Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Taman Budaya Banyumas Mimpi Belaka?

12 April 2018   16:04 Diperbarui: 12 April 2018   16:06 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TBB (Taman Budaya Banyumas) ternyata memang hanyalah sekadar mimpi belaka. Beberapa media  sudah memberitakan keberadaan GKS (Gedung Kesenian Soetedja) yang digadang-gadang akan menjadi gedung teater tertutup model amphiteater meniru TIM Jakarta, adalah salah satu bangunan yang baru rampung tetapi amburadul keadaannya.

Liputan 6.com menggambarkan GKS, "Sepintas  lalu dari jalan raya, Kompleks Taman Budaya Soeteja, Purwokerto, Jawa Tengah, terkesan mewah dan gagah. Sayangnya, begitu menjejakkan kaki di gerbang halaman, segala kesan baik itu buyar. Semak belukar mengesankan Gedung Kesenian Soeteja tak terawat. Jalan masuk yang dilapisi paving block atau bata beton ambles di sana-sini. Hujan menyebabkan air menggenang di beberapa bagian. Eceng gondok memenuhi kolam di sisi kanan dan kiri jalan. Barangkali, jika di daerah rawa, kolam ini menjadi persemayaman buaya atau anaconda.

Kesan tak terawat bertambah ketika menyaksikan beberapa bagian lantai, dinding dan plafon gedung rusak. Padahal, Gedung Kesenian Soeteja dan kompleks taman budaya di Purwokerto bernilai miliaran rupiah itu baru diresmikan pada Desember 2017. Lantai retak dan mengelupas dan ambles, sampah berserakan di Taman Budaya Soeteja.

Di bagian teras, sejumlah lantai keramik retak dan pecah. Lantai pagelaran bagian luar ambles dan retak. Beberapa bagian plafon gedung juga ambrol.Tampak pula, beberapa bagian dinding retak. Instalasi kabel yang mestinya terpasang juga putus atau hilang. Aksi vandalisme juga terjadi pada bagian dinding dan lantai gedung ini. Berbagai coretan mengotori dinding di bagian luar dan dalam gedung.

Begitulah sangat menyedihkan, GKS yang baru sebagai upaya meredam gejolak penolakan para seniman Banyumas atas penggusuran Gedung Soetedja yang dijadikan area baru perluasan Pasar Manis yang diresmikan Presiden Jokowi. GKS direncanakan sebagai  salah satu fasilitas  berkesenian dalam TBB (Taman Budaya Banyumas) selain teater terbuka, galeri, pasar seni dan wisma seni. Suatu kawasan seni yang sudah lama selalu diimpi-impikan para seniman, budayawan dan pemerhati seni di Banyumas.

Khayalan TBB.Mengenai impian tentang TBB ini sudah sejak lama saya tulis di harian lokal Banyumas. Pertama saya tulis  di Radar Banyumas Minggu Pon, 23  Oktober 2005 dengan judul "Taman Budaya Banyumas Mengapa Tidak?"Ketika itu, sedang ramai dibicarakan masalah penggunaan eks terminal lama oleh  masyarakat. Pada Kongres Dewan Kesenian se-Indonesia di Port Numbay, Jayapura, 22-27 Agustus 2005 salah satu keputusannya adalah agar pemerintah membangun Taman Budaya di tiap provinsi, kabupaten dan kotamadya di Indonesia. Dalam tulisan, saya mengusulkan untuk dibangun TBB di bekas lahan terminal itu.

Tentang TBB, saya tulis lagi di Suara Banyumas, Suara Merdeka, Sabtu, 10 Maret dan Senin, 12 Maret 2007 dengan judul "Memipikan Taman Budaya Banyumas" . Hal ini karena ide pembuatan TBB yang diembuskan juga oleh para seniman tidak digople baik itu eksekutif maupun legislatif, malah DPRD Kabupaten Banyumas membentuk Pansus Sebelas yang membahas masalah penanganan lahan eks terminal lama tersebut.

Pansus Sebelas merekomendasikan lahan eks terminal lama tersebut dijadikan pusat transaksi ekonomi atau perdagangan. Semua anggota Pansus yang dipimpin Sutikno beserta anggota tim ahli menyepakati lahan tersebut dijadikan Purwokerto Tower. Purwokerto Tower terdiri atas sepuluh lantai yang di dalamnya berisi pusat grosir, perdagangan elektronik, mal, perkantoran, hotel, dan taman olahraga. Menurut Sutikno, 70% untuk bangunan dan 30% merupakan areal terbuka. (Radarmas, 22/2/2007)

"Rembug Soetedja Olih Uceng Kelangan Deleg" itu judul opini saya di Radar Banyumas, Minggu Pahing, 7 Oktober 2007. Tulisan ini mengulas pasca kesanggupan Pemda Banyumas yang akan menyediakan dana Rp 1 milyard untuk renovasi Gedung Soetedja yang dilontarkan Suherman Ketua DPRD Banyumas (SM,7/8/2007) maka para seniman pun jadi geger gonjang-ganjing.

Maka dibuatlah pertemuan yang diberi label "Rembug Soetedja" digelar Selasa, 11 September 2007 yang dengan segala kerepotan didalangi oleh Mas In dari PWI dan Kang Blendhos Edi Romadhon. Hiruk pikuk para seniman, pemerhati kesenian, penikmat seni pun terjadi. Buntutnya opini seniman terpecah. ( SM/14/9/2007 ) Pengamat budaya Mas'ut dari Sokaraja menyebut perdebatan mengenai pemugaran Gedung Soetedja justru hanya mengejar uceng.

Saya amini pendapat Mas'ut. Para seniman Purwokerto yang hadir kurang cerdas dalam memanfaatkan Rembug Soetedja sebagai pintu masuk untuk menggolkan TBB (Taman Budaya Banyumas)  Opini itu makin hangat seiring polemik tentang pemanfaatkan lahan bekas terminal lama. Jadi Purwokerto Tower apa TBB ( Taman Budaya Banyumas )

Penyelenggara Rembug Soetedja gagal memanfaat kehadiran Bupati, Ketua Dewan,  dan Assebang, yang merupakan tokoh kunci menggolkan impian para seniman Purwokerto. Apresiasi dan dukungan pihak eksekutif, legislatif sudah sangat menggembirakan dan membawa harapan. Namun yang diperoleh hanyalah uceng." Pemprov sudah menyediakan anggaran untuk berdirinya satu taman budaya lagi di Jateng, setelah Solo dan Semarang. Kalau Banyumas tidak proaktif dan cuma ngurusi Soetedja, kelihatannya Tegal yang malah akan maju " begitu Mas' ut, menyesalkan.

Pada saat pemerintahan Bupati Mardjoko-Achmad Husein 2008-2013 masalah TBB lerep tak ada pembicaraan karena antara para seniman yang tergabung dalam DKKB pecah konflik gara-gara pembongkaran alun-alun oleh Mardjoko, pemerintah dan seniman tak ada komunikasi putus hubungan. Baru ketika Mardjoko lengser dan diganti Achmad Husein-Budhi Setiawan hubungan renggang pemerintah seniman disambungkan kembali.

Ketika Gedung Soetedja akan dibongkar untuk perluasan Pasar Manis, Bupati Achmad Husein mencoba merangkul para seniman untuk mendapat persetujuan penggusuran Gedung Soetedja. Melalui Jarot C. Setyoko mengumpulkan para seniman di aula harian Satelit Post, Minggu, 28 April 2013  untuk berembug dan menghasilkan TIM 9. Dilanjutkan pada pertemuan kedua di rumah Badhor Kayu, Minggu, 5 Mei 2013 dengan keputusan antara lain menyetujui relokasi Gedung Kesenian lalu dibentuk TIM 5 untuk menyampaikan hasil rembugan para seniman kepada Bupati Achmad Husein.

