Pada setiap peringatan kemerdekaan  NKRI, pastilah kita kan mengenang para pahlawan yang telah berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air, bumi Nusantara.Â
Kalau di Tlatah Penginyongan, yang menjadi pahlawan  kebanggaan adalah Panglima Besar Jendral Soedirman. Namanya diabadikan untuk  nama jalan, nama universitas, dibuatkan patung, monumen dan museum.  Â
Selain Pangsar Jendral Soedirman dan anak buahnya seperti Gatot Soebroto, Soepardjo Roestam dan yang lainnya, ada seseorang yang bisa disebut pahlawan atas kegigihannya melawan penjajah Kumpeni Belanda di bumi Banyumas Raya. Siapakah dia? Ya, Kyai Ngabehi Singadipa, sing umpetan jeroning kemben.
Kyai Ngabehi Singadipa? Sapa, si? Nyong nembe tumon? Kisah peperangannya melawan Kumpeni sungguh sangat heroik. Stop ... stop .. tunggu dulu. Ini kisah heroik dalam cerita fiksi? Dongeng, apa babad  ko bisa disebut pahlawan?
Kyai Ngabehi Singadipa adalah lurah prajurit Pangeran Diponegoro di wilayah "mancanegara" yang ditempatkan di wilayah Banyumas Raya. Nama aslinya Nur Katon, karena mumpuni dalam agama Islam dipanggil masyarakat kyai. Ngabehi adalah gelar yang diberikan dari kraton Surakarta, berikut kisahnya.
Kisah  tentang Singadipa ini diolah dari teks tertulis dari Bapak Sukarsidin HM dan mewancarai Bapak Mustofa dari Keluarga Besar Trah Singadipa di Ajibarang yang diperoleh dari seorang  mantan pamong budaya di Dinporabudpar Banyumas yang pernah meneliti Singadipa pada tahun 1980.
Nur Katon, kariernya dimulai takala menjabat Tumenggung Kertanegara bergelar Adipati Jayasinga atau Singadipa. Istrinya Roro Parwati putri Demang Adimenggala Ajibarang, karenanya ia pindah ke Ajibarang.Â
Waktu itu pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono VI dari Kraton Surakarta, Banyumas dibagi menjadi tiga wilayah. Ajibarang, membawahi Banyumas, Cilacap dan Bumiayu. Kertanegara, meliputi Purbalingga dan Banjarnegara serta Roma (Gombong) wilayahnya Kebumen dan Karanganyar.
Pada saat konflik internal di Kraton Ngayogyakarta setelah Hamengkubuwana IV wafat dan pengangkatan Hamengkubuwana V yang diintervensi oleh Smissaert, pejabat penguasa Belanda waktu itu, Pangeran Diponegoro tidak puas akan sikap Ratu Ageng dan Patih Danuredja, yang pro Belanda, Pangeran Diponegoro pun mengobarkan Perang Jawa (1825-1830).
Pakubuwono VI dari Surakarta mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda dan memerintahkan para bupati di wilayah mancanegara untuk membantu Pangeran Diponegoro berperang melawan Kumpeni. Di sinilah peranan Singadipa sebagai lurah prajurit Pangeran Dipongoro dalam berbagai pertempuran dalam Perang Jawa di wilyah Banyumas Raya.
Singadipa sangat gigih dan licin dan menjadi musuh nomor satu tentara Kumpeni. Perjuangan heroiknya adalah saat berhasil menghancurkan benteng Margalayu milik Belanda di daerah Karangbolong, dengan mengerahkan kekuatan 600 prajurit. (Tim DHC BPP-JSN 45 Banyumas, 2004:2-3).
Ketika Pangeran Diponegoro hendak ke Magelang atas kabar dari  Pangeran Mangkubumi pamannya, bahwa Belanda mau mengajak berunding maka di pelataran pesanggrahan Watu Belah, Kamal, Gombong Pangeran Diponegoro disaksikan oleh para prajuritnya menyerahkan Gendera Tunggul Wulung kepada Singadipa agar dirawat sebagai lambang perjuangan.
Di Magelang tragedi terjadi, sejarah mencatat, inilah tipu muslihat Kumpeni Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Para prajuritnya kocar-kacir menyembunyikan diri dari kejaran tentara Kumpeni. Demikian pula  Singadipa menjadi buronan Kumpeni Belanda yang harus dihabisi.
Perang gerilya dilakukan sambil menutup jejaknya. Siasat "umpetan sejoroning kemben" Ngabehi Singadipa harus melakukan lelanang ing jagad seperti Arjuna. Untuk menghilangkan jejak terus berpindah-pindah dan di setiap tempat berganti nama dan berganti istri. Yah, sembunyi di dalam kemben wanita. Belanda tak berhasil menemukan jejak musuh nomor satu di Tlatah Penginyongan.
Akhirnya, bendera Tunggul Wulung yang dititipkan oleh Pangeran Diponegoro  kepada Ngabehi Singadipa diwariskan kepada putri tertua Nyi Mas Jayadikrama Parakanonje untuk disimpan dan dirawat.Â
Bendera Tunggul Wulung selalu diwariskan untuk dirawat pada setiap anak perempuan tertua. Dan  pada tanggal 9 Februari 1979, bendera Tunggul Wulung diserahkan oleh Keluarga Besar Trah Singadipa kepada Pemerintah Kabupaten Tingkat II Banyumas jaman Bupati R.G. Roedjito. Sampai saat ini Gendera Tunggul Wulung masih tersimpan di kamar pusaka bersama pusaka-pusaka kabupaten lainnya di Pendapa Kabupaten Banyumas di Purwokerto.
Begitulah kisahnya. Memang tokoh Singadipa ini tidak begitu dikenal seperti Joko Kaiman dan para bupati Banyumas  penerusnya. Dengan Kamandaka dari cerita babad saja lebih populer dari Singadipa.Â
Oh, ya, Â lupa nih. Kalau ingin mengenang dan berziarah ke makam Kyai Ngabehi Singadipa, makamnya terletak di Grumbul Cileweng, Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Kalau punya niatan tertentu silakan ziarah, Pak Harto saja dulu pernah ziarah ke sana lho.
Akhir kisah, mungkinkah Kyai Ngabehi Singadipa  jadi pahlawan? Tokoh gigih, licin, penuh energi dalam melawan penjajah Belanda di Banyumas Raya, atau dibuatkan monumen, apa patung? Mohon Pemkab Banyumas berembug dengan Keluarga Besar Trah Singadipa sambil merenung makna "Jas Merah" pesan dari Sang Proklamator, Bung Karno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H