Mohon tunggu...
Saepulloh
Saepulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku adalah naturlijk person yang lahir sehari sebelum hari guru internasional, setahun setelah tragedi semanggi 2.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Libido Kekuasaan

18 November 2022   23:36 Diperbarui: 18 November 2022   23:57 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekuasaan sesungguhnya tidak korup, justru yang korup adalah

Ketakutan, yakni ketakutan akan kehilangan kekuasaan

-     John Ernst Stainbeck

Kekuasaan cenderung Korup, apalagi kalau kekuasaan itu bersifat absolut. Begitulah kira-kira isi pesan dari apa yang dinyatakan oleh Lord Acton. Seorang Filsuf jerman Friedrich Nietzsche juga berpendapat bahwa pada dasarnya manusia memiliki hasrat untuk berkuasa, yang umumnya diperoleh dengan jalan menguasai atau mempengaruhi orang lain. 

Dalam konteks perebutan kekuasaan, konflik antar individu maupun kelompok sangat mungkin terjadi, lagi-lagi ini sesuai dengan ungkapan Thomas Hobbes bahwa manusia secara alamiah bisa menjadi "serigala" bagi sesamanya (homo homini lupus). 

Terllbih lagi ketika dewasa kini, cara untuk memperoleh kekuasaan yang paling mudah adalah ketika adanya relasi kuasa dengan kekuasaan yang didapatkan dengan connection power, dimana kekuasaan yang diperoleh karena seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedang berkuasa (Nepotism).

Semua orang beramai-ramai untuk duduk dipuncak kekuasaan. Semua orang beramai-ramai untuk menjadi pengendali dan tidak ada yang ingin dikendalikan. Semua orang ingin melihat indahnya pemandangan dipuncak secara langsung. Apabila ada orang yang mencoba untuk merebut tempat itu, maka penguasa pasti akan menendangnya sampai jatuh tersungkur. 

Banyak sekali kasus ketika seseorang sudah berkuasa berlaku sewenang-wenang tanpa memperhatikan segala tindak tanduknya apakah maslahat atau tidak bagi komunalnya.

Kita semua mengamini dan tidak dapat dipungkiri, bahwa logika kekuasaan itu pada dasarnya adalah tentang kecenderungan mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai upaya yang dapat ditempuh, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Kecenderungan logika ini sudah berlaku lazim dan telah menjadi dalil primer setiap rezim yang berkuasa, dimanapun dan kapanpun.

Emil salim mengatakan, bahwa kecenderungan penguasa itu memang selalu mengkooptasi, ”Jika kita telah duduk dalam kekuasaan, kita cendrung ingin melanjutkan kekuasaan. Tentu dalam hal ini bagaimana mempertahankan status quo kekuasaanya.

Ketika sudah menang dan kekuasaan sudah dalam pangkuan, sebenarnya hasrat kekuasaan tidak sertamerta terpuaskan. Justru syahwat kekuasaan semakin menjadi- jadi. Ambisi tahap berikutnya setelah meraih kekuasaan adalah bagaimana “mengolah” kekuasaan secara maksimal untuk meraup keuntungan sembari bagaimana mengupayakan mengukuhkan kekuasaan agar tidak diusik dan diganggu pihak lain. 

Meskipun kecenderungan logika kekuasaan banyak yang negatif, buka berarti tidak ada logika kekuasaan positif yang ideal untuk dikembangkan dan ditradisikan. Paul padley mengatakan bahwa"kekuasaan ibarat sebuah roda yang sedang berputar menurut putaran jarum jam, yakni dari bawah ke atas, dan seterusnya dari atas turun ke bawah.

Secara implisit Padley ingin berpesan, sebelum kekuasaan berada di atas, maka seyogianya perkokohlah kekuasaan di bawah dengan cara menjadilah pengikut yang baik, sebab penguasa yang baik berasal dari pengikut yang baik pula. 

Setelah berada di atas siap-siaplah kekuasan tersebut akan turun ke bawah, cara turunnya ternyata berbeda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat, ada yang dipaksakan oleh orang lain karena dikhawatirkan membawa akibat yang merugikan orang lain dan institusinya, dan adapun yang dimintakannya sendiri dan adapula yang alamiah. 

Dalam berkuasa tentunya membutuhkan legitimasi dari akar rumput bagimana seseorang dapat berkuasa, yang biasanya dibuktikan dengan adanya periodesasi dalam memimpin. Berkenaan dengan berakhirnya legitimasi, tentunya seseorang yang berkuasa sudah tidak memiliki lagi legal standing untuk bertahan dengan status quo nya, dan masyarakat yang berada dibawah tentu harus sadar dan tidak boleh apatis terhadap keadaan yang jika hal tersebut terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun