Mohon tunggu...
Saepudin
Saepudin Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar di Sentosa Mulia Islamic Caharacter Boarding School

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendekatan Pendidikan yang Terlalu Teoritis, Mengapa Siswa Lebih Membutuhkan Lebih dari Sekedar Kata-Kata

28 September 2024   15:30 Diperbarui: 28 September 2024   15:30 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Latar Belakang

Pendidikan karakter telah lama menjadi perhatian dalam sistem pendidikan Indonesia. Di tengah berkembangnya tantangan global seperti kemajuan teknologi, derasnya informasi digital, dan perubahan sosial yang cepat, pendidikan karakter diharapkan mampu membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Namun, meskipun pendidikan karakter telah dimasukkan ke dalam kurikulum, pelaksanaannya di lapangan masih banyak menghadapi kendala, salah satunya adalah pendekatan yang terlalu teoritis.

Di banyak sekolah, pendidikan karakter sering kali hanya diajarkan melalui ceramah, hafalan nilai-nilai moral, atau pengisian modul yang sifatnya kognitif. Siswa diminta untuk mengingat dan mengulang nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, atau kerja sama, tanpa mendapatkan kesempatan untuk benar-benar mengalami atau mempraktikkannya. Akibatnya, nilai-nilai tersebut sering kali hanya berakhir sebagai konsep yang abstrak dan tidak diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Permasalahan: Pendidikan Karakter yang Hanya Berakhir di Atas Kertas

Sebuah penelitian oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020) menunjukkan bahwa meskipun 85% sekolah di Indonesia telah mengimplementasikan pendidikan karakter dalam kurikulum, hanya 37% dari sekolah-sekolah tersebut yang benar-benar memiliki program aplikatif di luar kelas untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang diajarkan di sebagian besar sekolah masih bersifat teoretis, kurang terhubung dengan aktivitas nyata siswa.

Siswa sering kali diajari tentang kejujuran, misalnya, namun tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas yang mendorong mereka untuk mempraktikkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, seperti simulasi kasus, proyek kerja kelompok, atau pengambilan keputusan etis. Ini berujung pada ketidakmampuan siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut ketika menghadapi dilema moral di dunia nyata.

Mengapa Pendekatan Teoritis Kurang Efektif?

Sebuah studi dari Journal of Moral Education (2018) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter yang hanya mengandalkan metode kognitif, seperti ceramah atau hafalan, tidak cukup efektif dalam mengubah perilaku siswa. Studi tersebut menunjukkan bahwa siswa lebih mudah menginternalisasi nilai-nilai moral ketika mereka terlibat dalam kegiatan praktis yang menantang mereka untuk membuat keputusan etis atau terlibat dalam proyek komunitas yang membutuhkan kerja sama tim, kepemimpinan, dan tanggung jawab.

Dalam konteks pendidikan karakter, penting untuk mengingat firman Allah dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11). Ayat ini menggarisbawahi bahwa perubahan sejati, termasuk dalam hal karakter, harus dimulai dari kesadaran dan tindakan yang dilakukan secara aktif oleh individu. Hal ini tidak bisa hanya dicapai melalui pengetahuan teoretis, tetapi membutuhkan pengalaman langsung.

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan pentingnya pendidikan yang berbasis praktik, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad). Nabi Muhammad SAW tidak hanya menyampaikan ajaran moral melalui kata-kata, tetapi juga memberikan teladan konkret melalui perbuatannya, yang ditiru oleh para sahabat dan umatnya.

Dampak Pendidikan Karakter yang Terlalu Teoretis

Pendidikan karakter yang terlalu teoritis bisa menyebabkan nilai-nilai moral hanya menjadi retorika kosong. Di satu sisi, siswa mungkin bisa menjawab dengan tepat pertanyaan tentang nilai-nilai seperti kejujuran dan disiplin, tetapi di sisi lain, mereka gagal menunjukkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa terlihat dari fenomena seperti meningkatnya kasus bullying di sekolah, ketidakjujuran dalam mengerjakan tugas, hingga rendahnya rasa tanggung jawab sosial siswa terhadap lingkungan.

Jika pendidikan karakter tidak mampu menghasilkan perubahan perilaku yang nyata, maka tujuan utamanya untuk menciptakan generasi yang berakhlak mulia dan berintegritas menjadi sulit tercapai. Padahal, di era modern ini, tantangan karakter semakin kompleks, terutama dengan pengaruh media sosial dan budaya digital yang cenderung menormalkan perilaku permisif dan materialistik.

Solusi: Pendidikan Karakter yang Berbasis Praktik

Untuk mengatasi masalah ini, pendidikan karakter harus lebih aplikatif dan kontekstual. Siswa perlu diajak untuk terlibat langsung dalam kegiatan yang memungkinkan mereka mempraktikkan nilai-nilai karakter. Beberapa strategi yang bisa diimplementasikan antara lain:

  1. Proyek Sosial dan Kegiatan Ekstrakurikuler
    Kegiatan sosial seperti gotong royong, proyek amal, atau kegiatan bakti sosial bisa menjadi sarana yang efektif untuk mengajarkan nilai-nilai seperti empati, kerja sama, dan tanggung jawab sosial. Ini memungkinkan siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang mereka pelajari dalam lingkungan yang nyata.

  2. Simulasi dan Role-Playing
    Dalam simulasi atau permainan peran (role-playing), siswa dapat diajak untuk menghadapi dilema moral atau situasi yang menuntut pengambilan keputusan etis. Hal ini akan membantu mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk menerapkan nilai-nilai moral dalam situasi kompleks.

  3. Penguatan Teladan dari Guru dan Lingkungan Sekolah
    Guru dan tenaga pendidik harus menjadi role model yang kuat dalam hal perilaku dan moralitas. Sikap guru yang konsisten dan baik akan menjadi contoh nyata yang diikuti oleh siswa.

  4. Kolaborasi dengan Keluarga dan Masyarakat
    Pendidikan karakter tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua dan masyarakat juga perlu dilibatkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan karakter siswa. Hal ini bisa dilakukan melalui program-program kolaboratif yang melibatkan komunitas dan keluarga.

Kesimpulan

Pendidikan karakter yang terlalu teoritis tidak cukup untuk menghasilkan siswa dengan akhlak yang baik. Untuk memastikan bahwa nilai-nilai moral tidak hanya dipahami secara konseptual tetapi juga diinternalisasi dan dipraktikkan, pendidikan karakter harus diimplementasikan melalui pendekatan aplikatif dan kontekstual. Seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur'an dan hadits, perubahan karakter sejati membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.

Untuk dunia pendidikan Indonesia, pendekatan yang lebih praktis, berbasis kegiatan, dan didukung oleh teladan yang konsisten dari para pendidik adalah kunci untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan mulia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun