Tidak berlebihan kalau Bahasa Indonesia dikatakan telah “teraniaya” di negaranya sendiri. Masyarakat kembali dikejutkan dengan kebijakan kontroversial pemerintah terkait aturan ketenagakerjaan bagi tenaga kerja asing (TKA). Melalui Permenaker No 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, pemerintah menghapus syarat berbahasa Indonesia bagi TKA yang ingin bekerja di Indonesia. Penghapusan keharusan berbahasa Indonesia bagi TKA ini tentu patut dikritisi, mengingat kebijakan ini sangat kontraproduktif bagi identitas bangsa dan nasib tenaga kerja lokal (http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/ 15/9/2015). Ironis, Bahasa Indonesia telah diasingkan oleh bangsanya sendiri. Bahasa Indonesia yang seharusnya dijunjung tinggi, namun dicampakan begitu saja. Coba lihat, hanya sekedar menuliskan kata “masuk” dan “keluar” saja, hotel, restauran maupun pusat bisnis yang dimiliki swasta menggunakan kata asing “in” dan “out”. Padahal ini Indonesia lho....? yang bacanya juga orang Indonesia. Hmmm....
Beda, di China dan Jepang, hampir susah menemukan bahasa asing yang terpajang di berbagai sudut hotel atau restauran. Lantas, apakah warga China dan Jepang tidak pandai dalam bahasa Asing. Jawabnya, tentu mereka bisa, namun bahasa asing yang mereka kuasai hanya digunakan ketika berinteraksi dengan pihak tertentu, itupun dalam bisnis atau dalam kajian keilmuan. Dalam interaksi sosial sehari-hari mereka tetap menggunakan bahasa sendiri.
Bagi masyarakat Indonesia, tentu sepakat kalau Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Jelas dong! Bahasa negara sendiri. Bahasa Indonesia lahir dari rentetan sejarah perjuangan panjang bangsa Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia berpandangan bahwa, kemerdekaan yang sekarang diraih adalah hasil dari sebuah komitmen bersama atas kesamaan pandangan dalam memperjuangkan negara Indonesia melalui kesamaan bahasa yaitu bahasa Indonesia. Buktinya, adanya poin kesamaan bahasa dalam sumpah pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928, merupakan hasil dari komitmen para pemuda dalam meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia harus menjadi kebanggaan seluruh bangsa Indonesia. Jangan sebaliknya, eksistensi bahasa Indonesia dilemahkan demi kepentingan kapitalisme ekonomi dan malah mengorbankan harkat dan martabat bangsa dan negara. Banyak cara dalam menunjukkan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Cara yang paling sederhana adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam berbagai interaksi, forum resmi atau tidak resmi, baik skala regional maupun nasional bahkan Internasional. Dan kepada pemda, pemkot dan pemprov, buatlah perda tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar disetiap sudut kota atau kabupaten bagi para pelaku usaha baik hotel, restauran, dan tempat-tempat bisnis milik swasta. Kita bangga, ketika Presiden Indonesia, Jokowi, di berbagai forum dunia selalu berpidato menggunakan Bahasa Indonesia. Itulah salahsatu bentuk kebanggaan masyarakat terhadap bahasanya sendiri.
Bahasa memiliki peran yang signifikan dalam geliat kebangkitan ekonomi dunia. Disadari atau tidak, dunia saat ini telah menjadi sempit. Persaingan antar bangsa dalam ekonomi melahirkan kolonialisme gaya baru. Hadirnya MEA atau dikenal dengan masyarakat Ekonomi Asean pada akhir tahun 2015, sejatinya menjadi tantangan bagi bahasa Indonesia. Tantangan ini bisa menjadi peluang atau hambatan. Dalam MEA, secara politik kebahasaan, MEA ini bisa menjadi media yang strategis dalam menginternasionalisasi bahasa Indonesia khususnya di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan, hambatannya adalah masyarakat dunia, khususnya Indonesia, akan lebih tertarik mempelajari bahasa Inggris karena selama ini bahasa Inggris telah menjadi bahasa bisnis atau ekonomi yang digunakan diberbagai negara. MEA memfokuskan diri pada masalah ekonomi. Pada era ini, barang, jasa, modal, dan investasi bergerak bebas di kawasan Asean. Akan tetapi, MEA tidak hanya akan berdampak pada masalah ekonomi. Semua bidang akan merasakan imbasnya, termasuk bahasa. (http://www.riaupos.co./4/10/2015).
Oleh karena itu, posisi bahasa Indonesia dalam perspektif pertarungan ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang dibingkai dalam MEA, bisa menjadi peluang kebangkitan Bahasa Indonesia bersanding dengan bahasa Inggris yang digunakan oleh masyarakat dunia. Kenapa bisa begitu? Ini beralasan, karena Indonesia memiliki penduduk cukup besar sekitar 200 juta lebih termasuk lima besar penduduk dunia. Kuantitas penduduk ini menjadi pasar yang potensial dan “menggiurkan” bagi para pelaku ekonomi. Interaksi pelaku usaha dan tenaga kerja antar negara, bahkan Indonesia, dalam bertransaksi bisa menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya, apakah bahasa Indonesia bisa berperan dalam MEA tersebut? Atau malah bahasa Indonesia terkungkung dalam lingkaran kapitalisme dunia? Mari kita lihat bagaimana, apa kebijakan pemerintah dalam menjaga kedaulatan bahasa Indonesia sebagai identitas negara. ##
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H