Tetapi biar begitupun Ganjar banyak melontarkan ide-ide yang bagus, serta komitmen tinggi untuk 'sat-set', sikat korupsi, tegakkan keadilan, serta tegakkan kesetaraan.
Pada intinya, tidak dapat dikatakan bahwa salah satunya terbaik secara objektif, lalu pendukung Capres yang lain salah memilih. Karena motif dukung Capres itu tidak tunggal, masing-masing pendukung punya indikator mengapa harus memilih Capres nomor 1, 2, atau 3.
Menarik misalnya melihat analisa Bosman Mardigu, praktisi intelijen, meskipun tidak semua orang akan mau mendengarkan kata-katanya.
Bosman melihat Anies sebagai kubu yang mewakili perasaan orang-orang yang marah terhadap rezim, dan rezim itu ada di pihak Prabowo-Gibran. Rezim itu sendiri adalah Jokowi, sosok yang sampai saat ini masih dikagumi banyak orang.
Sedangkan kubu Ganjar lebih tampil sebagai kelompok yang mulai kritis terhadap rezim karena kini lagi pisah ranjang dengan sang Presiden beserta putra-putranya, dan juga menantunya.
Tetapi Ganjar tidak berseberangan secara full terhadap rezim, posisi yang diambil tidak berhadap-hadapan seperti Anies.Â
Para pendukung yang punya indikator pribadi 'mengapa harus pilih ini dan bukan itu' juga sudah menyesuaikan dengan posisi masing-masing Capres, itu tidak dapat diubah sekalipun dengan retorika maupun bujuk rayu.
Maka debat Capres jangan diharap sebagai momentum merebut hati banyak orang dengan performa yang ditampilkan, apalagi sampai mengharap pendukung Capres satu berpindah dukungan ke Capres lain.
Malah sebaliknya, debat Capres hanya akan semakin meyakinkan sang pendukung agar tetap memilih Capresnya, bahkan jika perlu turut memperjuangkan kemenangannya.
Pendukung di sini buka hanya yang menampakkan diri sebagai pendukung, tetapi juga masyarakat yang tidak mengaku, namun perasaannya seolah-olah diwakili oleh Capres pilihannya.
Mungkin debat itu hanya akan efektif merebut hati para swing voters, yang semula ragu menjadi yakin dengan adanya performa di acara debat itu.***