang myang dalu .... amuwun ing ngarsa mami ... nora pajar kang kinayun .... " mengalun serak dari rumah reyot di sudut desa dekat sawah. Rumah reyot yang ditinggali Nini Dul Mupid. Biasanya dia ditemani cucunya Srie, tapi sudah sebulan lebih cucunya itu menghilang.
Nini Dul Mupid sedang mengungkapkan kesedihannya lewat tembang macapat atas kehilangan cucu satu-satunya itu. Lakinya telah lama meninggal. Ia membesarkan satu-satunya anak perempuan, Sriyatun yang kini jadi TKW Â di Arab Saudi. Sudah bertahun-tahun tak ada kabar. Entah hilang atau telah meninggal, Nini Dul Mupid tak pernah tahu. Sriyatun meninggalkan anak perempuannya yang lalu dibesarkannya.
"Mbok, saya  titip si Srie ya, Mbok" Nini Dul Mupid masih ingat saat-saat terakhir anaknya pamit hendak meninggalkannya.
"Lha, kamu mau ke mana?"
"Mau jadi  TKW, ke  Arab. Eee ... mbok jere sapa mengko!" Atun, anak perempuannya kelihatan agak kesal lalu nekad untuk mengubah nasibnya, ingin memperbaiki hidupnya.
Nini Dul Mupid hanya diam, tertegun. Dia bisa memaklumi semenjak mantunya tewas jatuh dari pohon kelapa ketika mengambil nira untuk dibuat gula jawa. Keluarga muda yang  anaknya baru berumur lima tahun ditinggal kepala keluarga. Selepas Sarkum suaminya tewas, Atun menjadi buruh tani serabutan untuk menghidupi anak dan biyungnya. Amat berat rasanya. Maka ketika ada agen TKW masuk desa, tanpa ba bi bu, Atun segera ikut ke Jakarta yang katanya ditampung dulu di sana lalu diberangkatkan ke Saudi Arabia.
"Pamanggone aneng pangesthi rahayu ... angayomi ing tyas wening ...eninging ati kang suwung ... " malam makin lelah, dingin membelah suara grengengan tembang luruh. Si penghuni rumah reyot pinggir sawah kini makin pasrah.
Siang itu warga desa berkumpul di pekarangan kosong dekat rumah Uwa Disun. Mereka yang dulu mencari Srie dengan bermain musik thundan belis dikumpulkan oleh Uwa Disun seorang petani yang masih merawat tradisi desa. Mereka sedang membicarakan hilangnya Srie menjadikan mangsa ketiga mengalunkan kidung kasengsaran. Kemarau berkepanjangan, paceklik mencengkeram warga desa.
"Sedulur ... sedulur! Ini adalah  mangsa ketiga yang sudah buat  paceklik desa. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Bagaimana?" Uwa Disun menanyakan warga yang telah berkumpul.
"Ya, mari mengundang hujan!" seseorang berteriak dari belakang.