Tingkat terakhir adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup (tahsiniyyat), yang mencakup hal-hal yang dapat meningkatkan dan memperindah kehidupan secara umum, dan oleh karena itu, dapat memperkaya nilai-nilai Syariat secara umum.
Karakteristik dan perkembangan hukum Islam berdasarkan prinsip mashlahah sepenuhnya sejalan dengan penegakan hak asasi manusia secara internasional dalam kerangka hukum Islam. Pemeliharaan ini didasarkan pada pemahaman bahwa hukum hak asasi manusia internasional memiliki tujuan kemanusiaan universal untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara dan meningkatkan martabat manusia.
Dalam konteks ini, kita akan memanfaatkan prinsip mashlahah dalam cakupan yang luas Syariat untuk menetapkan kebutuhan hukum dan menghindari kesulitan dalam kehidupan seseorang, sesuai dengan dukungan ayat Al-Qur'an berikut: "Dia tidak akan menimbulkan kesempitan (kesulitan) bagimu dalam agama."
Penerapan prinsip mashlahah dalam konteks Maqashid Al-Syariah memiliki kemampuan untuk menyertakan konsep takhayyur (pilihan eklektik). Konsep ini memfasilitasi fleksibilitas dalam mengubah pendekatan dari satu mazhab utama fiqih Islam ke mazhab utama fiqih Islam lainnya, dan juga mempertimbangkan berbagai pandangan yang beragam dari para ahli fiqih untuk mendukung argumen-argumen alternatif terkait isu-isu yang berkembang dalam era kontemporer.
Konsep kemaslahatan tidak hanya menjadi landasan bagi penerapan hukum Islam, tetapi juga merupakan sarana yang efektif untuk menjembatani kesenjangan antara idealisme dan kenyataan dalam masyarakat Muslim. Dalam menggabungkan aspek idealis dan pragmatis, konsep kemaslahatan membantu menciptakan sistem hukum yang adaptif dan responsif terhadap dinamika yang terus berubah dalam masyarakat. Sebagai hasilnya, konsep ini bukan hanya sebuah prinsip, tetapi juga menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan zaman.
Meskipun pada realitasnya Harmonisasi antara Hukum Islam dan HAM Internasional menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, perbedaan interpretasi dan penerapan norma-norma HAM serta Hukum Islam dapat menciptakan gesekan. Kedua, konteks budaya dan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai moral dapat menghambat harmonisasi. Namun, tantangan ini dapat diatasi melalui pendekatan dialogis dan inklusif.
Pendekatan yang mungkin untuk mencapai harmonisasi adalah dengan merujuk pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam keduanya. Prinsip-prinsip seperti keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak asasi manusia dapat menjadi titik temu. Diskursus terbuka dan dialog antara para cendekiawan Hukum Islam dan cendikiawan HAM Internasional diperlukan untuk mencapai pemahaman bersama.
Harmonisasi antara Hukum Islam dan HAM Internasional adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi dan pengakuan akan kompleksitasnya. Konsep Maslahah menjadi landasan untuk menjembatani kesenjangan dan menciptakan ruang bagi pemahaman bersama. Dengan pendekatan dialogis, pendidikan yang holistik, dan kesadaran masyarakat, adalah mungkin untuk mencapai titik temu yang menghormati nilai-nilai universal dan kesejahteraan umum. Diskursus ini bukan hanya tentang harmonisasi hukum, tetapi juga tentang membangun jembatan antara keberagaman dan persatuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H