Momentum Hari Ulang Tahun ke 74 Republik Indonesia menjadi momen berharga. Momen yang takkan bisa berulang perlu dimaknai dengan arti sejarah yang berharga. Begitu pula agenda yang dilaksanakan pada Minggu 18 Agustus 2019 bersama komik dengan menjelajah.
Kegiatan yang kuikuti dengan persiapan sebaik-baiknya, pun harus dengan penuh kegigihan. Betapa tidak, aku yang sudah bersiap dari subuh pada Minggu tersebut, sudah kenanti mengenang dan mengambil intisari dalam momen kenangan bersama sejarah.
Kegiatan yang diadakan oleh komik tersebut yang bertema jelajah menjadi makna tersendiri bagiku. Dari jelajah museum, hingga jelajah kuliner bahkan jelajah tentang film dengan nonton bareng (nobar) di wilayah Cikini.
Peserta jelajah bersama komik (dok. Babeh Helmi)
Jelajah Museum Kegiatan yang memang paling tidak kurasakan adalah jelajah museum. Namun, entah mengapa kegiatan bersama komik ini bikin bersemangat dan menginspirasi.
Jelajah ke museum perumusan naskah proklamasi menjadi titik awal dari kegiatan bersama komik. Kuberjalan sejenak dari stasiun cikini hingga menuju ke lokasi dengan bantuan GMaps. Ada sedih dan campur bahagia ketika bisa hadir ke museum ini dengan tepat waktu.
Plang dari depan Museum Naskah Proklamasi (dokpri)
Biaya masuk museum naskah proklamasi ini relatif murah loh. Untuk dewasa hanya Rp. 2.000,- , anak-anak hanya Rp. 1.000,-, rombongan (lebih dari 20 orang) dewasa hanya Rp. 1.000,-, dan rombongan anak-anak (lebih dari 20 orang) hanya Rp. 500,-. Lumayan terjangkau donk.
Museum perumusan naskah proklamasi ini ada dua lantai. Lantai pertama dengan bukti otentik berbentuk replika menjadi terkenang masa sejarah awal kemerdekaan Indonesia tersebut. Lantai dua berisikan tentang foto, dan beberapa peninggalan lainnya yang juga tidak bisa dilupakan dari sejarah. Namun, rangkaian sejarah belum terkuat dengan jelas jika melihat dari buku pelajaran di sekolah.
Tab yang ada di depan bagian registrasi tiket masuk (dokpri)
Di lantai satu setelah melewati pintu masuk, akan dihadapkan dengan bagian registrasi. Bgian ini sebagai awal masuk untuk membeli tiket. Di depan bagian registrasi ini terdapat komputer berbentuk tab yang dapat memberikan pengalaman sejarah, mulai dari bagian ruangan demi ruangan yang ada, video film sejarah, hingga kepada quiz terkait sejarah.
Tayangan game pada tab di depan bagian registrasi
Setelah melaksanakan registrasi, aku dan teman komik yang lainnya dihadapkan pada ruangan nonton film terkait awal-awal kemerdekaan. Ruangan ini posisinya yaitu dari pintu utama museum belok ke kiri, setelah itu masuk ke ruangan khusus menayangkan film. Di ruangan tentu saja, karena komik merupakan komunitas pencinta film bagi kompasianers dan juga hobi menonton film, menjadi ajang keasyikan penuh haru. Film yang ditayangkan merupakan film-film dokumenter yang disatukan sehingga menjadi kesatuan film yang menarik. Suasana layaknya menonton di gedung bioskop pun tercipta meski hanya bermodalkan proyektor yang di pncarkan cahayanya ke proyektor screen. Namun, suasana dengan audio dalam ruangan yang mendukung membuat kemasyhuran bagi museum tersebut.
Komik kompasiana bersiap untuk menonton
Menonton film dokumenter selama kurang dari 15 menit tersebut yang menjadi saksi sejarah menambah spirit nasionalisme bagi anggota komik. Namun, masih ingin yang lebih panjang lagi yang sekitar 6 jam. Mungkin ada lagi di lain waktu.
Screen dan audio di ruang tayangan film (dokpri)
Setelah menonton, kami peserta jelajah pun mengiringi seorang pemandu museum untuk dituntun ke ruangan demi ruangan sebagai bukti otentik sejarah. Pemandu yang humble itu bernama Ari Suryanto dengan cekatan dan penuh semangat menjelaskan kepada peserta jelajah.
Komik kompasiana dan pemandu museum mas Ary (persis sebelah kananku) berfoto bersama dengan background foto tentang Laksamana Maeda dan secuil kisahnya (foto oleh Babeh Helmi)
Mas Ari pun mengawali penjelasan dengan penjelasan tentang Laksamana Muda Tadashi Maeda dan rumahnya. Laksamana Maeda merupakan Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang. Laksamana Maeda meskipun tentara Jepang, namun sangat pro terhadap kemerdekaan RI. Melalui Laksamana Maeda tersebutlah akhirnya rumahnya yang besar, bisa dipinjamkan untuk kegunaan perumusan naskah proklamasi 17 Agustus 1945. Rumahnya yang berbentuk seperti gedung itulah yang kini diabadikan menjadi museum naskah proklamasi.
Salah satu sudut dimana terjadinya penerimaan utusan Indonesia (Soekarno, Hatta, dan Soebardjo) dengan Laksamana Maeda
Lanjut ke ruang makan, Laksamana Maeda yang menjadi ruang diskusi bagi Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebardjo. Dijelaskan pula bahwa naskah asli teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno.
Replika dari Hatta, Soekarno, dan Soebardjo sedang membuat rumusan naskah proklamasi (dokpri)
Pada ruangan yang menjadi perumusan naskah tersebut, disediakan pula sebuah tab oleh pihak museum, hal ini untuk digunakan dalam mengarungi sejarah terkait perumusan naskah di ruangan tersebut. Pada ruangan khusus tersebut juga dibuat sebuah animasi yang menunjang pada meja lainnya dengan pancaran sinar dari proyektor tertayang di meja. Inilah keunikan tersendiri dari gedung/rumah yang ditetapkan menjadi museum sejak 24 November 1992.
Meja bundar yang menampilkan kisah film dokumenter sejarah (dokpri)
Nah, tentu saja setelah dirumuskan, naskah proklamasi pun akhirnya dirundingkan kembali ke 40-50 an peserta PPKI untuk disahkan. Ada beberapa perubahan naskah sebelum ditik, diantaranya siapa yang akan menandatangani hingga kepada penanggalan. Di antara usulan terkait penandatangan naskah proklamasi yaitu dari Teuku Muhammad Hasa yang tetap mengusulkan agar peserta yang hadir atau perwakilan tiap lembaga. Ada lagi usulan dari Chairul Saleh yang mengusulkan cukup dua orang saja, namun atas nama bangsa Indonesia. Akhirnya disepakatilah usulan Chairul Saleh yang dipakai.
Museum digital nya nih bergaya milenial (dokpri)
Naskah pun dilanjutkan untuk ditik oleh Sayuti Melik didampingi oleh B.M.Diah di ruang bawah tangga. Posisinya jika masuk melalui pintu utama maka lurus terus disitulah ruang pentikkan naskah. Ohya, naskah yang mau ditik terjadi kendala pada mesin tik nya. Karena Laksamana Maeda hanya mempunyai mesin tik dengan huruf tulisan Jepang, maka Laksamana Maeda pun mengintruksikan bawahannya untuk mencarikan mesin tik dengan bahasa latin. Akhirnya ditemukan dan dibawalah ke ruangan tersebut dan segera Sayuti Melik mentikkan naskah proklamasi.
Replika B.M.Diah dan Sayuti Melik dengan mesin tik berbahasa (huruf) latin (dokpri)
Naskah proklamasi yang sudah ditik akhirnya jadi. Dan supaya tidak terjadi kebimbangan, Sayuti Melik pun mengkoyak dan membuang naskah asli tulisan Soekarno. Namun, naskah tersebut diamankan oleh Diah. Dan pada tahun 1992 naskah tersebut pun diserahkan oleh Diah kepada pemerintah Republik Indonesia sebagai bukti otentik sejarah.
Ruangan utama tempat berlangsungnya diskusi dengan 40-50 orang tokoh (dokpri)
Naskah yang jadi pun diproklamirkan dan disepakati kembali pada ruangan utama yang berada di sisi sebelah kanan jika masuk dari pintu utama museum. Ruangan utama tersebut juga menjadi ruangan perundingan pada masa Indonesia setelah merdeka.
Dan hasil pentikkan naskah oleh Sayuti Melik pun ditandatangani oleh Soekarno di atas meja piano Laksamana Maeda yang posisinya berada di depan sebelum masuk ruangan pentikkan naskah.
Di atas piano ini, Soekarno menandatangani naskah ptoklamasi yang sudah ditik. (dokpri)
Sungguh, mengenal tentang sejarah awal-awal kemerdekaan melalui perumusan naskah membangkitkan semangat untuk memperjuangkan NKRI dengan segala potensi yang dipunya. B.M.Diah yang seorang pers mengabadikan naskah asli karena akan bermakna di kemudian hati. Inilai sebuah perjuangan bahwa pergunakan potensi yabg dimiliki sesuai dengan kapasitas untuk kemajuan Indonesia tercinta.
Aplikasi SIJI dengan gaya milenial nih.. (dokpri)
Di lantai dua museum terdapat beberapa foto dan dokumen bersejarah. Foto yang ada bisa bergerak loh. Dengan menggunakan aplikasi SIJI, dengan mengarahkan android ke arah foto, maka gambar akan berubah sesuai dengan kondisi sejarah dalam foto. Sebuah rasa milenial dengan gawai bisa melakukan apa saja. Namun, aplikasi tersebut hanya bisa dipakai di museum saja ya.. Karena di luar tidak bisa dipakai. Dan dokumen lain yang juga menarik pada lantai atas yaitu ruangan Laksamana Maeda dengan kondisi privacy nya seperti kamar mandi, hingga lemari pakaian. Dan ada juga kamar mandi khusus untuk tamu. Rumah/gedung yang besar ini tentu saja karena jabatan Laksamana Maeda yang tinggi dan akan vertemu dengan pejabat-pejabat penting lainnya.
Contoh pemakaian aplikasi SIJI, dimana gambar bisa bergerak (dokpri)
Nah, ada ruangan lain nih, ternyata terdapat peninggalan lain dari para tokoh kemerdekaan, seperti jas, dasi, topi, dan juga tas, bahkan ada juga piagam terletak di lantai atas.
capture-2019-08-19-10-51-33-5d5a26730d82303643741952.jpg
capture-2019-08-19-10-52-24-5d5a26f5097f361afc6b2182.jpg
Di lantai atas pula terdapat uraian singkat tentang Laksamana Maeda loh. Wah, semakin suka deh dengan Indonesia negeriku ini.
Jelajah Film
Selesai dari jelajah museum, akhirnya lanjut untuk nonton bareng. Yaiyalah, donk.. Kan para pencinta film tentu diakhiri dengan menonton film secara maraton nih. Diawali dengan film perburuan yang dibintangi oleh Adipati Dolken, dan dilanjutkan dengan Bumi Manusia yang dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan. Dua film tersebut diproduksi oleh Falcon dengan mengangkat kisah novel dari Pramoedya Ananta Toer.
Bersedia untuk nonton maraton nih (dokpri)
Film ini justru terdapat beberapa pelajaran didalamnya. Jika pada film perburuan tentang pejuang di era awal tahun 1945 an ini bisa diambil pesan bahwa sebuah perjuangan tak kenal kompromi, kesadaran untuk mencapai kemerdekaan dan tak mudah dirasuki paham dari luar. Hal inilah sebuah keunikan agar para penonton bisa memahami bahwa Indonesia tetaplah Indonesia dengan falsafah Pancasila.
Nah, berbeda lagi nih dengan adanya bumi manusia yang merupakan diangkat dari novel dengan latar tahun 1890 hingga 1920. Film ini bisa diambil pesan tentang semangat bagaimana menjadi Indonesia. Yaitu, bagaimana menjadi Indonesia yang modern, yang sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, tanpa harus bertukar kepribadian atau sampai warga negara.
Yang uniknya lagi dari pesan dalam film Bumi Manusia yaitu menjadi Indonesia itu bukan berarti menjadi primordial, menjadi nasionalisme yang merasa paling benar, ataupun paling kaya. Tapi menyadari bahwa Indonesia itu setara dengan bangsa lain. Warga negara dan kepribadian haruslah Indonesia, dan bisa bersaing dengan dunia internasional.
Ohya, sebagai bukti bersejarah juga nih bahwa Minggu, 18 Agustus 2019 tersebut adalah hari terakhir bioskop tersebut ada loh.. Jadi bukti bersejarah juga nih, komik bisa hadir di hari terakhir XXI TIM. Dan bagi saya menjadi pertama dan terakhir menonton bioskop di TIM... Huhuhu..
Jelajah KulinerNah, setelah jelajah museum dan jelajah film dengn nobarnya, tentu saja ada jeda dong dengan sesi makan siang dan snack. Yang tak kusangka ternyata, admin dari komik mengajak makan siang ke gado-gado bon bin.
Gado gado BonBin (dokpri)
Ditelusuri bahwa bonbin itu adalah singkatan dari kebon binatang, ternyata di Cikini pernah ada namanya Kebon Binatang sebelum dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan.
Gado-gado BonBin ini pula selain enak juga punya citarasa tersendiri nih. Dengan didirikan dari  sejak tahun 1960 memang perjuangan bisnis kuliner pasang surut, dan bonbin membuktikan tetap ada dengan semangat berusahanya.
Citarasa yang tetap nikmat nih.. (dokpri)
Selain bonbin adalagi nih berupa roti Tak Ek Tjoan dari isi goodie bag yang disediakan oleh admin komik. Ternyata Tan Ek Tjoan itu sendiri juga memiliki nilai semangat perjuangan untuk NKRI. Tan Ek Tjoan adalah seorang Tionghoa yang memulai bisnis di awal tahun 1920 di Surya Kencana, Bogor. Namanya yang menjadi nama brand itu pula ternyata memiliki keunikan berupa tekstur roti yang keras. Roti inipula ternyata menjadi kesukaan dari Mohammad Hatta, selaku proklamator Indonesia. Usaha roti Tan Ek Tjoan ini juga berada di Cikini dengan seluk beluk tentang perjuangan usaha dan mempertahankan NKRI. Roti ini kunikmati sesaat menunggu Comuter Line di Stasiun Cikini. Ternyata rasanya nikmat meski bertekstur keras.
Roti Tan Ek Tjoan dengan tekstur keras yang nikmat (dokpri)
Dari perjalanan seharian bersama komik dengan kegiatan jelajahnya menjadikan aku harus terus semangat berusaha dan berjuang demi mempertahankan NKRI. NKRI harga mati, MERDEKA!!!!!
Foto sebagian peserta jelajah dengan gaya ala ala.. (dok. Babeh Helmi))
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Lyfe Selengkapnya