Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Dhalang Jemblung" Riwayatmu Doeloe, Riwayatmu Kini

23 Februari 2018   16:20 Diperbarui: 23 Februari 2018   16:37 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terakhir ada tontonan dhalang jemblung pada tahun 2013 dipentaskan di TRAP (Taman Rekreasi Andhang Pangrenan)  dalam rangka Purwokerto Bersatu Rongewutelulas yang menampilkan Mbah Harjo dari Sumpiuh. Berlima para kaki nini  yang rata-rata sudah di atas 60 tahun ini duduk di kursi mengelilingi meja yang berisi pacitansekaligus sebagai sajen.

Begitulah dari masa ke masa dhalang jemblung tetap menggunakan pakem baku tidak ada perubahan apalagi inovasi. Dhalang jemblung tetap stagnan riwayatmu dulu riwayatmu kini.

Kasihan pentas dhalang jemblung, sepuluh menit pertama masih banyak penonton tetapi setelah itu satu-persatu mereka meninggalkan arena dan tinggal beberapa gelintir saja yang bertahan. Jujur, saya pun tidak tahan njimblengterus menyimak tontonan, ada rasa bosan, kurang menarik, monoton dsb.

Riwayatmoe doeloe,

Dhalang jemblung di Banyumas merupakan teater bertutur seperti yang ada di berbagai pelosok Nusantara. Di Pemalang disebut rontholan, di Jatim kentrung, Betawi, sohibul hikayat, lamut di Kalsel, sinrilik di Sulsel,  cekepung di  Lombok, gaok di Majalengka (Kasim Achmad).

Namun dhalang jemblung di Banyumas memiliki keunikan tersendiri yang kalau  di Kediri jemblung adalah sarana untuk berdawah siar Islam dengan mengumandangkan sholawat,  jemblung di Banyumas mengoralkan sastra klasik, legenda, mite dan babad.

Banyak rujukan yang mengupas asal muasal dhalang jemblung. Jemblung dari jarwo dhosok,  jemjem jemjeme wong gemblung, lalu alat musik terbang besar atau jidor pada kentrung di Jatim yang kalau dipukul berbunyi blung . blung .. sampai kisah Ki Lebdojiwo zaman Amangkurat 1 yang dalam pelariannya sampai ke daerah Pekuncen Banyumas  merindukan tontonan wayang lalu nanggap dhalang secara solo jadi seperti wong gemblung. Juga, Jemblung Marmadi tokoh wayang menak yang ada di  Kemranjen Banyumas disebut  Angguk Marmaya atau menoreng.

Runutan dhalang jemblung di Banyumas dimulai dari selamatan kelahiran bayi yang disebut muyen, nemu bayen. Saat lek-lekan sekumpulan orang bermacapatan. Lalu berkembang menjadi munthiet bila dilakukan sendirian alias solo. Penampilannya meluas bukan saja saat muyen namun juga pada hajatan lainnya secara kelompok 4 -- 5 orang  berbagi peran menjadi dhalang, sinden, pemusik secara akapela semua merangkap peraga.

Seniman dhalang jemblung,  antara lain Mbah Hardjo Parman dan Sarkim dari Sumpiuh. Mad Wirana, M. Kusen, Talim, Tumirah, rombongan jemblung dari desa Gumelar Lor Kecamatan Tambak yang sudah padha thuyuk-thuyuk masih menggunakan pakem klasik. Entahlah kini keberadaan mereka apakah masih sugengatau tilar donya.

 Upaya pembaharuan dilakukan oleh kelompok SPJ (Seni Pedhalangan Jemblung) Tirta Kencana  di mana dhalang Ki Tasirun Singamiardja membawa siter mini ungkab-ungkeb, bolak-balik, pelog slendro, Ki Sadiran Goyol (kenong & gong mulut) memakai kudhi, Dirun (saron mulut) dan Sutanto (pengendhang mulut) yang pernah  tampil di Pasar Seni FKJ XII di  Yogyakarta (Budiono Heru Satoto) Kini mereka, entah bagaimana gerangan kabarnya.  Begitulah dari masa ke masa dhalang jemblung tetap menggunakan pakem baku. Dhalang jemblung tetap stagnan kalau tidak ada upaya inovasi.

Jemblung gaul,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun