Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persyaratan Ambang Batas Threshold Keadilan Publik dan Keadilan Politik

28 Juni 2023   03:57 Diperbarui: 3 Februari 2024   15:43 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi atau negara dengan prinsip berkedaulatan rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang dasar." Konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi di Indonesia diwujudkan melalui sistem perwakilan atau demokrasi tidak langsung, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Wakil-wakil rakyat tersebut bertanggung jawab dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dalam menentukan kebijakan.

Pada tahun 2024 Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum serentak, pemilihan umum serentak ini merupakan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggabungkan pemilihan umum untuk anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan pemilihan umum untuk eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan saat tahapan pemungutan suara dilakukan. Penyelenggaraan pemilihan umum serentak dilatarbelakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan ini menyatakan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD harus diselenggarakan secara serentak.

Putusan tersebut merupakan hasil dari permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Effendi Gazali, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum serentak.

Menurut Effendi Gazali, putusan tersebut didasarkan pada original intent dari Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa pemilihan umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan secara serentak setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden dalam satu waktu yang sama. Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 oleh Effendi Gazali dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, apakah bersamaan dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, setidaknya harus memperhatikan tiga pertimbangan utama sebagai berikut:

Hubungan sistem pemilihan umum dengan pilihan sistem pemerintahan presidensiil

Menurut Mahkamah Konstitusi, penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus terkait dengan struktur sistem pemerintahan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu kesepakatan pokok yang dicapai dalam pembahasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan setelah pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2004 dan 2009, terdapat fakta politik bahwa calon Presiden terpaksa melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan partai politik untuk memperoleh dukungan dalam upaya mencapai kemenangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta mendapatkan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan pemerintahan setelah terpilih.

Negosiasi dan tawar-menawar politik memiliki dampak yang signifikan terhadap kelancaran pemerintahan di masa depan. Namun, dalam kenyataannya, negosiasi dan tawar-menawar tersebut lebih bersifat taktis dan situasional daripada bersifat strategis dan berjangka panjang, terutama jika terdapat kesamaan dalam perjuangan jangka panjang partai politik. Akibatnya, Presiden dan Wakil Presiden sangat tergantung pada partai politik, yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat membatasi peran Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. 

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus mencegah terjadinya negosiasi dan tawar-menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan jangka pendek, melainkan menciptakan negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini akan lebih memungkinkan untuk penggabungan alami dan strategis antara partai politik, yang pada akhirnya akan lebih menjamin kestabilan partai politik. Dalam konteks ini, Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diinterpretasikan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, praktik yang telah berlangsung dalam sistem ketatanegaraan sampai saat ini, di mana pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD ternyata tidak berhasil menjadi instrumen transformasi sosial sesuai yang diharapkan. Hasil dari pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan setelah pemilihan umum anggota parlemen tidak mampu memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang ingin dibangun sesuai konstitusi. Mekanisme pengawasan dan keseimbangan antara DPR dan Presiden, terutama, tidak berjalan dengan baik. 

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sering kali membentuk koalisi taktis yang bersifat sementara dengan partai politik, sehingga tidak terwujud koalisi jangka panjang yang dapat menyederhanakan sistem partai politik secara alami.

Dalam pelaksanaannya, pola koalisi yang terbentuk antara partai politik dan/atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden justru tidak menguatkan sistem pemerintahan presidensial. Penyampaian pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh koalisi partai politik tidak menghasilkan koalisi permanen antara partai politik atau gabungan partai politik yang akan menyederhanakan sistem partai politik.

Berdasarkan pengalaman praktik dalam urusan pemerintahan, pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD tidak memberikan penguatan yang sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang diatur oleh UUD 1945. Oleh karena itu, norma yang mengatur pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD jelas tidak sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UUD 1945, serta tidak sejalan dengan arti pemilihan umum yang dimaksudkan dalam UUD 1945.

Terutama dalam Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, Pasal 22E ayat (2) yang menyatakan bahwa pemilihan umum dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Original intent dan penafsiran sistematik.

Apabila diteliti lebih lanjut, dapat disimpulkan bahwa para perumus perubahan UUD 1945 sebenarnya bermaksud agar pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara bersamaan dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD. Pernyataan tersebut secara tegas diungkapkan oleh Slamet Effendy Yusuf, salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang bertanggung jawab untuk menyusun rancangan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perdebatan mengenai masalah ini, para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat mencapai kesepakatan bahwa "pemilihan umum dimaksudkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden anggota DPR, DPD, DPRD. Dengan demikian, semuanya berada dalam satu rezim pemilihan umum."

