Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Idul Fitri: Kembali kepada Kemanusiaan (Bagian 3)

26 April 2023   09:33 Diperbarui: 26 April 2023   12:18 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: idntimes.com

Idul Fitri seharusnya juga dimaknai sebagai momen peringatan tentang misi pembebasan, terhadap mereka yang tidak dipandang layaknya manusia pada umumnya, atau tidak diperlakukan secara manusiawi oleh pihak tertentu.

Mari kita merefleksikannya ke beberapa hal. Pertama, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitabnya, Bulughul Maram, membuat satu bab khusus tentang hadis-hadis pembebasan Budak. Bab itu berisi sebanyak 19 hadis. Saya kutipkan salah satu di antaranya:

"Dari Abu Hurairah, berkata, 'Rasulullah saw bersabda: setiap orang muslim yang memerdekakan seorang budak muslim, niscaya Allah akan menyelamatkan setiap anggota tubuhnya dan api neraka dengan setiap anggota tubuh budak tersebut.(Muttafaq 'alaih)."

Hadis di atas mengandung makna janji bagi mereka yang memerdekakan budak muslim. Diandaikan setiap anggota tubuh yang dimerdekakan, setiap itu pula diri dihindarkan dari api neraka.

Dari hadis tersebut, dan juga hadis-hadis yang serupa, dapat dipahami bahwa meski tidak secara eksplisit perbudakan serta merta langsung dilarang, namun penghapusan perbudakan begitu sangat ditekankan.

Kita juga bisa melihat spirit pembebasan seperti ini misalnya pada pasangan suami istri yang melakukan hubungan badan di siang hari pada bulan ramadan. Mereka diancam bakal kena sanksi antara lain berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 fakir miskin, dan jika tidak mampu juga maka mesti memerdekakan seorang budak.

Logika sanksi tersebut bukannya mengurutkan dari sanksi terberat ke sanksi yang paling ringan, dan karenanya memerdekakan budak adalah yang paling ringan di antara ketiganya.

Melainkan sanksi memerdekakan seorang budak, adalah setimbang kadarnya dengan puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin.

Artinya, memerdekakan budak adalah perkara yang mahal. Selain karena dapat menjadi jaminan dihindarkan dari api neraka, juga dapat mengganti hukuman berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 fakir miskin.

Apa pentingnya refleksi ini? Bukankah perbudakan kini tak ada lagi? Bukankah kita kini hidup di eranya demokrasi, kebebasan, dan HAM, maka kita dapat memilih melakukan apa saja sesuai kehendak kita--selama tidak melanggar hukum?

Bentuk-bentuk perbudakan di zaman dahulu, khususnya zaman jahiliah, kini memang tak ada lagi. Kita tidak menyaksikan di sekitar kita ada orang yang menjadi budak bagi majikannya, dan bebas diperjualbelikan.

Tetapi perbudakan itu sendiri beralih bentuk dari orang ke sistem. Majikan bukan lagi person per person, tetapi sudah dalam bentuk sistem sosial, sistem hukum, mental, serta visi kolektif.

Misalnya dalam dunia pekerjaan, seringkali perbudakan terjadi oleh pemberi kerja terhadap pekerja. Ketergantungan pekerja pada upah serta kurang berpihaknya pembuat kebijakan kepada pekerja, menyebabkan leluasanya pemberi kerja melancarkan praktik penindasan.

UU nomor 11 tahun 2020 atau Omnibus Law Ciptaker sebagai contoh potensi perizinan praktik penindasan itu, dengan visi memberikan kenyamanan, kebebasan, dan keleluasaan kepada perusahaan untuk berinvestasi.

Memang UU itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sebab dalam pembentukannya, mengabaikan aspirasi masyarakat. Namun sayang, pemerintah dalam hal ini presiden, meneken Perppu nomor 2 tahun 2022 sebagai pengganti, meski tidak memenuhi syarat keadaan genting, juga tanpa menunggu UU Ciptaker diperbaiki sebagaimana disyaratkan sebelum akhirnya diputuskan inkonstitusional permanen.

Berdasarkan kajian YLBHI bulan februari 2023, dampak dari pemberlakuan UU maupun Perppu Ciptaker tidak hanya dirasakan oleh kaum buruh, tetapi juga para nelayan, serta para petani. Mereka terpaksa hidup dengan prinsip "mau tidak mau harus", jika tidak, nafkah terputus. Sebab regulasi memberi kenyamanan hanya kepada investor dan mengorbankan hak-hak buruh, petani, dan nelayan.

Tidakkah buruh itu bagaikan budak jika nasibnya (termasuk di dalamnya lama waktu kontrak kerja, hak cuti dan libur, pesangon) diserahkan ke perusahaan? Tidakkah nelayan bagaikan budak, jika investor mencaplok wilayah pesisir dan mereka dipaksa mendayung ke laut yang lebih jauh? Tidakkah petani bagaikan budak yang dipaksa menjual murah gabahnya, gara-gara impor leluasa tanpa regulasi yang ketat?

Idul Fitri memang merupakan momen kemenangan di mana individu berhasil membebaskan diri dari diperbudak oleh hawa nafsu, melalui puasa selama sebulan penuh. Tetapi apakah itu cukup? Tidakkah budak yang semula person ke sistem perlu juga dibebaskan sebagai manifestasi kembali kepada fitrah yang lebih luas?

Oleh sebab itu, spirit Idul Fitri mesti membangun kesadaran ini; kesadaran bahwa pasca melepaskan diri dari perbudakan hawa nafsu, giliran kita berupaya membebaskan segala bentuk perbudakan terhadap masyarakat yang nasibnya kurang diuntungkan. Mengangkat mereka supaya sederajat, kembali memperoleh martabat kemanusiaannya.

Ingatlah, bahwa mereka yang kurang beruntung lah yang dituju oleh zakat fitrah kita di bulan ramadan. Serta mereka pula tempat kita menebus dosa besar yang kita lakukan (memberi makan fakir miskin, dan memerdekakan budak). Serta kita diancam oleh Q.S. Al-Ma'un ayat 1 - 3 sebagai orang yang mendustakan agama, jika mengabaikan dan menghardik mereka.

Namun, upaya pembebasan dari sistem perbudakan tidaklah dilakukan dengan jalan frontal, inkonstitusional, serta cara-cara yang tidak berpendidikan lainnya. Pertama, perlu adanya visi kepemimpinan yang kuat disertai komitmen atas pembebasan itu. Sebab perubahan membutuhkan kekuasaan.

Kedua, perlunya ide-ide kreatif yang sifatnya saran atau masukan, disertai sedikit pressure agar agenda pembebasan ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting bagi berbagai pihak.

Ketiga, visi pembebasan yang termasuk dalam terminologi amar ma'ruf nahi mungkar ini perlu terus dikampanyekan, agar menjadi kesadaran bersama demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun