Pasca debat capres ketiga yang diselenggarakan oleh KPU, 7 Januari 2024 kemarin, dukungan dan juga hantaman kepada Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menjadi semakin kuat.
Anies semakin banyak melakukan gerakan Desak Anies di pelbagai daerah, salah satunya yang mengharukan yaitu di Kota Sorong, Papua Barat Daya.
Desak Anies di tanah Papua berhasil menggaet massa yang tumpah ruah berada di luar dugaan, rupanya Anies dapat diterima di kalangan masyarakat yang beragam.
Pelukan hangat dari warga Papua menepis stigma politik identitas yang selama ini digaungkan oleh mereka-mereka yang kecewa pada Pilgub DKI pada 2017 silam dengan kekalahan Ahok.
Masih banyak yang tidak berhasil move on terhadap isu bahwa Anies Baswedan menggunakan agama sebagai kendaraan politiknya.
Stigma seperti ini tentu hanyalah mitos, meskipun harus diakui segelintir orang di dalam massa pendukung Anies Baswedan pada saat itu mempolitisasi agama untuk memenjarakan Ahok.
Secara pribadi saya berpendapat bahwa orang-orang yang masih bertahan dengan stigmanya, tidak pernah melihat Anies dari dekat. Bukan hanya wujud fisiknya, tetapi juga perilakunya, cara berpikirnya, karismanya, serta yang paling penting gagasannya.
Bukan hanya stigma politik identitas, Anies Baswedan juga kerap disebut tidak mampu kerja, hanya banyak omon(g), mereka tidak fair dalam melihat kerja Anies sewaktu memimpin DKI.
Juga mengenai tuduhan korupsi Formula E, yang sampai saat ini masih disinggung di kalangan warganet, padahal sampai kini tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Pada akhir tahun 2022 yang lalu, saya diberikan buku karya seorang senator asal Sulawesi Selatan, Tamsil Linrung dkk, yang berjudul 'Anies Baswedan Harapan Perubahan'.