Lebih jelasnya dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan pemilihan umum nanti, akan ada 5 (lima) kotak sebagai representasi berbagai posisi yang dipilih. Kotak 1 akan digunakan untuk memilih DPR, kotak 2 untuk memilih anggota DPD, kotak 3 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kotak 4 DPRD tingkat provinsi, dan kotak 5 untuk memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota.

Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif niat asli para pembuat perubahan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat visi yang jelas mengenai mekanisme pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden akan diadakan secara bersamaan dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD ini sesuai dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilakukan dalam satu waktu yang sama.

Dalam konteks tersebut, UUD 1945 memang tidak memisahkan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD. Oleh karena itu, frasa "sebelum pelaksanaan pemilihan umum" dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum," mengacu pada pemilihan umum sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

Maksud dari penyusun perubahan UUD 1945, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, adalah agar pelaksanaan pemilihan umum dilakukan secara bersamaan antara pemilihan umum untuk memilih anggot DPR, DPD, DPRD, serta pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dengan menggunakan interpretasi sistematis terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) tersebut, yang menyatakan bahwa "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum," yang dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

yang menyatakan bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden" tidak mungkin frasa "sebelum pemilihan umum" dalam Pasal 6A ayat (2) tersebut mengacu pada sebelum pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, karena jika hal itu terjadi, frasa "sebelum pemilihan umum" tersebut menjadi tidak diperlukan karena calon Presiden dan Wakil Presiden secara otomatis harus diajukan sebelum pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan.

Berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi, baik melalui metode original intent, penafsiran sistematis, maupun penafsiran gramatikal secara komprehensif, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa dalam memaknai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai struktur ketatanegaraan dan sistem pemerintahan, diperlukan metode penafsiran yang komprehensif guna memahami norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara menyeluruh, sehingga dapat dihindari penafsiran yang terlalu luas. 

Hal ini penting karena melibatkan desain sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang diinginkan dalam keseluruhan norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi yang tertulis.

Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Melakukan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD secara bersamaan memang akan lebih efisien. Ini akan menghasilkan penghematan biaya penyelenggaraan yang berasal dari pendapatan pajak dan sumber daya alam serta ekonomi negara. Pendekatan ini akan meningkatkan kapabilitas negara dalam mencapai tujuan-tujuan negara seperti yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk meningkatkan kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat. Selain itu, melaksanakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara serentak dengan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD juga dapat mengurangi pemborosan waktu dan konflik sosial di masyarakat. Hak warga negara untuk memilih secara bijaksana dalam pemilihan umum serentak ini berhubungan dengan hak warga negara untuk membangun sistem checks and balances dalam pemerintahan presidensial berdasarkan keyakinan mereka sendiri. 

Oleh karena itu, warga negara dapat mempertimbangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berasal dari partai politik yang sama dengan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hanya dengan pemilihan umum serentak, warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara bijaksana dan efisien. Dengan demikian, melaksanakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD yang tidak serentak tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengedepankan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih dengan bijaksana.

Meskipun keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut diambil pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan dalam putusannya bahwa pemilihan umum serentak akan dimulai pada tahun 2019 dan bukan pada pemilihan umum tahun 2014. Alasan di balik keputusan Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan pemilihan umum serentak pada tahun 2019 adalah karena pada saat putusan itu diumumkan, tahapan pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014 telah mencapai waktu yang mendekati pelaksanaannya. 

Semua ketentuan peraturan undang-undang mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD telah dibuat dan diterapkan secara menyeluruh. Selain itu, persiapan teknis oleh penyelenggara pemilihan umum, termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia, sudah mencapai tahap akhir. 

Oleh karena itu, jika Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan ketentuan-ketentuan terkait tata cara dan persyaratan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini harus segera diberlakukan setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang telah berlangsung menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Keadaan seperti itu dapat menyebabkan kekacauan dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014, yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu, dengan keputusan tentang Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan peraturan lain yang terkait dengan tata cara dan persyaratan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, diperlukan regulasi baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR,DPD,DPRD secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945, ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum harus diatur melalui undang-undang.

Jika aturan baru tersebut dipaksakan untuk disusun dan diselesaikan agar pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD dapat diselenggarakan secara serentak pada tahun 2014, maka dengan pertimbangan yang masuk akal, waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau setidaknya tidak cukup memadai untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.

Selanjutnya, penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD harus didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi yang ada dan tidak lagi memungkinkan diselenggarakannya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum DPR, DPD, DPRD secara terpisah. Selain itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa memang diperlukan waktu untuk membangun budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi masyarakat serta partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting dalam sistem tatanegara.

Walaupun pada mulanya penundaan pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan kontroversi, namun akhirnya diterima oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya konsep limited constitutional dalam yurisdiksi Mahkamah Konstitusi, yang berarti memberikan toleransi untuk sementara waktu terhadap berlakunya sebuah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Konsep limited constitutional didasarkan pada pertimbangan kepentingan. Terdapat tiga alasan mengapa konsep limited constitutional diterapkan. Pertama, untuk menghindari kekosongan hukum. Kedua, untuk mencegah terjadinya kekacauan jika keputusan Mahkamah Konstitusi segera dilaksanakan tanpa kesiapan perangkat hukum dan pelaksanaannya. Dan ketiga, untuk memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk merespons keputusan Mahkamah Konstitusi dengan mengubah pasal-pasal yang menjadi objek uji konstitusional dan dinyatakan tidak berlaku mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 mengenai pemilihan umum serentak tidak secara tegas menyebutkan tentang ketiadaan presidential threshold. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memiliki karakteristik kebijakan hukum terbuka, yang berarti pembuat undang-undang diberikan kebebasan untuk mengatur ketentuan dalam undang-undang sebagai langkah tindak lanjut terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Kebijakan hukum terbuka memberikan ruang yang bebas bagi pembuat undang-undang karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak memberikan petunjuk mengenai kebijakan hukum yang harus diambil.

Persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak mengharuskan atau melarang adanya ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold). Meskipun pembuat undang-undang diberikan kebebasan terbuka (open legal policy) untuk mengatur isu mengenai presidential threshold dalam undang-undang, namun penentuan presidential threshold tidak boleh sembarangan diubah tanpa alasan atau argumen yang jelas. Harap dihindari agar kebijakan hukum terbuka tidak mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang melanggar atau diluar kendali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pembuat undang-undang harus tetap mempertimbangkan aspek keadilan yang merupakan inti dari sebuah undang-undang. Keadilan di sini merujuk pada memberikan manfaat secara maksimal kepada semua pihak, terutama keadilan yang berhubungan dengan prinsip demokrasi.

Dalam rangka kebijakan hukum terbuka, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden telah setuju untuk menetapkan presidential threshold sebesar 20% suara di parlemen atau 25% suara sah secara nasional, yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 221 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa "calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik," sedangkan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa "pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilihan umum anggota DPR sebelumnya."

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa pihak mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, permohonan tersebut tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, persyaratan presidential threshold tetap berlaku bagi partai politik yang ingin mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Setiap warga negara yang memiliki hak pilih memiliki hak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Oleh karena itu, setiap warga negara akan memilih calon yang diusulkan oleh partai politik, karena dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tidak memungkinkan adanya calon Presiden dan Wakil Presiden dari perseorangan atau independen. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengharuskan partai politik memiliki persentase suara tertentu di parlemen atau persentase perolehan suara sah secara nasional. 

Persyaratan presidential threshold dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tahun-tahun sebelumnya (2004, 2009, 2014) adalah kebijakan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Persyaratan ini dapat diterima karena pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota DPR,DPD,DPRD.

Pemilihan umum tahun 2019, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, diadakan secara serentak. Dengan adanya penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak, persyaratan presidential threshold menjadi tidak relevan. Persyaratan presidential threshold yang berdasarkan hasil perhitungan suara pemilihan umum anggota DPR tidak dapat diterapkan karena waktu pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih lagi, dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, persyaratan presidential threshold didasarkan pada hasil pemilihan umum anggota DPR tahun 2014. Hal ini akan menghambat partai politik baru yang dibentuk untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, karena partai politik tersebut tidak menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2014.

Setiap partai politik yang berhasil melewati verifikasi Komisi Pemilihan Umum dan memenuhi syarat menjadi peserta pemilihan umum seharusnya memiliki hak untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih lagi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur mengenai persyaratan presidential threshold dalam pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Penentuan presidential threshold didasarkan pada persentase hasil perhitungan suara sesuai dengan Pasal 6A ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Artinya, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari lima puluh persen dari total suara dalam pemilihan umum, dengan setidaknya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Keputusan tentang presidential threshold, sebagaimana yang dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, dapat memicu terjadinya negosiasi politik dan tawar-menawar yang bersifat taktis demi kepentingan jangka pendek, dari pada memiliki strategi yang bertahan lama. 

Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 223 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, di mana partai politik dapat melakukan kesepakatan dengan partai politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, Pasal 224 ayat (1) menyatakan bahwa kesepakatan tersebut melibatkan kesepakatan antara partai politik, serta kesepakatan antara partai politik atau gabungan partai politik dengan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Mereka yang mendukung ketentuan presidential threshold dengan persyaratan 20% suara di DPR atau 25% perolehan suara sah secara nasional berargumen bahwa Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus memperoleh dukungan dari parlemen. Argumen ini dapat diterima jika anggota DPR dipilih pada tahun yang sama dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, karena suara di Dewan Perwakilan Rakyat dapat segera dihitung. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat serta Presiden dan Wakil Presiden mulai menjabat pada tahun yang sama dan berakhir pada tahun yang sama juga.

Namun, argumen tersebut menjadi tidak relevan karena tidak dapat dipastikan bahwa partai politik yang memperoleh suara signifikan pada pemilihan umum tahun sebelumnya atau dalam periode sebelumnya akan memperoleh jumlah suara yang sama pada pemilihan umum yang sedang diselenggarakan. Misalnya, pada pemilihan umum tahun 2019, tidak dapat dijamin bahwa partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilihan umum tahun 2014 akan mendapatkan kursi lagi atau mempertahankan jumlah kursi yang sama. 

Contohnya adalah partai Hanura, yang berhasil memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilihan umum tahun 2014, tetapi pada pemilihan umum tahun 2019, partai tersebut gagal mendudukkan kader-kadernya di kursi Dewan. Padahal, perolehan suara partai politik pada pemilihan umum 2019 akan mempengaruhi dukungan terhadap kebijakan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Selain itu, dalam praktik politik, partai politik baru juga memiliki peluang untuk memperoleh banyak suara dan menjadi partai politik terbesar hasil dari pemilihan umum. Contohnya terjadi pada pemilihan umum di Israel tahun 2006, di mana Partai Kadima yang baru didirikan pada tahun 2005 langsung menjadi partai besar. Partai Kadima berhasil memperoleh 28 kursi dari total 120 kursi yang diperebutkan.

Ketentuan mengenai presidential threshold seharusnya mempertimbangkan prinsip keadilan bagi masyarakat sebagai pemilih dan juga bagi partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Prinsip ini merupakan landasan dalam membangun sistem demokrasi di mana setiap peserta pemilihan umum memiliki hak yang sama. 

Meskipun hak yang sama ini dapat menghasilkan perbedaan yang besar atau kecil dalam dukungan atau perolehan suara, hal tersebut merupakan pilihan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam sistem demokrasi, kesempatan yang diberikan kepada semua peserta adalah sama (equal opportunity), namun tidak menjamin hasil yang sama (equal result).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dikritik karena dianggap melanggar prinsip dasar kesempatan yang sama bagi partai politik baru. Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kesempatan yang sama bagi setiap partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ini berarti bahwa setiap partai politik yang mendaftar dan berhasil lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum berhak untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik harus memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan untuk memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, mereka juga diharapkan dapat membawa kesejahteraan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan pendapat masyarakat. Saldi Isra berpendapat bahwa aspek utama yang perlu ditekankan adalah mendorong partai politik agar melibatkan proses yang lebih demokratis. 

Demokratisasi internal partai politik menjadi hal yang sangat penting sebagai jalur utama untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik harus melalui proses yang terbuka dan melibatkan partisipasi banyak pihak. Dengan cara ini, posisi sentral dalam partai politik, seperti ketua umum atau ketua dewan pembina, tidak secara otomatis menjadi jalan bagi seseorang untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan penjelasan di atas, dengan adanya penyelenggaraan pemilihan umum serentak, maka persyaratan presidential threshold menjadi tidak diperlukan atau dapat dihapus. Tidak perlu khawatir akan munculnya terlalu banyak calon Presiden dan Wakil Presiden. Partai politik akan mempertimbangkan peluang dan perkiraan dukungan masyarakat sebelum mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jadi, tidak semua partai politik akan mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. 

Jika terjadi jumlah calon Presiden dan Wakil Presiden yang terlalu banyak, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengantisipasinya dengan persyaratan perolehan suara bagi calon Presiden dan Wakil Presiden untuk terpilih dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, yaitu memperoleh suara lebih dari lima puluh persen dari total suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

 Jika perolehan suara ini tidak tercapai karena adanya terlalu banyak calon Presiden dan Wakil Presiden, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengantisipasinya dengan penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dalam dua tahap. Selain itu, dengan adanya banyak calon Presiden dan Wakil Presiden, akan memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memiliki hak pilih untuk memilih calon yang mereka anggap terbaik.

Menghilangkan persyaratan presidential threshold juga akan memberikan kesempatan yang setara bagi setiap partai politik yang melewati verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum dan menjadi peserta pemilihan umum, untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Ini akan menciptakan keadilan bagi partai politik dan juga memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun