Di atas dasar konstruksi umum tentang hakekat bangsa atau nasion itu, Soekarno memberikan sebuah orientasi nilai tentang apa yang menjadi sifat-sifat utama dari kehendak bersama itu serta apa yang ingin dituju. Orientasi nilai inilah yang kemudian membentuk karakter nasionalisme Indonesia versi Soekarno. Dalam artikelnya yang diberi judul "Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi" di buku yang sama Soekarno menulis:
"Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid, 'Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan', begitulah Gandhi berkata. Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan; SOSIO-NASIONALISME."
Satu hal yang patut digarisbawahi di sini adalah bahwa---sejalan dengan pandangan Mahatma Gandhi tentang humanisme sebagai kandungan utama nasionalisme---Soekarno dengan rumusannya sendiri menyatakan bahwa sikap kebangsaan Indonesia adalah sosio-nasionalisme. Prinsip yang medasarinya adalah humanisme. Dilihat dari cara Soekarno melakukan konstruksi terhadap nasionalisme, maka terlihat dengan  jelas di situ bahwa ia merupakan penganut civic-nationalism.
Dalam arti umum civic-nationalism adalah sejenis pandangan politik yang mengekspresikan semangat kebangsaan dalam konteks nation state yang didasarkan atas partisipasi publik/rakyat serta prinsip-prinsip persamaan hak dan kesataraan sosial. Dengan demikian, konstruksi civic-nationalism yang dianut Soekrano berseberangan secara diametral dengan nasionalisme nativistik yang didasarkan atas supremasi ras/warna kulit tertentu yang biasanya diikuti dengan praktik diskriminasi rasial dan segregasi sosial.
Dalam artikel lainnya yang berjudul "Sekali Lagi Tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi" Soekarno memberi rumusan tentang apa yang ia maksud dengan sosio-nasionalisme. Dengan tegas ia menyatakan bahwa sosio-nasionalisme, "bukanlah nasionalisme ngalamun, bukanlah nasionalisme hati sahaja, bukanlah nasionalisme 'lyriek' sahaja." Rumusan yang lebih konkret konsep sosio-nasionalisme menurut Soekarno adalah:
"Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari pada kesombongan bangsa...ia adalah nasionalisme yang lebar,- nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah 'jingo-nationalism' atau chauvinisme. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup."
Di mata Soekarno, berdasarkan rumusannya tentang sosio-nasionalismenya di atas, jenis-jenis nasionalisme yang dibangun atas dasar sentimen ras tidak saja tidak sesuai dengan karakter nasionalisme Indonesia, tetapi juga merupakan musuh sejati nasionalisme Indonesia. Itu sebabnya Soekarno memberi ruang untuk sosio-nasionalismenya bagi tumbuhnya kecintaan pada bangsa lain---sebagai lawan dari nasionalisme chauvinis yang sangat dibenci Soekarno itu.
Konsisten dengan cara pandangnya itu dalam artikel yang olehnya diberi judul "Mencapai Indonesia Medeka" Soekarno menjelaskan tentang pentingnya menciptakan front antar bangsa terjajah menentang kolonialisme dan imperialisme sebagai tugas historis yang diemban oleh kaum nasionalis Indonesia. Cara pandang Soekarno ini dengan sendirinya mengandung tolakan bahwa nasionalisme dapat "bekerja" sendiri dan terputus atau menutup diri dari pergaulan antar bangsa.
Dalam pandangan Soekarno pemikiran semacam itu tak ubahnya seperti katak dalam tempurung. Seorang nasionalis sejati, di mata Soekarno, tidak seharusnya menutup diri, melainkan  membuka diri membentuk front antar bangsa terjajah melawan stelsel kolonialisme dan imperialisme. Dasar pemikiran Soekarno dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa sistem kolonialisme dan imperialisme bekerja secara global, dan oleh karena itu, memerlukan kerjasama antar-kaum nasionalis di negeri-negeri terjajah untuk melakukan perlawanan.
Dengan demikian, Soekarno menolak menyamakan konsep nasionalismenya dengan "kesendirian" atau "kedirian" dan "keterpencilan". Dalam kata-katanya:
"Inilah 'kesendirian' yang berbedaan bumi-langit dengan kedirian yang sempit-budi. Kesendirian tidak melarang perhubungan dengan lain-lain bangsa, tidak melarang pekerjaan-bersama dengan lain-lain bangsa, kesendirian hanyalah suatu r a s a-kemampuan, suatu rasa-kebisaan, suatu rasa-ketenagaan, suatu rasa-keperibadian, yang menyuruh sebanyak-banyak dan seboleh-boleh berusaha sendiri, tetapi tidak mengharamkan pekerjaan-bersama dengan luar pagar bilamana berfaedah dan perlu. Imperialismelah, dan bondoroyotnya imperialismelah yang harus kita ingkari, tetapi musuh-musuh imperialisme adalah kawan kita! Lemparkanlah kesendirian yang sempit-budi itu dan ambillah kesendirian yang lebar-budi ini, lemparkanlah kedirian itu dan ambillah keperibadian ini!"