Suasana panas ternyata tidak hanya terbatas dan berhenti pada forum Debat Capres Ketiga yang diselenggarakan oleh KPU, 7 Januari 2024 kemarin.
Ketegangan dan persaingan antar Capres berlanjut hingga ke luar arena debat, turut memancing pendukung bertindak agresif. Terutama bagi tim sukses, yang juga menjadi pemain langsung di lapangan, saling serang pernyataan.
Sah-sah saja sesungguhnya jika para Capres saling serang dalam hal argumentasi, sehingga yang terjadi adalah kontra argumentasi, visi misi, kinerja, hingga sikap dari masing-masing Capres.
Tetapi ada yang menarik pada sesi Debat Capres Ketiga kali ini, argumentasi di dalam prosesi debat menjadi bahan pelaporan ke Bawaslu.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan dilaporkan ke Bawaslu lantaran dinilai menyerang pribadi Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto.
Fatalnya, ada yang sambil merespons Debat Capres dengan (dugaan) upaya pengancaman tembak kepada Calon Presiden Anies Baswedan, dan kini pelakunya sedang diamankan oleh aparat kepolisian.
Dua sikap ini, yaitu melaporkan Capres dan melakukan pengancaman tembak Capres karena materi debat merupakan bukti kegagalan dalam memahami tradisi debat.
Seakan serba salah, jika debat disiarkan secara umum dan bebas ditonton oleh semua orang, risikonya bagi orang yang tidak memahami seni berdebat dan seluk beluk perdebatan akan menjadi beringas.
Sebab debat hanya mentradisi di kalangan masyarakat yang terdidik, yang memahami pertengkaran pikiran, tradisi intelektual, dan memahami bahwa debat adalah pertengkaran argumentasi sebagai ganti dari pertengkaran fisik.
Jika debat tak disiarkan secara umum juga salah, karena setiap rakyat Indonesia yang akan dipimpin oleh Capres-Capres itu, harus menyaksikan secara langsung ide-ide kepemimpinan dari masing-masing calon.