Mohon tunggu...
Saepul Bahri
Saepul Bahri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Semua berhak bersuara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme dalam Perspektif Bung Karno

20 Agustus 2024   15:52 Diperbarui: 20 Agustus 2024   15:53 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan rumusannya itu Soekarno jelas tidak hanya menentang nasionalisme chauvinis, tetapi juga menolak jenis nasionalisme yang "menyendiri". Pandangan Soekarno tentang perlunya kaum nasionalis Indonesia membuka diri untuk menjalin front persatuan antar bangsa terjajah ini dapat bermakna ganda. Pertama, nasionalisme Indonesia yang didasarkan atas prinsip humanisme tidak hanya menentang kolonialisme yang terjadi di negerinya sendiri, tetapi juga menentang kolonialisme di mana pun ia berada---sekalipun kaum nasionalis Indonesia lebih memproritaskan perjuangan nasional. Kedua, didasarkan atas kenyataan bahwa kolonialisme beroperasi secara global, maka front semacam itu dapat bermakna sebagai strategi melemahkan kolonialisme secara internasional.

Soekarno tentu sepenuhnya menyadari bahwa nasionalisme chauvinis---karena sangat mudah membakar emosi massa---merupakan "ideologi" sangat berbahaya. Oleh sebab itu, dalam pidato 1 Juni di depan siding BPUPKI Soekrano mengingatkan,

"Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham "Indonesia Uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu! Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, "Deutshland uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania...yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulya serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia."

Dari pidatonya itu tergambar dengan amat jelas bahwa selain sebagai penganut nasionalisme kerakyatan (civic nationalism) Soekarno adalah seorang penganut pandangan internasionalisme. Bagi Soekarno internasionalisme adalah realitas dunia yang tak terbantahkan. Dalam konteks ini, Soekarno menilai bahwa nasionalisme Indonesia tidak dengan sendirinya bermakna bahwa relasi dan menggalang solidaritas antar-bangsa merupakan hal yang tabu.

Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian diperingati sebagi hari lahirnya Pancasila itu Soekarno berkata:

"Kita bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa... Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Justru inilah prinsip-prinsip saya yang kedua. Inilah filosofiseli principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan 'internasionalisme'."

Jelas terpapar di sini bahwa sekalipun Soekarno adalah seorang nasionalis radikal, ia menyadari sepenuhnya bahwa dunia sedemikian rupa telah terpola menjadi global di mana relasi antar bangsa semakin menguat. Konsisten dengan pandangan kritisnya tentang nasionalisme yang "menyendiri" serta kegandrungannya terhadap humanisme sebagai dasar nasionalisme Indonesia---sebagaimana yang sering kutip dari pernyataan Gandhi, Soekarno memandang internasionalisme sebagai sarana mewujudkan solidaritas kemanusiaan universal. Tentu saja internasionalisme yang dibayangkan Soekarno adalah kondisi kemanusiaan universal tanpa kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.

Internasionalisme di mata Soekarno, oleh karenanya, justru tidak mematikan atau membunuh nasionalisme sebagaimana yang dikatakannya dalam Pidato 1 Juni. Internasionalisme, berdasarkan pembacaan Soekarno, adalah masyarakat dunia yang beranggotakan semua nasion. Itu sebabnya Soekarno mengidentikan internasionalisme dengan sebagai taman sari di mana setiap nasion menjadi tanaman dan bunganya. Analogi Soekarno ini tentu benar sepenuhnya, sebab orang tidak mungkin membayangkan sebuah taman sari tanpa dihiasi tanaman dan bunga.

Namun demikian, sekalipun Soekarno penganut paham kemanusiaan universal (internasionalisme), ia menolak menyamakan pandangannya dengan kosmopolitanisme. Di mata Soekarno, paham kosmopolitanisme yang memposisikan dunia tanpa tanpa tapal batas kedaulatan negara dan menempatkan setiap orang menjadi warga dunia tanpa jati diri adalah sejenis absurditas.

Bagaimanapun, nation state adalah fakta dunia, dan oleh karena itu, sulit membayangkan ada warga dunia yang tidak memiliki Tanah Air. Oleh karena itu, Soekarno dengan tegas membedakan antara internasionalisme dengan kosmopolitisme, sebagaimana yang dinyatakannya dalam Pidato 1 Juni 1945 yang amat bersejarah itu. Ia berkata:

"Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau akan adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun