Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Pendidik, Menjadi Generalis

29 April 2023   12:37 Diperbarui: 29 April 2023   18:03 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: pexels.com

Seorang senior saya menyarankan, "Kamu harus fokus pada jurusan akademikmu! Setiap orang bebas menulis apa saja, tetapi ingat, yang dibutuhkan ujung-ujungnya kamu harus berbicara sesuai bidang keahlianmu!"

Itu dia sampaikan sewaktu kami bertemu pada satu kesempatan dalam momen yang tak terduga. Ia membaca tulisan-tulisan saya, yang katanya ke mana-mana, tidak fokus. Kadang saya menulis tentang agama, habis itu menyebrang ke masalah sosial, terus filsafat, isu-isu sains, politik, dan lain-lain secara berpindah-pindah.

Dengan begitu, orang-orang akan sulit menebak, saya fokusnya di mana? Supaya bidang yang difokuskan itu menjadi penanda diri saya; misalnya dia bisa menyarankan ke orang-orang, kalau mau tahu banyak soal pendidikan, bacalah tulisan-tulisan Saeful Ihsan.

Juga kurang elok kalau menetapkan diri membahas satu disiplin ilmu namun yang berbeda dari jurusan saya. Misalnya saya akan fokus ke bidang politik. Jadinya, masa iya sarjana pendidikan bicaranya politik melulu? Ya, mestinya bicara pendidikan dong.

Itu memang saya sadari belakangan sebagai kelemahan saya, tidak mampu fokus pada satu bidang, dan tertarik untuk mengomentari pelbagai isu yang tersaji di dalam lapangan wacana. Terlebih, semuanya di luar dari jurusan yang saya tempuh selama kuliah.

Padahal jurusan akademik saya adalah pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam, dari S1 sampai S2. Saya akan mulai mengingat ini dan menjaga fokus ini. Namun saya mesti berterus terang akan hal-hal yang menurut saya adalah kesulitan:

Pertama, karena memilih jurusan pendidikan bukanlah pilihan pribadi. Bayang-bayang orang tua yang keduanya adalah pendidik (guru) cukup kuat. Masa depan yang diimpikan oleh keduanya adalah ketika anak mereka bisa menjadi guru yang baik seperti mereka.

Pada akhirnya, di masa kuliah, saya bertemu dengan pelbagai bidang kajian ilmu, bukan dari ruang kelas di kampus, melainkan di organisasi, waktu itu di HMI. Bidang-bidang kajian itu yang juga merupakan lingkup ilmu-ilmu lain selain ilmu pendidikan, menjadi lebih menarik bagi saya. Sehingga saya kemudian lebih suka membaca buku lain ketimbang buku-buku pendidikan.

Kedua, melanjutkan studi S2, saya sesungguhnya mulai mencoba fokus pada bidang ini, kembali memilih jurusan Pendidikan Agama Islam. Supaya linier, dan supaya kembali mendalami ilmu pendidikan, sebagaimana yang sudah ditakdirkan melekat pada gelar saya.

Namun entah mengapa, mata kuliah khusus pendidikan begitu amat membosankan. Antara lain karena lebih banyak membahas soal teknis ketimbang yang konseptual. Partisipan juga lebih banyak ngomongin pengalaman mereka dengan siswa-siswanya ketimbang membicarakan masa depan pendidikan yang baik.

Bandingkan dengan mata kuliah umum seperti filsafat, multikulturalisme, sejarah perkembangan pemikiran, studi Al-Qur'an, studi hadis, semuanya lebih dominan konseptual, kita bisa memperdebatkannya secara terbuka dengan pemahaman atas wacana yang ada. Bagi saya, yang ini lebih menarik.

Ketiga, fokus membicarakan dunia pendidikan seringkali membuat saya tertutup dari isu-isu nasional, semisal korupsi, produk undang-undang yang diskriminatif, isu-isu hukum, ekonomi, dan semisalnya.

Itu karena pendidikan menjadi disiplin ilmu yang dipisahkan dari bidang-bidang lain. Ia menjadi konservatif. Ketika berbicara pendidikan, kita akan terus mengulas tentang sekolah, guru, siswa, kurikulum, parenting, dan amat jarang bersentuhan dengan isu-isu yang membutuhkan sentuhan ideologis.

Lantaran kenyataan itu, guru-guru menjadi tertutup dan hanya terbiasa dengan dunianya. Dunia pendidikan punya standar sendiri tentang keidealan; guru yang ideal, siswa yang ideal, cita-cita yang ideal, dunia yang ideal, dan lain-lain yang ideal. Hingga lupa kalau kita berhadapan dengan dunia yang realistis, bukan dunia yang ideal.

Maka, untuk mengatasi itu semua, jalannya adalah dengan menjadi generalis. Sebab pendidikan pada intinya adalah upaya membantu anak untuk mencapai taraf kedewasaannya. Kata kuncinya adalah membantu, yang kita terjemahkan dalam sikap mengajar dan mendidik.

Supaya anak-anak itu tumbuh dengan modal pemahaman, sebab ia akan menghadapi dunia, maka mereka harus dibantu agar bisa memahami dunia dengan baik, dunia yang real saat ini, bukan dunia yang idealnya bagaimana.

Pendidikan, bagi saya, bukanlah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Ia butuh meminjam ilmu-ilmu lain. Oleh sebab itulah mengapa ada mata kuliah sosiologi pendidikan, psikologi pendidikan, filsafat pendidikan, sejarah pendidikan. 

Begitu juga mengenai jurusan pendidikan. Pendidikan tidaklah berdiri sendiri, ia menjadi ilmu alat, metodologi untuk mengajarkan disiplin ilmu-ilmu yang lain. Perhatikanlah, ada jurusan pendidikan geografi, pendidikan bahasa Inggris, pendidikan matematika, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan fisika, pendidikan kimia, dan lain sebagainya.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa pula pendidik, atau orang dari jurusan pendidikan tetap harus mengikuti isu-isu nasional, bahkan bila perlu memberikan pikiran-pikiran di luar bidangnya sendiri? Bukankah pendidik harusnya fokus saja pada sekolah, siswa, kurikulum, dan mata pelajaran?

Sebab dunia pendidikan juga sangat terkait dengan kebijakan nasional. Adanya korupsi, regulasi yang tidak sehat, serta kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat turut mempengaruhi tidak sehatnya dunia pendidikan.

Bayangkan jika pemerintah salah mengelola negara, utang menumpuk, korupsi marak, lantas dampaknya berpengaruh terhadap penganggaran pendidikan; daya beli masyarakat yang menurun, sedang masyarakat itu sendiri tidak lain adalah orang tua siswa yang kesulitan menyisihkan biaya pendidikan untuk anaknya.

Itulah alasan mengapa saya menjadi generalis, tidak mampu menahan diri untuk fokus menekuni ilmu-ilmu pendidikan. Sebaliknya, dengan mengamati perkembangan kebijakan negara, saya terdorong untuk mendalami politik, filsafat, serta wacana-wacana yang mendukung dan memungkinkan dijadikan landasan dalam melakukan kritik.

Bacaan-bacaan dan tulisan-tulisan saya pun akhirnya lebih sedikit berbicara tentang pendidikan ketimbang berbicara tentang yang lain. Padahal saya adalah seorang pendidik, bukan sosiolog, bukan pengamat politik, dan bukan filsuf.

Namun begitu, saya akan tetap mencoba fokus. Mungkin saja lama kelamaan saya akan terbiasa, bisa berbicara banyak hal dari sisi pendidikan. Akan saya coba itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun