Banceran, adalah saat di mana penonton menari dengan lengger dengan cara menyelipkan sejumlah uang di kemben yang dipakai oleh penari. Pada saat itu penonton dapat memesan lagu atau gending kesukaannya dan menari dengan lengger dalam satu babak (satu kali sajian gending). Setelah itu ia dapat memesan gending lain dan kembali menari dengan lengger dengan cara menyelipkan lagi sejumlah uang di balik kemben.
Marungan, adalah model pesta para priyayi desa pada masa lalu. Pada acara marungan berkumpul beberapa priyayi yang bersukaria dengan menenggak minuman dan bermain kartu. Pada saat itu diundang satu rombongan lengger dan dipentaskan untuk meramaikan acara minum-minum dan permainan kartu. Pertunjukan lengger dalam acara tersebut sama sekali tidak digunakan untuk keperluan hajatan. Lengger benar-benar hadir sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hiburan si penanggap yang sedang bersukaria. Sebagai kelengkapan hiburan, maka pertunjukan hiburan di sini lebih bebas dan setiap orang yang tergabung dalam acara itu dapat menari bersama dengan lengger dengan cara menyelipkan uang ke balik kemben.
Ombyok, adalah salah satu bentuk tradisi orang Banyumas ketika sedang punya hajat maka yang sedang dihajati (biasanya pengantin pria atau anak yang akan dikhitankan) didaulat untuk menari dengan lengger. Bagi mereka ini sangat menggairahkan karena semua orang yang hadir dalam pertunjukan itu akan dapat menyaksikan betapa si empunya hajat tengah dalam kegembiraan dan kebahagiaan.
Perjalanan lengger lanang tergeser oleh lengger yang ditarikan kaum perempuan, di samping masalah regenarasi juga pandangan yang dikaitkan LGBT. Namun setelah lengger perempuan marak dan populer kemudian diterjang isu-isu negatif seperti prostitusi, selingkuhan, minum-minum dan pandangan kaum pesantren. Maka sempat pula aparat keamanan melarang pertunjukan lengger pada malam hari. Juga adanya adat gowokan yang diungkapkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai pendidikan seks bagi calon pengantin pria yang diajarkan oleh seorang lengger.
Untuk mendukung disajikannya lagu-lagu campur sari dan lagu-lagu pop ini tentu saja ditambahkan pula instrumen-instrumen musik tertentu yang bersifat non tradisi. Demikian pula peralatan pendukung pementasan sudah dilengkapi dengan perangkat sound system dan lighting yang cukup memadai. Kini lengger telah disajikan pada acara-acara resmi pemerintah kabupaten untuk menyambut tamu dan sebagai pembuka berbagai peristiwa penting, seperti halnya tari Gambyong dari kraton atau tari Pendhet dari Bali.
Kembali ke lengger lanang. Apakah dengan degesernya penari laki-laki dengan penari perempuan lengger lanang musnah? Ternyata tidak, generasi penerus Mbah Dariah kini telah bermunculan. Seperti, Agus Wahyudi alias Agnes Moniki, lengger lanang dari Desa Binangun, Banyumas. Lengger lanang yang lain Gatot dan Sliwan dari Tambaknegara Rawalo.
Lengger lanang pun telah go international. Pertengahan September 2016 tiga penari lengger lanang dari Rumah Lengger Banyumas yaitu Tora Dinata, Wahyuid dan Riyanto diundang tampil di Open Stage of Akita Museum Art Keiyo University Tokyo dan Dewandaru Dance Company, pentas tiga negara Jepang, Korsel dan RI.
Tari Lengger, baik yang dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan di Banyumas sebagaimana tarian-tarian rakyat di berbagai daerah seperti yang tersebar di mana-mana meskipun bentuknya berbeda-beda. Misalnya: Ronggeng, Gandrung Banyuwangi, Dombret Karawang, Cokek Jakarta, Gambyong Keraton, Tayub, Teledhek Wonosari, Sintren Pesisiran, harus tetap dirawat dan dikembangkan dan bisa menjadi ikon budaya Banyumas. Amin ya robal allamin ....
*) Diramu dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H