Laman resmi Sekretariat Kabinet, setkab.go.id pada tanggal 1 November mengutip pernyataan Presiden Jokowi, tepatnya instruksi kepada para abdi negara agar menjaga netralitas menjelang Pemilu 2024.
"Perlu saya sampaikan bahwa pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten pemerintah kota, pemerintah pusat semua harus netral. ASN semua harus netral. TNI semua harus netral. Polri semua harus netral," demikian kata Presiden Jokowi menurut laman tersebut.
Netral menjadi kata kunci instruksi Presiden Jokowi dalam kutipan tersebut, yang mestinya dipahami oleh siapa yang ditujukan, tidak terkecuali masyarakat apabila pesan tersebut sampai.
Kata netral kemudian derivasinya adalah netralitas sering diartikan sebagai 'tidak memihak'. Benarkah? Agaknya lebih tepat jika netral itu dimaknai sebagai 'tidak menunjukkan pilihan'.
Menyuruh orang untuk tidak memihak sama halnya dengan menghilangkan hak konstitusionalnya sebagai pemilih. Sebab tidak memihak itu bisa bermakna sedalam-dalamnya.
Lagipula tidak memihak bisa diakali dengan sejumlah tindakan yang menggantikan sikap formal. Para pejabat-pejabat itu mungkin tidak menyatakan secara langsung mendukung kontestan tertentu, tetapi sikapnya dalam bentuk gesture atau kode-kode tertentu bisa menunjukkan pilihan di pihak mana.
Lain halnya jika netral atau netralitas itu dimaknai sebagai 'tidak menunjukkan pilihan', maka para pejabat negara dapat memilih calonnya masing-masing tanpa harus berupaya menunjukkan ke publik.
Sejalan dengan itu, Hans George Gadamer seorang filsuf eksistensialisme mutakhir, murid Heidegger, berpendapat bahwa tidak ada netralitas di dalam pikiran manusia. Pikiran manusia sudah sedang berada dalam horizon tertentu.
Tidak ada orang yang bisa berdiri secara objektif melihat sesuatu dari ketinggian, dari posisi yang netral, melainkan dia sudah berada pada posisi tertentu, dalam pengaruh tertentu, dan dalam pengaruh sejarah tertentu.
Jika netralitas sudah dimaknai sebagai tidak menunjukkan pilihan, maka indikasi ketidaknetralan mudah dikenali.Â
Seorang pejabat negara yang mengkampanyekan calon tertentu tidak lagi dapat bersembunyi di balik alasan 'menjalankan program' sebagai pejabat negara. Melainkan ia tetap dapat dinilai sebagai individu yang berusaha menunjukkan pilihannya.
Maka pimpinan instansi yang mencoba cawe-cawe dengan cara paling halus pun, misalnya mengajak makan malam calon tertentu, memberikan keterangan pers pembelaan saat usai debat kandidat, atau memberi gesture tertentu akan mudah dikenali bersikap tidak netral.
Sebab standar netralitas adalah tidak menunjukkan siapa pilihannya. Seseorang mustahil tidak memihak, tapi sangat mungkin untuk tidak menunjukkan pilihan.
Inilah yang harus diketahui oleh masyarakat sebagai penilai jalannya kontestasi. Supaya masyarakat dapat memberikan andil, memperingatkan siapa saja pejabat-pejabat negara yang tidak netral.
Lagipula makna tidak menunjukkan pilihan lebih mudah dipahami ketimbang makna tidak memihak. Sebab 'tidak memihak' maknanya masih sangat luas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H