Izinkan saya mengawali tulisan ini dengan menyapa para pembenci retorika. Yang mengatakan penyampai gagasan sebagai omdo. Padahal, tanpa retorika, Capres bisa apa?
Para pembenci retorika menyimpan kesan bahwa banyak bicara, yang sering juga disebut pandai bicara, tidak akan ada penyelesaian.
Itu pernyataan yang tak terbantahkan hanya jika Capres, apabila menjadi Presiden, bekerja sendiri tanpa melibatkan stakeholdernya, pejabatnya, atau pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan.
Pemimpin itu memang didesain untuk pandai beretorika. Melalui retorika itu dia menyampaikan gagasannya, instruksinya, kemampuan komunikasinya, demi menggerakkan seluruh stakeholder yang ada.
Beda halnya jika pemimpin, atau lebih spesifik Capres itu ingin mengesankan bahwa dirinya superhero tunggal di atas negeri, turun ke tengah desa layaknya pahlawan bagi masyarakat wong cilik, atas kejahatan pejabat daerah.
Dalam konteks menghadapi pemilu, alih-alih mengidealkan kepemimpinan yang realistis, para pembenci retorika itu sesungguhnya lebih dilatari oleh kesadaran bahwa Capres usungannya akan kalah dalam hal retorika.
Lalu memandang retorika, yang merupakan ungkapan dari proses berpikir itu, tidak penting. Sebagai gantinya, perlu menyembunyikan ketidakmampuan beretorika dibalik citra jago blusukan, atau suatu citra yang menampilkan kewibawaan.
Debat Capres perdana yang digelar oleh KPU pada tanggal 12 Desember 2023 akhirnya membuktikan bahwa ketidakmahiran dalam beretorika akan menjadikan Capres mencari senjata lain selain mematahkah argumentasi lawan secara seimbang.
Capres akan menggunakan sentimen, atau pelibatan nama yang lebih tinggi, klaim-klaim sepihak yang sesungguhnya justru menunjukkan kelemahan, karena tak mampu memproduksi gagasan sendiri.