Tetangga saya, satu gang, sebelah barat rumah saya, boleh dibilang gigih untuk nguri-uri kethoprak. Eee ... yang dimaksud kethoprak di sini bukan makanan Betawi yang kalau di Purwokerto mirip dengan lotek atau tahu kecrot. Kethoprak ini adalah teater tradisional, teater rakyat dari Yogyakarta, lalu berkembang ke daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Orang-orang zaman old tahun 70-an  di Purwokerto dan Banyumas umumnya pasti masih ingat para roll bintang kethoprak yang siaran di RRI Purwokerto setiap Minggu siang mulai pukul 12.00 dan Kamis malam pukul 21.00. Primadonanya Suliah ditemani duo Peyang Penjol trio lawak kethoprak yang legendaris dan bintang roll-nya Sugimin.
Kini, walau RRI Purwokerto masih menyiarkan dengan cara rekaman, ada lima grup kethoprak yang mengisi siaran di RRI itu keadaanya empas-empis, melasi banget. Tapi, jangan dulu kita bahas empas-empisnya grup kethoprak yang siaran di RRI itu, saya mau kembali ke  tetangga dekat saya itu. Namanya Sriyono asli Solo, pendidikan Konservatori Surakarta dan  jadi guru karawitan di SMAN favorit di Purwokerto.
Nah, ini bulan Juli mendekati Agustus di mana kampung di pelosok Nusantara akan sibuk menyiapkan berbagai acara untuk agustusan, memperingati ulang tahun kemerdekaan RI. Pak Sri, begitu panggilan para tetangga di RT-nya, tiap tahun juga sibuk menyiapkan acara  untuk perayaan 17-an, gelarannya pasti kethoprak.
Kethoprak Guyon Pinggir Lepen, begitulah nama grup kethopraknya Pak Sri. Latihan di rumahnya yang di pinggir kali, seperangkat gamelan dimilikinya sendiri, melatih ibu-ibu, bapak-bapak, remaja dan anak-anak untuk bermain gamelan, ngrawit untuk iringan  pentas kethoprak.
Yah, tentu saja bekah-bekuh mengajari orang untuk  menekuni seni tradisional yang sudah langka di zaman ini. Lebih-lebih bila ambil lakon Mataraman yang harus berbahasa bandhek, basa wetanan, daerah asal kethoprak. Lha, wong Purwokerto, wong Banyumas kuwe basane ngapak ko pake bahasa Ngayogyakarta, ya pating clethot ora karuan.
Perjuangan berat bagi Pak Sri. Ya, melatih karawitan, ya melatih antawacana (dialog) wong ngapak kudu bandhekan, jadi sutradara, jadi dalang dan seksi perlengkapan; karena harus cari pinjaman kostum, kelir dll. Pokoknya rebyek kalau mau pentas  kethoprak.
 Para fans  Peyang Penjol (kethoprak binaan Komtares/komando antar Resort/Polwil) dan Sugimin-Suliah  (kethoprak binaan Komres/Komando Resort/Polres) bisa mendengar lewat radio transistor di warung-warung kopi, gardu ronda, terminal dan pangkalan becak. Pendengar kethoprak umumnya adalah kalangan bawah dan waktu itu belum ada televisi, jadi tidak menyaingi radio.
Kini, ketika  saya ke RRI Purwokerto, diterima Emilia, mantan murid saya di SMP yang jadi sinden di RRI Purwokerto. Dari mantan murid saya itu yang pernah saya dapuk jadi sinden pada pementasan kethoprak lesung dengan lakon Bandung Bondowosa tahun 1984 di Gedung Kesenian Soetedja, saya memperoleh informasi keadaan siaran kethoprak di RRI.
Ada lima grup kethoprak yang siaran di RRI Purwokerto. 1. Aji Satria Kencana pimpinan  Sarno, dari Purwosari, Purwokerto Utara. 2. Wahyu Kencana:  Wahyudi, Kediri, Karanglewas. 3. Sekar Budaya: Solichin, Tanjung Elok, Purwokerto Selatan. 4. Langen Budaya : Kendar, Banyumas dan 5. Cekak Aos: Marko, Berkoh, Purwokerto Selatan.
Ada lima grup kethoprak, deneng akeh ya? Walaupun lima, tapi krunya sama, khususnya karawitannya. Peraga saling bon-nonan, jadi jumlah personel ya itu itu saja.
Waktu siaran, setiap Minggu siang pukul 11.30 WIB dengan cara rekaman setiap Kamis sekaligus untuk dua episode. Tampil siaran berurutan, dua episode. Dengan honor rekaman dua episode Rp 400 ribu.
Ala la ... honor Rp 200 ribu sekali siaran debagi wong seudan? Doresani pisan! Lha, duit rong atus ewu dibagi untuk dhalang, sinden, nayaga dan para peraga. Kalau dijumlah bisa sampai dua puluh orang lebih. Masing-masing dapat sepuluhewuan, lha buat beli bensin saja kurang. Lebih tragisnya lagi, honor itu keluar dari RRI setelah tiga bulan. Lha, yang tombok ya bas-nya  (pemimpin).
Solichin, bas kethoprak Sekar Budaya ketika saya temui, kebetulan teman, seorang pelukis yang guru SD, menceritakan betapa pilunya jadi bas ngurusi kethoprak. Memang kadang-kadang entah berapa tahun, ada yang nanggap kethoprak.
Repotnya, mengordinasikan para pendukung, maka sistem bon-bonan terjadi. Semua hanya karena kadhung tresna, walaupun rebyek tur ora sepiraa, eman-eman ditinggalna.Â
Bicara tanggapan kethoprak, memang jarang orang nanggap kethoprak ketika hajatan. Paling, kalau lagi ada instansi yang mau nanggap kethoprak  untuk acara hari besar nasional atau ulang tahun instansi tersebut.
Kethoprak tobong, yang menggelar kethoprak dengan berpindah-pindah kini sudah tiada. Tak hanya di Banyumas Raya, di wilayah lain pun kelihatan seperti itu, bahkan di asal kelahiran kethoprak.
Bagaimana agar kethoprak tidak musnah?
Pemerintah daerah harus turun tangan. Di Kabupaten Gunung Kidul, Pemda setempat selalu menyelenggarakan festival kethoprak. Di Klaten, ada festival kethoprak pelajar dan itu loh mantan bintang bulutangkis China, Huang Hua yang sudah jadi warga Klaten bersama suaminya berpasangan menjadi pelakon kethoprak yang diselenggarakan oleh yayasannya sang suami.
Kapan ya, Pemda Banyumas open pada kethoprak? Kasihan Pak Sri tetangga saya, yang selalu bekah-bekuh, rebyek, korban perasaan korban uang demi memanggungkan kethoprak pada perayaan 17-an di RT-nya, juga agar grup-grup kethoprak di Banyumas hidupnya tidak makin empas-empis lalu habis.
Alouhumma ...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H