GKS salah  lokasi.GKS yang sekarang  amburadul di lokasi  lingkungan Kantor Kelurahan jelas salah lokasi. Sebagai anggota  gabungan Tim 9 dan Tim 5 yang berjumlah 14 orang, saya satu-satunya yang tidak ikut menandatangani berita acara persetujuan lokasi dibangunnya GKS.Pancurawis, Purwokerto Kidul bukanlah opsi yang ditawarkan Pemda melalui Amrin Maruf selaku Kabid Budaya Dinporabudpar Banyumas. Opsi yang ditawarkan adalah GOR, lahan bekas kawedanan di Karalewas, Tanjung Elok, depan terminal Bulupitu Teluk, Tanjung Elok dan  Stadion Mini di belakang kantor Dinas Pendidikan. Dari sekian opsi tempat rembug budaya para seniman menyetujui Stadion Mini sebagai lokasi Taman Budaya.

Namun, Stadion Mini diprotes Koni dan ditentang warga Purwokerto Kulon akhirnya disodorkan penggantinya di Pancurwawis. Ternyata opsi Stadion Mini tidak disurvei dan disosialisasikan  terlebih dahulu kepada masyarakat setempat. Padahal Stadion Mini adalah lapangan bola yang ditelantarkan, penuh belantara perdu dan menjadi sarang gembel dan prostitusi jalanan.

Lahan Pancurawis di Purwokerto Kidul merupakan kubangan sawah terlantar, kolam dan kebun kangkung berawa-rawa. Perlu urug total dan pemadatan luar biasa sebelum dibangun. Lahan dekat lingkungan padat dengan akses jalan yang sempit. Maka saya menolak, perlu dirembug kembali dan negosiasi dengan masyarakat Purwokerto Kulon dan Koni yang merasa berkepentingan dengan Stadion Mini. Stadion Mini merupakan lahan yang paling ideal dari sekian opsi, sayang Pemda tidak melakukan sosialisasi yang memadai.

Nasi sudah menjadi bubur,memang itulah kenyataanya. Gedung Pengganti Sutedjo Digelontor Rp 2,4 Miliar  Siap Digunakan Seniman Tahun Ini, demikian judul berita Radar Banyumas Sabtu,15 Juli 2017. Pentas teater dengan lakon Rahuwana Jendra lakon karya Jarot C. Setyoko oleh para seniman teater yang disutradarai oleh Bambang Wadoro dari teater Tubuh Jumat, 22 Desember 2012 menandai dibukanya GKS.

Memang gedung yang masih berantakan dipaksakan untuk menjadi panggung teater, ya banyak keluhan. Setting, lighting ideal sulit diterapkan ataupun suara yang eror karena akustik yang tak memadai, sebenarnya belum layak digunakan untuk pentas seni, namun dipaksakan untuk diresmikan. Baca kembali di awal tulisan reportase Liputan 6.

GKS yang diharapkan menjadi bangunan pembuka berdirinya TBB saja masih berantakan dan tidak ada kejelasan tindak selanjutnya, apalagi sarana bangunan lainnya untuk melengkapi TBB. Padahal sudah kerap dikaji sudah studi banding ke TBS (Taman Budaya Surakarta) Bentara Budaya dan Umah Tembi Yogyakarta, Galeri Indonesia dan TIM Jakarta, tapi kalau penanganannya tida fokus dan serius TBB akan terlunta-lunta entah kapan akan terwujud. 

 Pada tahun politik Pilkada Banyumas 2018 apakah hasilnya akan memacu secepatnya terwujudnya TBB? Atau sebaliknya justru TBB akan menjadi mangkrak tak terselesaikan? Apakah TBB hanyalah sekadar impian belaka bahkan menjadi utopia? Walauhalam bisawa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun