Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritual Agraris Mengundang Hujan, Boneka Pengundang Hujan (Bagian 1)

25 Januari 2018   18:10 Diperbarui: 25 Januari 2018   18:40 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, orang bilang tanah surga, itulah cuplikan  lirik lagunya Koes Plus, Kolam Susu. Gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, suluk ki dhalang untuk menggambarkan suatu negeri termasuk Nusantara.

Gemah ripah, tanah surga, diolah dari sawah, lahan, kebun oleh sedulur-sedulur tani menghasilkan padi, sayur-sayuran, palawija, teh, kopi,  dsb. Ya Indonesia   memang negara agraris. Dan tata tentrem kerta raharja selalu didambakan dengan merawat kerukunan dan gotong royong.

Sedulur tani yang makarya untuk kehidupannya tidak pernah lepas dari alam, tanah, air, cuaca dan musim. Agar berhasil olah tanennya dulur tani harus bersahabat dengan alam. Ngopeni, ramah, menghormati, mensyukuri kepada Gusti Ingkang Murbheng Dumadi yang menciptakan dan menguasai alam.

Maka sejak jaman dahulu kala, dulur tani selalu melakukan ritual agraris agar berhasil dalam mengolah sawah atau lahannya. Merti desa atau ruwat bumi suatu perayaan untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena panen berhasil.

Sebaliknya  kalau panen gagal jadi paceklik, hasil tani puso, dulur tani pun melakukan ritual memohon pertolongan kepada Sang Penguasa Alam. Salah satu kegagalan panen adalah ketika musim kemarau berkepanjangan. Ketika  hujan  tak kunjung datang, dulur tani mengadakan ritual agraris untuk mengundang hujan.

Begitulah, Indonesia negeri agraris, beraneka ritual agraris dilakukan sedulur tani.  Berikut, tulisan di bawah ini adalah paparan aneka  ritual agraris mengundang hujan oleh para petani di Indonesia.

Aneka ritual mengundang hujan

Ada beberapa perlengkapan yang dipergunakan sebagai media untuk mengadakan ritual mengundang hujan, antara lain dengan : boneka, tongkat atau pecut/cemeti, binatang, roket dan alat rumah tangga, musik dll.

Ritual mengundang hujan dengan boneka

  • Cowongan
  • Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitarnya. Menurut kepercayaan masyarakat Banyumas, permintaan datangnya hujan melalui cowongan, dilakukan dengan bantuan bidadari, Dewi Sri yang merupakan dewi padi, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Melalui doa-doa yang dilakukan penuh keyakinan, Dewi Sri akan datang melalui lengkung bianglala (pelangi) menuju ke bumi untuk menurunkan hujan. Datangnya hujan berarti datangnya rakhmat Illahi yang menjadi sumber hidup bagi seluruh makhluk bumi, termasuk manusia.

Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata "cowong" ditambah akhiran "an" yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengan kata perong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan di bagian wajah.

Cowongan dapat diartikan sesuatu yang dengan sengaja dilakukan seseorang untuk menghias wajah. Wajah yang dimaksud adalah wajah siwur yang dihias sedemikian rupa agar menyerupai manusia (boneka). Kini cowongan sudah tak lagi menjadi ritual agraris tetapi sebagai bentuk paduan seni rupa, tari, musik dikemas dalam bentuk teaterikalisasi.

Di Purwokerto ibukota Banyumas cowongan sebagai bentuk seni pertunjukan sering digelar di lapangan dan di jalan-jalan pada perayaan Hari Jadi Banyumas atau Suran oleh Padhepokan Cowong Sewu. Cowongan juga pernah digelar di manca negara diusung oleh DKKB (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas) menjadi duta seni Banyumas pada ajang internasional Mezinarodni Folklorni Festival, 12 -- 18 Juni 2007 di Frydek-Mistex  Republik Ceko Eropa Tengah yang diselenggarakan oleh CIOFF / UNESCO.

Kemudian tampil di Dataran Merdeka Kuala Lumpur Malaysia  mengikuti International Drum Festival pada akhir Desember 2007. Sungguh raihan prestasi membanggakan tlatah Banyumas  dalam memperkenalkan seni budaya Banyumas di kancah internasional.

Barit Cowong

Upacara Adat Barit Cowong merupakan upacara adat permohonan untuk meminta turunya hujan di Dusun Gandaria Desa Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. Berlatar belakang dari cerita rakyat Jaka Tarub yang beristikan seorang dewi dari khayangan bernama Dewi Nawang Wulan, yang dari pernikahan mereka lahir seorang anak yang bernama Dewi Nawangsih. 

Sampai suatu saat Sang Dewi Nawang Wulan harus kembali ke khayangan dan Jaka Tarub mengasuh Dewi Nawangsih. Sang Dewi berpesan jika Dewi Nawangsih kecil menangis dan tidak mau diam, benturkan saja kepala Dewi Nawangsih kepohon pisang raja dan letakan dibawahnya maka Sang Dewi Nawang Wulan akan turun dari khayangan menemui anaknya. 

Sejarah awal mula adanya Upacara Barit Cowong dalam masyarakat Gandaria di kabupaten Cilacap yaitu pada masa peralihan penjajahan Belanda dan Jepang dahulu pada masa itu terjadi kekeringan sangat panjang yang lebih dari dua tahun di Dusun Gandaria dan sekitarnya.

Pada waktu itu salah seorang sesepuh masyarakat Dusun Gandaria mengundang lima orang tetangganya, pada saat itu diminta siwur kepada orang yang mempunyai siwur (alat untuk mengambil air dari batok kelapa). Sebagai sarana perantara meminta hujan kepada Allah SWT, siwur dilukis menggunakan kapur sirih (enjet) dan arang. 

Sebagai ritual, Siwur dipegang dua orang dan diiringi tembang dan bunyi-bunyian dari suara orang-orang. Dengan doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan, mereka mengharapkan turunnya hujan agar mereka dapat kembali mengolah tanah sehingga dapat ditanami benih yang akan dapat menghasilkan sumber makanan.

Begitulah upacara Barit Cowong adalah sebagai perantara pemanggilan hujan di Dusun Gandaria Desa Pekuncen dan di desa Ayamalas Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap merupakan upacara tradisi meminta turunya hujan melalui media boneka dari siwur batok kelapa yang dihias dan dilakukan pada saat musim kemarau panjang tiba.

  • Cingcowong
  • Cingcowong adalah seni ritual agraris untuk mengundang hujan dari Desa Luragung Landeuh, Kabupaten Kuningan. Cingcowong berasal dari kata "cing" yang berarti "teguh" (dalam bahasa Indonesia artinya 'terka') dan "cowong"merupakan kependekan dari kata "wong" yang dalam bahasa Jawa berarti 'orang'. Maka dengan demikian jika disatukan kata "cingcowong" tersebut memiliki arti: " coba terka siapa orang ini". Mengapa dinamakan demikian? Karena bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Desa Luragung merupakan campuran antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda karena desa ini merupakan desa terujung di Kabupaten Kuningan yang berbatasan dengan kabupaten Brebes di Jawa Tengah.

Peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya upacara ini adalah terjadinya kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan sehingga berdampak kepada penghasilan masyarakat yang mayoritas adalah petani. Pada saat itu Desa Luragung terdampak kekeringan karena kemarau panjang. Para petani resah dan keadaan mendesak akibat sawah dan ladang gagal panen.

Pada situasi sulit tersebut, Rantasih  leluhur Desa Luragung mengajak  masyarakat sekitar untuk berusaha mengatasi keadaan. Ia kemudian mengajak masyarakat untuk mencari sumber mata air, tetapi usahanya gagal karena masyarakat yang sudah terlanjur putus asa tidak bersedia memenuhi ajakannya. Dalam keadaan demikian Rantasih tidak berputus asa, ia tetap berupaya mencari jalan keluar mengatasi kekeringan.

Akhirnya Rantasih berhasil mengumpulkan orang-orang dengan menabuh ceneng berulang kali. Rantasih memberikan petunjuk untuk membuat ritual cingcowong dari hasil tirakat dan puasa. Melalui media cingcowong mereka para petani Luragung  meminta hujan kepada Tuhan. Ritual cingcowong pun menjadi tradisi memohon hujan di Desa Luragung bila mengalami kekeringan.

Begitulah, boneka-boneka yang terbuat dari siwur yang didadani sedemikian rupa untuk dijadikan media untuk memohon datangnya hujan kepada Yang Maha Kuasa. Ritual agraris ini pun menjadi tradisi bagi masyarakat agraris bila musim kemarau berkepanjangan yang bisa menyebabkan gagal panen lalu paceklik dan kelaparan.

Kata cowong yang menjadi nama boneka siwur ini terdapat di sebaran budaya di daerah Jawa Tengah sebelah barat, baik di bagian selatan, dari Kebumen sampai Cilacap dan bagian utara perbatasan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan. Percampuran dua budaya, yaitu budaya penginyongan di Banyumas Raya dan budaya di perbatasan Jawa Tengah dengan  Jawa Barat.

(bersambung)

Diolah dari berbagai sumber :

  • Yusmanto, Wong Banyumas
  • Gesang Widiyono, penelitian di Desa Pekuncen
  • Risa Nopianti Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun