Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lengger Lanang, Riwayatmu Dulu, Riwayatmu Kini

21 Februari 2018   16:46 Diperbarui: 22 Februari 2018   22:13 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tlatah Banyumas sebagai wilayah cedhek watu adoh ratu yaitu suatu wilayah di luar kekuasaan kraton yang merupakan wilayah nagari gung selalu menghadirkan kesenian yang berorientasi kerakyatan. Kesenian yang tidak elitis, dapat dinikmati rakyat jelata sebagai perwujudan budaya agraris tidak seprti gambyong atau serimpi yang dipentaskan di keraton.

Demikianlah lengger, dipentaskan di jalanan, lapangan ataupun di tengah sawah. Egaliter, blakasuta penuh gerakan-gerakan eksotis, baik yang utama goyang pinggulnya, senggakan, maupun irama musiknya yang penuh energi. Maka dalam pagelarannya terleburlah dua fungsi tari lengger.

Misalnya dalam baritan, suatu upacara dalam rangka memohon datangnya hujan dan keselamatan ternak dari hama penyakit yang digelar di tengah sawah yang kering. Lengger berfungsi sebagai upacara sarana permohonan dewi kesuburan sekaligus fungsi untuk hiburan masyarakat. Dalam baritan ada saweran lengger di mana para lelaki ikut menari dengan membawa dadung tali untuk mengikat kerbau untuk menjerat lengger.

Memang, tari lengger konon merupakan sisa-sisa dari sebuah tarian religius, tarian keagamaan lokal yang mendapatkan pengaruh Hindu, tarian dari India Selatan sebagai sarana pemujaan terhadap Dewi Durga. Di Tanah Jawa, khususnya di Banyumas mengalami inkulturasi dengan pemujaan terhadap Dewi Padi, Dewi Sri. Maka lengger juga kerap dipentaskan sebagai ucapan syukur sehabis panen.

Mengapa lengger ditarikan oleh seorang pria, pada bagian pertama telah diuraikan riwayatnya ketika rombongan lengger ngamen cukup berat dilakoni seorang perempuan dan tidak leluasanya wanita berkiprah di muka umum. Namun kalau ditelusuri sumber-sumber lain, misalnya dalam Kamus Bausastra Jawa-Indonesia susunan S. Prawiroatmodjo (1957) ditulis bahwa lengger adalah penari pria.

Demikian pula Pigeu dalam bukunya Javans Volksvertoningen di Banyumas ada pertunjukan tari yang dimainkan oleh laki-laki dalam bentuk travesti. Travesti adalah laki-laki yang berlaku kewanita-wanitaan dan senang berdadan dan bersolek serta menari tarian wanita.

Lengger sebagai hiburan

Selain sebagai pengisi acara ritual agraris untuk mengundang hujan dan pengusir hama penyakit ternak dalam baritan, lengger juga dipentaskan sebagai sarana hiburan. Sebagai sarana hiburan memang lengger cukup memenuhi syarat. Penari lengger adalah seorang wanita muda dengan paras yang menarik dan cantik. Kecantikan adalah prasyarat utama bagi seseorang yang ingin menerjuni profesi sebagai seorang lengger.

Namun demikian, ia juga memiliki syarat lain, yaitu memiliki kualitas tarian dan suara yang bagus. Lengger selain sebagai penari juga sekaligus sebagai penembang dalam pentas. Tanpa diimbangi kualitas tarian dan vokal yang memadai niscaya kehadirannya di atas panggung akan menjadi kurang semarak dan tidak mengundang daya tarik penonton.

Jika seorang lengger sudah cantik, tariannya yahud dan vokalnya oke, pastilah ia akan menjadi seorang lengger yang ngetop dan digandrungi oleh banyak penonton. Kedatangan lengger di atas pentas selalu disambut teriakan histeris dan siulan penton yang kesengsem melihat penampilan penari-penari pujaannya. Itulah sebabnya lengger sebagai akronim gara-gara leng dadi padha geger.

Lengger merupakan tarian rakyat tarian yang lebih mementingkan partisipasi bersama daripada penataan artistik yang ditujukan kepada penontonnya. Dalam petunjukan lengger di masa lalu, kesenian ini benar-benar membuka peluang bagi penonton untuk menari bersama dengan penari lengger dalam bentuk banceran, marungan, dan ombyok (Yusmanto,1999:7-8).

Banceran, adalah saat di mana penonton menari dengan lengger dengan cara menyelipkan sejumlah uang di kemben yang dipakai oleh penari. Pada saat itu penonton dapat memesan lagu atau gending kesukaannya dan menari dengan lengger dalam satu babak (satu kali sajian gending). Setelah itu ia dapat memesan gending lain dan kembali menari dengan lengger dengan cara menyelipkan lagi sejumlah uang di balik kemben.

Marungan, adalah model pesta para priyayi desa pada masa lalu. Pada acara marungan berkumpul beberapa priyayi yang bersukaria dengan menenggak minuman dan bermain kartu. Pada saat itu diundang satu rombongan lengger dan dipentaskan untuk meramaikan acara minum-minum dan permainan kartu. Pertunjukan lengger dalam acara tersebut sama sekali tidak digunakan untuk keperluan hajatan. Lengger benar-benar hadir sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hiburan si penanggap yang sedang bersukaria. Sebagai kelengkapan hiburan, maka pertunjukan hiburan di sini lebih bebas dan setiap orang yang tergabung dalam acara itu dapat menari bersama dengan lengger dengan cara menyelipkan uang ke balik kemben.

Ombyok, adalah salah satu bentuk tradisi orang Banyumas ketika sedang punya hajat maka yang sedang dihajati (biasanya pengantin pria atau anak yang akan dikhitankan) didaulat untuk menari dengan lengger. Bagi mereka ini sangat menggairahkan karena semua orang yang hadir dalam pertunjukan itu akan dapat menyaksikan betapa si empunya hajat tengah dalam kegembiraan dan kebahagiaan.

Perjalanan lengger lanang tergeser oleh lengger yang ditarikan kaum perempuan, di samping masalah regenarasi juga pandangan yang dikaitkan LGBT. Namun setelah lengger perempuan marak dan populer kemudian diterjang isu-isu negatif seperti prostitusi, selingkuhan, minum-minum dan pandangan kaum pesantren. Maka sempat pula aparat keamanan melarang pertunjukan lengger pada malam hari. Juga adanya adat gowokan yang diungkapkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai pendidikan seks bagi calon pengantin pria yang diajarkan oleh seorang lengger.

(Sumber gambar: regional.liputan6.com)
(Sumber gambar: regional.liputan6.com)
Dalam perkembangannya justru lengger mampu memadukan konsep tradisi-modern dalam setiap pertunjukannya. Kostum, rias, koreografi, iringan musik, tata pentas kian beradaptasi dengan seni kekinian. Bentuk gerak semakin bervariasi dengan dipadukan dengan bentuk-bentuk modern dance yang memungkinkan lebih memikat penonton. Daam hal sajian gending atau lagu, saat ini lazim disajikan gending atau lagu-lagu campur sari atau lagu-lagu pop.

Untuk mendukung disajikannya lagu-lagu campur sari dan lagu-lagu pop ini tentu saja ditambahkan pula instrumen-instrumen musik tertentu yang bersifat non tradisi. Demikian pula peralatan pendukung pementasan sudah dilengkapi dengan perangkat sound system dan lighting yang cukup memadai. Kini lengger telah disajikan pada acara-acara resmi pemerintah kabupaten untuk menyambut tamu dan sebagai pembuka berbagai peristiwa penting, seperti halnya tari Gambyong dari kraton atau tari Pendhet dari Bali.

Kembali ke lengger lanang. Apakah dengan degesernya penari laki-laki dengan penari perempuan lengger lanang musnah? Ternyata tidak, generasi penerus Mbah Dariah kini telah bermunculan. Seperti, Agus Wahyudi alias Agnes Moniki, lengger lanang dari Desa Binangun, Banyumas. Lengger lanang yang lain Gatot dan Sliwan dari Tambaknegara Rawalo.

Lengger lanang pun telah go international. Pertengahan September 2016 tiga penari lengger lanang dari Rumah Lengger Banyumas yaitu Tora Dinata, Wahyuid dan Riyanto diundang tampil di Open Stage of Akita Museum Art Keiyo University Tokyo dan Dewandaru Dance Company, pentas tiga negara Jepang, Korsel dan RI.

Tari Lengger, baik yang dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan di Banyumas sebagaimana tarian-tarian rakyat di berbagai daerah seperti yang tersebar di mana-mana meskipun bentuknya berbeda-beda. Misalnya: Ronggeng, Gandrung Banyuwangi, Dombret Karawang, Cokek Jakarta, Gambyong Keraton, Tayub, Teledhek Wonosari, Sintren Pesisiran, harus tetap dirawat dan dikembangkan dan bisa menjadi ikon budaya Banyumas. Amin ya robal allamin ....

*) Diramu dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun