Mohon tunggu...
Saepulloh
Saepulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku adalah naturlijk person yang lahir sehari sebelum hari guru internasional, setahun setelah tragedi semanggi 2.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pernikahan Beda Agama di Indonesia Ditinjau dari Perspektik Hak Asasi Manusia

12 April 2023   05:49 Diperbarui: 12 April 2023   06:16 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Indonesia adalah sebuah negara plural yang terdiri dari bermacam-macam suku,ras, agama, dan lainnya, dalam kultur masyarakat Indonesia mencari pasangan ditempuh dengan jalur pernikahan. Dengan keberagaman suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia, pernikahan yang berbeda suku, ras ataupun agama sering terjadi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak-hak setiap warga negara untuk melangsungkan kehidupannya melalui perkawinan, hal ini disebutkan di dalam pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Pasal ini sangat jelas menyebutkan bahwa setiap orang, berarti dalam hal ini siapa saja tanpa perlu memandang perbedaan suku, ras, agama, adat ataupun budaya.

Pada tahun 1974 pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengeluarkan suatu produk hukum yakni Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai dasar hukum bagi setiap warga negara atau masyarakat yang ingin melaksanakan perkawinan, di dalam Undang-undang ini disebutkan semua syarat-syarat yang harus dilalui oleh setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan, namun di dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa dalam pasal 2 ayat (1) "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya itu",dengan adanya pasal ini tentunya dapat menghalangi dua orang yang berbeda keyakinan agama yang akan melangsungkan pernikahan.

Terbit dan hadirnya Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkanketurunan melalui perkawinan yang sah dan menjamin hak kebebasan untuk memilih calon suami dan calon isteri, termasuk perempuan memiliki hak untuk menikah dengan warga negara asing dan bebas untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat semenjak dilahirkan yang merupakan pemberian tuhan yang maha kuasa, yang dimana masyarakat dan negara wajib menghargai dan mengakuinya. Perkawinan bed agama diakui dalam pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal yang menyatakan "Laki-laki yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Semua memiliki hak yang sama dalam soal perkawinan di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian". Dengan kata lain, ketentuan yang ada dalam deklarasi universal ini menjamin hak setiap orang untuk menikah dan membentuk keluarga walaupun pasangan calon suami atau calon istri berbeda agama.

Perbedaan agama dalam suatu pernikahan dianggap lumrah, jika mengacu pada deklarasi universal tersebut, namun jika di Indonesia apabila ada yang melangsungkan pernikahan beda agama, hal itu tentu saja akan menimbulkan permasalahan karena dalam Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sudah disebutkan jelas. Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) tersebut, bisa diartikan pernikahan dapat dikatakan sah apabila pasangan yang hendak menikah adalah seagama atau satu kepercayaan.

Bagaimana Pandangan Hak Asasi Manusia Terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia ?

Perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas
kemajemukan tersebut. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika
pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna.

Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Jika di Indonesia terjadi penolakan
perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif Hak asasi Manusia, hal tersebut menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh Hak Asasi Manusia terutama hak
beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang. Alasannya adalah bahwa Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan instrumen hukum yang mengatur Hak Asasi Manusia secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa " Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu".

Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa "Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa "Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan,
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya".

Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi".
Pasal 8 juga menyatakan bahwa, "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah". Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan
beragama dan kebebasan untuk berkeluarga di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.

Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah
tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan. Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang- Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Sebagai hak yang paling mendasar, Hak Asasi Manusia mau tidak mau harus diwujudkan secara konkrit, tentunya tidak hanya sekedar meratifikasi Konvensi Hak Asasi Manusia internasional, melainkan juga menerapkan hak dasar tersebut ke dalam
hukum nasional. Sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia harus digabungkan ke dalam hukum positif, walaupun dengan catatan bahwa harus disesuaikan dengan kebudayaan bangsa Indonesia. Sebagai instrumen yang bersifat universal Hak Asasi Manusia seharusnya tidak hanya diakui keberadaannya secara mutlak, namun juga harus dijunjung tinggi. Di sini peran pemerintah untuk menjaga, menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan
Hak Asasi Manusia agar menjadi norma-norma yang diterima menjadi landasan bagi warga negara dalam kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun