Suatu waktu di tahun 2011, Richard Dawkins berhasil merampungkan sebuah buku berjudul 'The Magic of Reality '. Buku yang berupaya menjernihkan pemahaman atas hal-hal yang tampak ajaib, mitos, takhayul, dongeng, dari sebuah realitas.
Pada salah satu bagian dari buku itu agak menyerempet ke teori evolusi, meskipun tidak dimaksudkan untuk mengesankan bahwa buku itu berfokus pada teori evolusi.
Pada bagian tersebut Dawkins memberikan gambaran tentang asal usul manusia dari masa ke masa melalui deretan foto yang dijejer secara horizontal.
Foto manusia modern, atau manusia kini ditaruh paling depan, dan misalnya pada deret foto ke sekian ribu tahun yang lalu foto itu adalah seekor simpanse.
Lalu ketika sampai pada deret terjauh, pada foto urutan ke 500 juta tahun yang lalu, manusia ternyata adalah seekor ikan purba. Inilah tampaknya yang turut diyakini oleh Dawkins, bahwa foto berhenti pada ikan purba tersebut karena jangkauan sains hanya mampu sampai di situ.
Sebagai seorang agnostik (sebagaimana diakuinya dalam bukunya yang lain, 'God Delusion'), Dawkins konsisten, bahwa selama belum ada bukti yang membantah, selama itu pula keyakinan terhadap apa yang ada masih sah.
Pertanyaannya, apa yang terpenting dari deret foto yang digambarkan oleh Dawkins, asal usul manusia kah? Bukan! Yang menarik adalah apa yang terjadi setelah foto deretan terakhir, yaitu manusia modern.
Sesungguhnya menarik jika teoretikus yang lain, Yuval Noah Harari, melanjutkan deret foto itu, seperti apa model manusia setelah manusia modern saat ini?
Meski bukan berupa foto, Harari sudah membuat suatu gambaran berupa konsep manusia masa depan, yaitu adi manusia, manusia yang menjadi Tuhan alias 'Homo Deus'.
Manusia di zaman kelak tidak lagi mempertuhankan alam sebagai pemberi kehidupan, alam yang mengajarkan manusia mendomestikasi daging dan buah-buahan secara besar-besaran.Â
Alam yang menuntun pikiran manusia untuk memindahkan sumber-sumber protein, vitamin, dan mineral dari alam terbuka ke dalam lemari pendingin.
Melainkan manusia di zaman itu sudah menjadi Tuhan, yang menciptakan dan mengatur kehidupannya sendiri. Lewat teknologi, apapun dapat dikendalikan oleh manusia.
Takdir alam semesta tidak lagi tergantung pada Tuhan yang sesungguhnya, tetapi tergantung pada tangan-tangan manusia Homo Deus. Terhadap dirinya sendiri, manusia dapat menentukan rezeki, takdir, jodoh, ajal, bahkan usia melalui kehendaknya sendiri.
Tanda-tanda itu kelihatannya sudah dimasuki, atau bahkan bisa jadi sudah dilampaui. Anda mau apa sekarang? Seorang mahasiswa yang dihambat oleh tugas-tugas semester, dengan mudahnya dapat menyelesaikan lewat Chat GPT.
Manusia menderita disabilitas, sebagian tubuhnya dapat dibantu dengan teknologi robot, algoritma akan membaca saraf penderita melalui kemampuan sensor.
Dalam hal bertransaksi, segalanya bisa diselesaikan meski masih di atas spring bed, belanja pakai e-wallet, trading, mau makan tinggal pesan online, dan lain sebagainya.
Bahkan dagang vaksin dengan ciptakan virusnya terlebih dahulu juga bisa dilakukan manusia zaman kini.
Walhasil segala yang dibutuhkan sudah tersedia, inilah kemampuan manusia abad ini yang berada di puncak evolusi kesadaran. Manusia yang bisa mendapatkan segala-galanya dengan mudah.
Manusia tidak perlu lagi berpikir keras untuk menciptakan sesuatu yang lebih mutakhir, semuanya sudah tersedia. Tinggal niatkan dan request, simsalabim langsung bisa diperoleh.
Maka evolusi kesadaran manusia selanjutnya tinggal joget. Ya joget! Sebab apa lagi yang harus dipikirkan? Semuanya sudah tersedia berkat ilmu pengetahuan, teknologi, uang, dan kekuasaan manusia puncak.
Darwin, Dawkins, atau Harari barangkali akan tertawa. Lho, capek-capek berpikir puluhan tahun sampai menulis buku rigid secara metodologis, tapi ujung-ujungnya (evolusi itu menuju ke) joget.
Tetapi betapapun joget adalah puncak atau akibat paling mutakhir dari tersedianya segala hal, joget ternyata punya motif yang harus diperiksa, apakah joget yang dimaksud adalah seusai dengan dampak evolusi kesadaran ataukah merupakan dampak dari hal biasa.
Karena joget pun tersedia di setiap level evolusi kesadaran manusia. Sebelum ditemukannya mesin uap, manusia sudah pandai berjoget.
Lalu apa yang membedakan? Joget sebagai puncak evolusi kesadaran manakala joget itu dilakukan sebagai pilihan untuk merefresh otak, merilekskan pikiran sebab terlalu banyak dipakai dalam keseharian.
Sementara joget yang merupakan dampak dari hal biasa, yaitu manakala joget dipilih karena tidak lagi mampu berpikir, tak mampu membangun konsep, atau demi menutupi ketidakmampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kehidupan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI