Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kala Sastra Tak Mampu Mengungkap Realita, Rempang Jadi Tak Terbaca

22 September 2023   14:33 Diperbarui: 22 September 2023   14:36 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu apakah judul tulisan ini sudah tepat, karena tidak berangkat dari kepakaran soal sastra, melainkan hanya seorang pembaca terhadap apa yang disebut sastra oleh orang-orang.

Meski saya tidak punya ilmu mumpuni untuk membedakan mana karya sastra dan mana bukan, tapi saya cukup tahu mana yang oleh para kritikus sastra disebut bukan karya sastra, atau mereka lebih sebut itu sebagai karya pop.

Kalau karya Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru adalah karya sastra. Itu diakui bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Konon Iqbal si pemeran Minke di film 'Bumi Manusia' diberi tugas oleh kampusnya meresensi karya sastra Pram, Bumi Manusia.

Sekadar mengingat-ingat isi Bumi Manusia, dan secara umum Tetralogi Pulau Buru, bahwa sastra itu ternyata bukan semata rangkaian kata yang dibuat indah, yang fiksi, yang membuat pembaca berimajinasi oleh sebab daya pikat sang penulis, atau hanyut dalam alur cerita yang dibuat oleh si pengarang.

Lebih jauh dari itu, sastra adalah jalan mengungkap realita, menyuarakan kegelisahan, membuka mata akan suatu ketimpangan sosial, tipuan, kepura-puraan, dan lain sebagainya.

Sastra lebih jauh dari sekadar yang dipahami oleh penulis karya fiksi, yang karena karyanya fiksi maka dia sebut sastra. Padahal karyanya tidak mengungkap apa-apa selain khayalan pribadinya.

Dia tidak mampu membuat orang tergugah, tidak mengubah cara berpikir, tidak menampilkan sisi kehidupan yang tersembunyi di balik simulakra, tidak mampu menangkap logika kekuasaan dalam suatu sistem sosial.

Bahkan satire pun tidak ada. Kita tak pernah diingatkan soal sistem yang korup, yang harusnya diprotes. Soal cara berpikir manusia kini, cara menghadapi realitas sosial, ketimpangan, soal sudut pandang pengarang dalam menafsirkan realita, logika yang bermain, sama sekali tak dipahami oleh pengarang yang mengaku karyanya adalah sastra.

Jika karya-karya itu mereka sebut sastra, nyatanya karya-karya itu jauh dari mengungkapkan realita. Mungkin bisa dianggap sebagai dongeng, kita diajak untuk menerka-nerkan khayalan pengarang.

Bandingkan dengan karya Pram, di sini saya akan mengajukan seri kedua Tetralogi Pulau Buru, 'Anak Semua Bangsa'. Orang-orang mungkin tidak akan menangkap maksud Pram menceritakan kehidupan masyarakat di era Kolonial.

Tetapi jika melihat realita baru-baru ini, yaitu konflik warga Pulau Rempang dengan aparat, mengingatkan akan satu cerita di dalam 'Anak Semua Bangsa' tentang sosok Trunodongso.

Di sini saya bukannya akan menghubungkan jalan cerita, antara warga Pulau Rempang dengan warga Perkebunan Tebu di dalam Karya Pram itu, tetapi saya hendak menangkap cara pandang Pram melihat realita jika dihubungkan dengan apa yang dialami warga Pulau Rempang.

Yaitu posisi kekuasaan, posisi rakyat di sisi sebaliknya, dan posisi tulisan mengungkap realita di sisi yang lain pula. Namun sebelum itu, di tubuh kekuasaan kini rupanya terdapat suatu kesamaan dengan era yang diceritakan Pram.

Antara penguasa kolonial dan penguasa lokal di era Pram, serta antara investor asing dan pejabat negara di era kini, seakan tidak berbeda jauh.

Si Trunodongso dan warga di desanya melawan pabrik-pabrik gula yang mulai mengambil lahan sebahu demi sebahu. Tanah yang dimiliki turun temurun tanpa sertifikat.

Lalu penguasa lokal, adalah senjata kolonial untuk membujuk masyarakat dengan iming-iming relokasi, ganti rugi, dan aneka bonus jaminan lainnya asalkan tinggalkan tanah yang tak bersertifikat itu, sebab investasi akan masuk, negara akan untung.

Jika tak mau, maka penguasa lokal boleh tempuh jalan lain, yaitu dengan ancaman bakal dihukum, karyawan pabrik gula bakal dipecat, serta aneka upaya pengucilan lainnya.

Inilah realita yang diungkapkan Pram dalam kisahnya mengenai si Trunodongso di 'Anak Semua Bangsa'. Realita yang seakan mirip dengan realita kini, Warga Pulau Rempang yang mesti angkat kaki demi masuknya investasi.

Warga Pulau Rempang yang mendiami tanah tanpa kepemilikan sertifikat, dianggap tak punya hak menghalangi investasi untuk masuk, hanya menghambat negara memperoleh keuntungan.

Realita semacam inilah yang tidak diungkapkan oleh sastra kini, sastra sebagaimana anggapan para penulis karya pop, yang pembacanya gagal menangkap logika dari realita semacam kasus Pulau Rempang.

By the way, dari kasus Pulau Rempang ini, seakan terawangan Pram kuat ke masa kini, sewaktu dirinya menyelesaikan karya kedua Tetralogi Pulau Buru: Anak Semua Bangsa.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun