Film Laut Tengah, yang mulai tayang pada 3 Oktober 2024, menghadirkan drama percintaan penuh kompleksitas. Disutradarai oleh Archie Hekagery dan diadaptasi dari novel laris karya Berliana Kimberly, film ini membawakan kisah penuh dilema yang tidak hanya mengeksplorasi romansa, tetapi juga memperlihatkan pengorbanan dan keputusan besar dalam hidup. Dengan dukungan dari bintang-bintang besar seperti Yoriko Angeline, Aliando Syarief, dan Anna Jobling, film ini mengajak penonton untuk terlibat dalam perjalanan emosional yang sulit.
Cerita Laut Tengah berfokus pada Haia (Yoriko Angeline), seorang perempuan muda dengan impian besar: melanjutkan studi S2 di Korea Selatan. Bagi Haia, mimpi ini bukan sekadar ambisi pribadi, tetapi sebuah jalan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, perjalanan menuju impian tersebut penuh dengan rintangan. Kehilangan kekasih tercinta, Zidan Gibraltar (Aliando Syarief), adalah salah satu dari banyak cobaan yang harus ia hadapi. Ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya membawa kesedihan mendalam, membuat Haia terjebak dalam dilema antara melanjutkan hidup atau tenggelam dalam duka.
Suatu hari, Profesor Fatih (Pritt Timothy) datang membawa kabar yang mengubah segalanya. Dia menawarkan bantuan untuk mewujudkan impian Haia kuliah di Korea Selatan. Namun, ada syarat yang tak biasa: Haia harus menikah dengan Bhumi Syam (Ibrahim Risyad), yang tak lain adalah suami dari Aisa (Anna Jobling), keponakan Profesor Fatih. Tawaran ini tentu saja membuat Haia terkejut dan bingung. Bagaimana mungkin impiannya untuk melanjutkan pendidikan dikaitkan dengan keputusan besar seperti pernikahan, apalagi sebagai istri kedua?
Haia membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Dalam kebimbangannya, ia bergulat dengan berbagai pertanyaan moral dan emosional: Apakah ia siap menikah hanya demi melanjutkan studi? Apakah benar ini satu-satunya jalan? Setelah melalui proses pemikiran yang panjang, Haia akhirnya menerima tawaran itu, meski dengan hati yang berat. Namun, yang tak terduga, ide pernikahan tersebut ternyata berasal dari Aisa sendiri. Aisa, istri pertama Bhumi, dengan penuh lapang dada meminta Haia untuk menikah dengan suaminya sebagai solusi.
Pertanyaan besar yang kemudian muncul: Mengapa Aisa bersedia mencarikan istri kedua untuk suaminya? Biasanya, dalam situasi seperti ini, istri pertama mungkin merasa terancam atau cemburu. Namun, Aisa justru memperlakukan Haia dengan sangat baik dan penuh pengertian. Poligami, yang dalam banyak konteks dianggap sebagai keputusan yang kontroversial, di sini dihadirkan sebagai solusi yang tampak harmonis. Meski begitu, tidak semua berjalan mulus. Bhumi Syam sendiri tidak langsung menerima Haia sebagai istrinya. Dia kesulitan untuk benar-benar membuka hati dan mencintai Haia, yang membuat hubungan mereka terasa kaku dan penuh ketidakpastian.
Drama semakin mendalam ketika Aisa meninggal dunia. Kepergiannya meninggalkan celah yang sulit diisi, tidak hanya bagi Bhumi Syam, tetapi juga bagi Haia yang mulai merasakan ikatan emosional dengan Aisa. Di tengah kondisi yang serba tidak pasti, Bhumi bahkan pada satu momen memperkenalkan dirinya sebagai kakak Haia. Tindakan ini semakin memperkeruh situasi, meninggalkan Haia dalam kebingungan antara statusnya sebagai istri kedua dan hubungan yang tidak jelas dengan Bhumi.
Tema poligami yang diangkat dalam Laut Tengah menjadi salah satu elemen paling menonjol dan memicu perdebatan di kalangan penonton. Poligami, yang dihadirkan sebagai solusi untuk memudahkan Haia melanjutkan pendidikan, tentu membuat banyak orang bertanya-tanya: Mengapa poligami yang dipilih? Bukankah ada cara lain yang lebih realistis dan tidak melibatkan pengorbanan sebesar itu? Namun, jika dilihat dari perspektif film, poligami di sini bukan hanya sekadar keputusan praktis, melainkan sebuah pilihan yang didasarkan pada norma agama dan budaya yang melekat dalam latar cerita.
Melalui kisah ini, Laut Tengah mencoba menggambarkan bahwa hidup sering kali menuntut keputusan besar yang sulit, terutama ketika menyangkut impian dan kebahagiaan. Baik Haia maupun Aisa, keduanya menghadapi situasi di mana mereka harus berkorban demi mencapai sesuatu yang mereka anggap lebih besar. Film ini juga ingin menunjukkan bahwa, meski dalam situasi yang rumit dan sulit dimengerti, ada pelajaran tentang pengorbanan, kesabaran, dan cinta yang bisa dipetik.
Namun, terlepas dari tema kontroversialnya, Laut Tengah menawarkan visual yang memukau. Latar belakang Korea Selatan yang ditampilkan dengan sinematografi indah menjadi salah satu daya tarik utama film ini. Setiap adegan yang diambil di negeri ginseng tersebut memberikan nuansa segar dan eksotis, memperkuat kesan bahwa film ini tidak hanya tentang kisah cinta, tetapi juga tentang perjalanan fisik dan emosional para karakternya.
Meski demikian, narasi Laut Tengah terkadang terasa kurang mendalam. Penggunaan trope lama seperti poligami sebagai solusi utama bagi karakter utamanya terkesan dipaksakan dan mungkin tidak relevan bagi penonton yang mengharapkan jalan cerita yang lebih realistis. Konflik batin yang dihadirkan memang mampu menggugah emosi, tetapi tidak sepenuhnya membawa penonton tenggelam dalam kedalaman cerita.
Pada akhirnya, Laut Tengah adalah film yang menarik untuk ditonton, terutama bagi mereka yang menyukai drama percintaan dengan sentuhan budaya yang berbeda. Meski tidak sempurna, film ini tetap menawarkan pengalaman menonton yang penuh emosi dan perenungan tentang makna cinta, pengorbanan, dan keputusan hidup. Bagi sebagian penonton, tema poligami mungkin menjadi hal yang sulit diterima, tetapi bagi yang lain, film ini bisa menjadi refleksi tentang bagaimana impian dan kenyataan terkadang saling berbenturan dalam kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H