Mengapa setiap kita membuka laman web, iklannya dominan tentang obat kuat atau herbal keperkasaan kaum lelaki? Ada beberapa kemungkinan, kalau bukan perusahaan-perusahaan penyedia produk itu yang punya banyak modal, atau persaingan antara satu produk dengan produk lainnya, bisa jadi juga karena adanya permintaan yang meningkat yang sesungguhnya itu merupakan fenomena yang lagi trend sekaitan dengan obat-obatan itu.
Atau bisa jadi karena kemungkinan lain lagi, misalnya herbal keperkasaan merupakan solusi ketakutan para lelaki, yaitu takut kalau hidup menjadi tidak berarti lantaran alat vital tidak dapat fight. Lebih dari sekadar hidup yang tak berarti, penyakit khas lelaki (impotensi) ini dalam banyak kasus menyebabkan pasangan berselingkuh  lalu si lelaki kehilangan harga diri.
Gambaran mengenai hidup lelaki yang tak berarti itu bisa kita dapatkan dalam novel yang ditulis oleh Eka Kurniawan berjudul "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", mengisahkan seorang lelaki bernama Ajo Kawir yang mengalami impotensi. Lantaran itu ia merasa hidupnya tak berarti sebagai lelaki, dan karenanya ia ingin menghabiskan hidupnya dengan berkelahi.
Bagi Ajo Kawir, berkelahi adalah cara lelaki  bertahan hidup. Tetapi bagi Iwan Angsa (salah satu tokoh dalam novel itu), berkelahi merupakan cara terburuk dalam bertahan hidup. Itu semacam nasihat baik kepada Ajo Kawir--dan mungkin juga untuk kita semua. Tetapi nasihat itu tak diacuhkannya.
Apa yang dialami Ajo Kawir bukanlah penyakit bawaan lahir. Melainkan dipicu oleh satu kejadian: ia mengintip dua orang polisi yang tengah ingin memerkosa Rona Merah--perempuan "sinting" yang ditinggal mati secara tragis oleh suaminya di depan mata kepalanya sendiri--di rumahnya, dan ia ketahuan.
Ajo Kawir lalu disuruh memperagakan, dengan ditelanjangi, lalu kedua polisi itu mengancamnya, setelah itu menertawai Ajo Kawir. Sedang Ajo Kawir jatuh di antara takut dan malu. Sejak saat itu alat vitalnya tertidur dan dalam waktu yang sangat lama tidak pernah--meminjam kata-kata di belakang buku--bangun dari tidurnya yang panjang.
Sepintas cerita ini terkesan ingin menonjolkan kecabulan. Tetapi itu sesungguhnya hanyalah medium untuk mengajukan sebuah kritik sosial bagi kehidupan masyarakat, terutama ketika kehidupan itu selalu dipandang dari sudut kaum lelaki.
Misalnya Rona Merah si wanita sinting yang ditinggal mati suaminya. Meski hidup dengan awut-awutan, nyatanya masih mengundang nafsu lelaki untuk menggaulinya. Ia dimandikan, didandani sampai bersih, lalu kedua oknum polisi beraksi.
Ini menggambarkan bagaimana seorang lelaki yang memandang perempuan tak berdaya, tak punya pelindung (dalam hal ini suami). Perempuan selalu tampil sebagai pemuas keinginan lelaki. Tinggal dilihat apakah ia bebas diperlakukan atau tidak. Bahkan seandainya perempuan menentukan tarif tinggi untuk nafsu sesaat, lelaki akan menyanggupinya.
Tentang bagaimana cara lelaki melihat perempuan dengan mata nafsu, satu adegan lagi dalam novel itu yang melukiskan seorang janda muda yang tak mampu membayar kontrakan rumah setelah dua bulan ditinggal suaminya. Lalu habis akal setelah perabotan dijual habis untuk membayar kontrakan yang tak kunjung cukup juga.