Saya baru tahu, ternyata bulan September adalah Bulan Gemar Membaca dan pada tanggal 14 September adalah Hari Kunjungan ke Perpustakaan. Itu saja gara-gara tanpa sengaja ketika berseluncur di internet kecanthol tulisan di Kompasiana 15 September 2014 oleh Perpustakaan Kementrian Keuangan berjudul Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca 2014 yang dibaca oleh 1741 orang.
Karena penasaran dan bengong, ya maklum, saya sejak kelas 3 SR sudah gemar membaca dan mengunjungi perpustakaan di kota saya. Dan ketika telah bekerja pernah menjadi pembina perpustakaan sekolah, ko masa iya sering dekat dengan buku tidak tahu bahwa ada bulan membaca dan hari kunjung perpustakaan yang umurnya sudah 23 tahun.
Di Indonesia September adalah "Bulan Gemar Membaca" dan 14 September adalah "Hari Kunjungan ke Perpustakaan". Itu ditetapkan sejak tahun 1995 oleh  Presiden Soeharto pada 14 September 1995 saat meresmikan Hari Kunjung Perpustakaan dan Bulan Gemar Membaca di Banjarmasin.. Tujuannya tidak lain adalah mendorong peningkatan kesadaran manusia Indonesia untuk membaca, khususnya membaca buku.
Berkat rasa penasaran kenangan saya tentang buku dan perpustakaan 60 tahun silam terbayang kembali. Ketika saya pulang sekolah, jalan kaki menyusuri jalan pulang ke rumah melewati sebuah gedung perpustakaan. Perpustakaan Marhaenis, sebelah selatan kantor Telkom sekarang, Jalan Merdeka Purwokerto.
Karena ingin tahu saya masuk ke perpus itu dan melihat-lihat, ternyata diperbolehkan meminjam buku-buku. Perpustakaan Marhaenis di Jalan Merdeka itulah yang memperkenalkan saya dengan buku-buku seperti fabel, mithe dan cerita jenaka. Buku-kuku petualangan Winnetou dan Old Surehand serta Kara Ben Nemsi karya Karl May, cerita jenaka dari Jerman Baron Mounchenseen yang sangatlah tebal untuk orang dewasa sekali pun, saya lalap tamat hanya lima hari.
Dari pelanggan Perpus Marhaenis itu ketahanan baca saya terasah dan kegemaran membaca buku tumbuh terawat. Ketika sudah tak ada buku yang menarik saya beralih membaca cerita silat. Cersil karangan Kho Ping Hoo seperti Pendekar Bodoh, Pendekar Remaja, Cheng Hoa Kiam, Kun Lun Hiap Kek, Bu Kek Sian Su, Â dll awal mula saya berkenalan dengan cersil.
Akibatnya saya kerasukan setan membaca, saya cari persewaan buku cersil di kota saya dan buku yang puluhan jilid yang saya pinjam dilalap dari pagi, siang sampai malam, padahal membacanya diterangi  lampu teplok sambil tiduran kalau sudah malam. Cersil Kho Ping Hoo saya tinggalkan karena kurang seru dibanding cersil-cersil Chin Yung terjemahan Gan Kl. Serial Sia Tiauw En Hiong dengan tokohnya Kwee Ceng, dilanjutkan Yoko dalam Sin Tiaw Hiap Lu dan Bu Ki dalam To Liong To, Pendekar Tayli, Hina Kelana dan Pendekar Empat Alis.
Ketika menjadi pembina perpustakaan sekolah di tempat saya mengajar saya punya hak untuk belanja buku dan saya utamakan buku-buku untuk anak dan buku sastra. Terbitan Gramedia karya Enid Blyton seperti Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Empat Serangkai, Lima Serangkai harus tersedia. Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto dan novel-novel Sidney Sheldon cemawis di rak perpustakaan. Tentu saja. sayalah yang terlebih dulu membacanya.
Setelah purna mengajar, saya agak pensiun membaca. Mungkin kemampuan fisik dan mental mengurangi daya baca saya. Namun, saya punya koleksi buku yang banyak dan membuat perpus pribadi di rumah. Ketika kuliah saya banyak belanja buku, suka belanja buku obral di Toko Gramedia dan sumbangan anak didik. Lalu saya buka taman bacaan, namanya TBM Pak Banjir, tokoh cerita jenaka Banyumas di pavilliun rumah, tapi tidak laku.
Kini saya hanya membaca koran Kompas langganan saya dan kadang koran lokal lalu saya sering baca di tablet atau laptop tua saya. Sayang ada kumpulan novel anak-anak, seribu lebih majalah Bobo, kumpulan novel dewasa, majalah-majalah, tabloid dan buku-buku sastra seperti novel, kumpulan puisi dan drama tidak ada yang memanfaatkan. Masyarakat sekitar terutama anak-anak enggak ada yang doyan membaca.
Benarlah, sebuah survei yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain yang bekerja sama dengan sejumlah peneliti sosial menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca. Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014. Indonesia hanya unggul dari Bostwana yang berada di posisi 61. Sementara, Thailand berada satu tingkat di atas Indonesia, yakni posisi 59.
Budaya membaca buku sepatutnya ditanamkan sejak dini. Melalui membaca, cakrawala berpikir seseorang akan terbuka dan menyerap banyak ilmu pengetahuan. Minat baca akan memengaruhi kehidupan individu dan bangsa pada masa mendatang, juga pemahaman ekonomi untuk menentukan masa depan global.
Kini walaupun telah ada  GLS (Gerakan Literasi Sekolah) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Apakah ada dampaknya untuk meningkatkan gemar membaca?
Sungguh memprihatinkan, terlihat dari Data Statistik Sosial Budaya BPS tahun 2012 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Sebanyak 91,68 persen penduduk yang berusia 10 tahun ke atas lebih menyukai menonton televisi, dan hanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca surat kabar, buku atau majalah.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2009 menempatkan minat baca Indonesia pada posisi terendah dari 52 Negara Asia Timur. Sementara itu, pada tahun 2011, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) merilis data bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari seribu (1000) penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca.
Akhir tulisan, mumpung masih bulan September apakah benar banyak orang tidak tahu ada Bulan Gemar Membaca dan Kunjungan ke Perpustakaan seperti saya ini? Bagaimanakah kita harus berbuat agar anak, siswa dan masyarakat menjadi gemar membaca sehingga perpus-perpus di sekolah, di kota, TBM di desa seperti TBM Pak Banjir di rumah saya bukunya bisa dibaca, tidak menjadi bulukan dimakan jaman?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H