Agresi Russia ke Ukraina pada tanggal 24 Februari 2022 telah menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap kedua belah pihak. Mulai dari kerugian secara militer, ekonomi maupun sosial. Terlepas dari konflik yang hari ini masih berkecamuk tentunya ada sisi lain yang perlu kita lihat dimana saat perang Russia-Ukraina semakin intensif, Tiongkok bertaruh bahwa dialah pemenang dari perang yang sesungguhnya. Dengan gaya politik luar negerinya yang hati-hati mengkalibrasi posisi netral kemudian bergerak sepenuhnya dibelakang Russia.
Di masa awal agresi Xi Jinping menunjukan keselarasannya dengan putin menyalahkan Amerika Serikat dan NATO sebagai penyebab dibalik serangan Russia terhadap Ukraina menirukan deskripsi Russia dan menyebutnya sebagai operasi militer khusus dan merasionalisasikan sebagai bagian dari pada pengamanan territorial Russia. Namun, Tiongkok memodifikasi posisinya dengan abstain dalam voting resolusi perang Russia-Ukraina di sidang majelis umum PBB.
Pada hakikatnya Tiongkok tidak tertarik masuk dalam pusaran konflik jangka panjang dan berintensitas tinggi. Karena hal ini dapat menimbulkan resiko politik, reputasi, dan ekonomi. Tetapi pada saat yang sama Tiongkok tidak ingin melihat kekalahan Russia yang dapat mengarah pada pemasangan rezim demokrasi pro barat di moskow atau mungkin disintegrasi negara sebagai akibat dari krisis politik di dalam negeri. Dalam hal ini Tiongkok kemungkinan akan melanjutkan diplomasi jarak jauh dengan menghindari dukungan militer secara langsung ke Russia, karena mau bagaimanapun Tiongkok akan berhati-hati terhadap sanksi ekonomi dari Amerika serikat dan barat.
Kemudian, terkait pelemahan Russia akibat perang dan sanksi ekonomi barat adalah suatu hal yang siap diterima Tiongkok, karena hal ini akan membuat Rusia lebih bergantung pada Tiongkok memungkinkan tiongkok mengikat Russia sebagai "Aset Sumber Daya" dan memperluas kehadiran Tiongkok di Industri dan pasar ekonomi utama Russia. Menurut salah satu ahli sanksi asal Prancis Agathe Damarais mengatakan bahwa "Rusia tidak dalam posisi bisa berunding dengan Tiongkok, yang akan mengambil apa pun yang diinginkannya dari Rusia tanpa memberi apa yang diinginkan Rusia."
Selain dari pada itu banyak sekali keuntungan yang didapat tiongkok dari perang Russia-Ukraina salah satunya terkait upaya pelemahan USD dan Pengutan Yuan/Reminbi. Hegemoni dolar AS telah sering menjadi sasaran kritik oleh pemerintah Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, dengan perang perdagangan Amerika-Tiongkok yang membuat hubungan bilateral jatuh ke titik terendah dalam beberapa dekade, dan upaya pemisahan teknologi yang sedang berlangsung dari pemerintahan Biden telah menimbulkan kekhawatiran. bentrokan habis-habisan. Dalam hal ini Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kurs mata uangnya sendiri di luar negeri serta memberdayakan sistem pembayaran yang disebut kontinjensi, karena perang Russia-Ukraina telah merubah landskap geopolitik dan juga pemikiran strategi Tiongkok yang berkaitan dengan rezim keungan internasional.
Dampak terhadap Rusia dari agresinya di Ukraina telah mencakup biaya pemisahan keuangan yang dapat diukur, dan bagi Tiongkok ini berfungsi sebagai pengingat bahwa Beijing harus mengelola hubungan bilateral dan bersiap menghadapi yang terburuk. Sanksi Barat terhadap Rusia termasuk pembekuan cadangan bank sentral, menendang bank-bank besar dari layanan pesan keuangan Swift, dan memberlakukan batasan harga pada ekspor minyak mentah telah memberikan pukulan ekonomi yang berat.
Beijing sangat bergantung pada energi Russia, beberapa di antaranya telah terkena sanksi Barat. Beijing membeli 86,2 juta metrik ton minyak mentah tahun lalu, atau 17 persen dari total impor minyak mentahnya, membantu mengangkat nilai perdagangan bilateral ke rekor tertinggi US$190,2 miliar pada tahun 2022. Yuan mendapat banyak manfaat dari upaya de-dolarisasi Russia, dengan peningkatan yang signifikan dalam penggunaannya dalam keuangan perdagangan global dan perdagangan valuta asing.
Kementerian keuangan Russia mengumumkan tahun lalu bahwa mereka menggandakan batas aset berdenominasi yuan dalam Dana Kekayaan Nasional US$148 miliar, menjadi 60 persen. Dan pada bulan September 2022 raksasa energi dari kedua negara sepakat untuk menyelesaikan setengah dari transaksi mereka dalam yuan dan sisanya dalam rubel. Pangsa yuan di pasar keuangan perdagangan global melonjak menjadi 3,91 persen pada Desember dari 2,05 persen dua tahun sebelumnya.
Bobotnya dalam keranjang mata uang hak penarikan khusus IMF juga dinaikkan sebesar 1,36 poin persentase menjadi 12,28 persen, sementara cadangan yuan yang dipegang oleh bank sentral di seluruh dunia naik menjadi 2,76 persen pada akhir September 2022, naik dari 2,66 persen per tahun. menurut data dari lembaga keuangan internasional.
Bahkan Tingkok dan negera-negara yang tergabung di Aliansi BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Afrika) merencanakan untuk membuat mata uang bersama sebagai bagian dari pada dedolarisasi dan melepas ketergantungan terhadap dollar Amerika Serikat. Bilamana hal ini terjadi maka akan menjadi pukulan telak bagi Amerika Serikat.