Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Menjauhkan Anak dari Gadget Sama dengan Menjauhkan Anak dari Dunia

17 April 2023   19:12 Diperbarui: 2 Mei 2023   10:33 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak main gadget. Sumber: techcrunch via kompas.com

Sampai hari ini, masih banyak orang-orang dewasa yang berpikiran bahwa anak-anak tidak pantas diberikan gadget. Sebabnya adalah alasan kesehatan tubuh, psikis, hingga sosial.

Sebagian orang tua akan mulai bercerita mengenai pengalaman indahnya di masa kecil sebelum dunia mengenal gadget. Bermain kelereng, petak umpet, main kasti, lompat tali, gasing, dan lain sebagainya. Lalu cerita-cerita masa lalu itu menjadi idealisasi yang coba didoktrinkan kepada anak-anak zaman kini, bahwa mereka juga mesti seperti orang tuanya dahulu.

Tidak tanggung-tanggung, beredar pula video-video kolase tentang nostalgia permainan anak-anak di tahun 70 sampai 90-an di media sosial--yang tanpa sadar jika itu dimaksudkan untuk diperlihatkan kepada anak-anak sekarang, mereka terlebih dahulu harus menontonnya di gadget.

Cerita-cerita orang tua dulu dianggap akan efektif untuk membujuk anak supaya jangan main gadget. Sekadar penambah bujukan dan idealisasi orang tua atas masa lalunya, terkadang terselip kisah bagaimana orang-orang tua dahulu dihukum guru-guru mereka di sekolah secara bengis. 

Prototipe dunia sekolah orang tua dahulu dikesankan layaknya serdadu yang mengikuti pelatihan militer. Guru merupakan komandan yang wajib ditaati, dan siswanya adalah anggota regu yang bergerak sesuai perintah.

Nyatanya, mereka yang mengidealkan hukuman militeristik di sekolah di masa lalu, kini juga adalah mereka yang mengecam kekerasan yang sama oleh guru terhadap siswa di sekolah, apalagi jika siswa itu anak mereka sendiri.

Sama halnya cerita mengenai permainan dan hiburan anak-anak dahulu, menjadi tidak realistis di masa kini. Selain memang karena ini sudah zamannya gadget, juga karena orang tua kerap mencontohkan melakukan sesuatu yang sesungguhnya mereka larang; mereka melarang anak bermain gadget, pada saat bersamaan, diri mereka--orang tua--sendiri enggan meletakkan gadget demi bermain bersama anak.

Maka sesungguhnya pelarangan gadget untuk anak merupakan buntut dari tidak berjalannya proses pendidikan di rumah. Jika pendidikan adalah usaha sadar dan terencana orang dewasa kepada anak demi perubahan tingkah laku dan menuju kedewasaan, maka usaha itu tidak berjalan dengan optimal.

Pendidikan terhadap anak di rumah bukan hanya soal mengajarkan mereka apa-apa yang belum mereka tahu, tetapi juga bagaimana mereka dibentuk menjadi manusia yang mampu berkomunikasi serta menjalin hubungan emosional dengan baik, terutama terhadap gurunya. Jika di dalam rumah tangga, itu dilakukan terhadap orang tua dan saudara-saudaranya.

Masalah yang timbul pada anak lantaran gadget sesungguhnya termasuk dalam rangkaian pola asuh dan pendidikan yang keliru di lingkungan keluarga. Kedekatan anak dengan orangtua, saling pengertian, saling memahami, saling sadar akan posisi (sistem kepemimpinan keluarga), serta keteladanan, akan menjadi sederet faktor penting yang dapat mencegah terjadinya masalah-masalah itu.

Misalnya orang tua yang kurang menyadari bahwa keteladanan adalah yang utama dalam pendidikan, tidak akan sampai kepikiran bahwa melarang anak memegang gadget, yang dia sendiri memegangnya, merupakan sikap memberi contoh yang tidak baik. Lain kata lain perbuatan.

Begitupula dengan sekolah, guru-guru yang melarang siswanya memakai gadget sesungguhnya telah memberikan contoh yang tidak baik, karena mereka guru-guru juga hampir setiap saat disaksikan oleh siswanya memegang gadget.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Harus memilih di antara dua hal, melarang anak pakai gadget dengan contoh bahwa mereka yang melarang juga tidak boleh pakai gadget, atau mempersilakan anak-anak pakai gadget sebagaimana orang tua dan guru juga pakai gadget, namun dengan syarat tertentu.

Ini bukan soal keadilan, a dibalas a. Melainkan ini soal keteladanan. Ketika anda melarang anak anda terhadap sesuatu yang anda sendiri melakukannya (meski alasannya perbuatan khusus orang tua), maka anda adalah teladan yang mengecewakan di mata anak anda sendiri.

Sumber foto: istockphoto.com
Sumber foto: istockphoto.com

Anak-anak itu mungkin tidak akan memprotes kepada anda secara terang-terangan. Mereka selanjutnya akan mencari-cari tempat lain yang akan menyalurkan rasa penasaran mereka terhadap gadget, di luar sepengetahuan anda. 

Pada taraf ini, mereka akan berani melakukan sesuatu di luar sepengetahuan anda, termasuk potensi menuruti tuntutan imajinasi yang liar dengan bantuan mesin telusur, aplikasi, serta media sosial seluas-luasnya.

Sebab tidak bisa dimungkiri, gadget adalah bagian dari realitas dunia kini. Amat sangat sedikit manusia (terkecuali di perkampungan yang sangat terpencil) yang hidupnya sepenuhnya di dunia nyata, separuh hidup manusia-manusia kini ada di dunia maya, di layar gadget.

Maka menjauhkan anak dari gadget, itu sama halnya dengan menjauhkan anak dari dunia. Yaitu dunia yang di dalamnya hanya ada orang lain, orang tua mereka, serta teman-teman mereka. Mereka sendiri, anak-anak yang dijauhkan dari gadget itu, menjadi orang asing di dalam kehidupan ini.

Sedang anak-anak yang mengalami keterasingan, jika mereka tidak tumbuh sebagai anak-anak kurang pengalaman, mereka akan menjadi terkucilkan di pergaulannya, serta menyimpan suatu kegelisahan psikologis yang suatu saat bisa mencari jalan pelampiasannya tersendiri.

Namun memberikan anak gadget tidak dapat dipisahkan dari risikonya sendiri. Anak memang berpotensi terganggu secara fisik (utamanya mata), atau secara psikis (emosi jadi cenderung labil). Kedua hal ini barangkali tidak melekat secara penuh, tetapi pengaruhnya tetap ada.

Kalau paradigma ini diterima (yaitu gadget adalah bagian dari kehidupan manusia kini), maka pola asuh atau proses pendidikan dilakukan orang tua harus lebih meningkat dari biasanya. Maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah:

1. Memelihara kedekatan anak dengan orang tua

Andy F. Noya di satu waktu dalam acaranya "Kick Andy" pernah mengungkapkan pengalamannya dalam memperbaiki mental anak, utamanya soal percaya diri dan juga penyebab kedekatan anak dengan orang tua, yakni melalui pelukan. Pelukan orang tua ke anak (Andy mengkhususkan anak laki-laki, tetapi sesungguhnya setiap anak berhak dipeluk oleh orang tuanya), dapat membuat anak percaya diri dan akhirnya dengan mudah mengejar prestasinya.

Membangun kedekatan bukan berarti memanjakan anak. Membangun kedekatan itu tidak lain memberi kesadaran bahwa antara anak dengan orang tua adalah dua subjek yang masing-masing punya pikiran dan perasaan. Saling berkomunikasi dengan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi. Saling terbuka dan mengungkapkan kebutuhan satu sama lain.

Tidak seperti kebanyakan orang tua yang menganggap dirinya adalah subjek sumber kebenaran, dan anak adalah objek tempat orang tua mewujudkan keinginannya. Pada taraf ini, anak dikehendaki layaknya robot yang bergerak sesuai program yang sudah disetel di otaknya.

2. Membiasakan saling terbuka soal apapun, termasuk penggunaan gadget 

Jika kedekatan itu sudah terbangun, di mana komunikasi antara anak dan orang tua berjalan secara terbuka, hal itu menjadi modal kepercayaan orang tua terhadap anak yang mereka berikan gadget.

Anak harus dibiasakan memberitahu apa-apa saja yang mereka mainkan di gadget mereka, mengajari mereka bertanggung jawab dengan meminta menceritakan apa saja yang mereka perbuat dengan gadget itu. Sembari menunjukkan apa-apa saja yang mesti mereka hindari atau skip jika lewat di beranda media sosial mereka. 

Namun kejujuran mengenai penggunaan gadget ini hanya akan terwujud hanya jika kedekatan itu sudah terbangun, dan dalam suasana komunikasi yang menyenangkan. Tidak dalam suasana marah-marah, atau ancaman kepada anak jika mereka mangkir dari kejujurannya.

3. Membuat kesepakatan dengan anak mengenai waktu-waktu penggunaan gadget

Melibatkan anak dalam suatu perjanjian kesepakatan bukan hanya demi mengajarkan mereka untuk berkomitmen, tetapi dengan perjanjian itu anak bisa merasa bahwa diri mereka dianggap berhak membuat keputusan. 

Dengan kata lain, dengan mereka dijadikan satu pihak dalam suatu perjanjian, mereka akan merasa diperhatikan dan dihargai. Di mana perhatian adalah kebutuhan utama anak terhadap orang tuanya.

Membangun kesepakatan mengenai waktu penggunaan gadget dengan anak juga merupakan cara orang tua dalam mengajarkan anak untuk disiplin, serta pandai dalam memanajemen waktu.

4. Mengawasi anak dalam menggunakan gadget

Rentannya kerusakan mental anak karena gadget merupakan akibat dari lengahnya orang tua dalam melakukan pengawasan. Namun perlu dicatat, pengawasan orang tua pun bukan seperti pengawas ujian terhadap peserta ujian, yang membuat kenyamanan menjadi terganggu.

Pengawasan anak bisa dilakukan dengan menguping diam-diam, atau dengan cara lain yang membuat anak merasa tidak terlalu diawasi, misalnya terhadap suara-suara yang keluar dari gadget. Jika anak membuka media sosial dan iklan khusus dewasa lewat, maka pada saat itulah orang tua mesti aktif memberi tahu, mengajarkan apa-apa saja yang baik dan tidak baik untuk ditonton. 

Atau kata-kata dalam aktifitas main game online yang tidak sopan dari lawan bermain mereka. Terhadap hal itu, anak mesti dibiasakan mengingatkan temannya akan tidak sepantasnya kata-kata itu. Jika tidak diindahkan, anak mesti diajari untuk mencari teman bermain game yang lain, yang lebih berakhlak.

Di sini, anak tetap merasa bahwa mereka tidak dilarang bermain gadget, namun dalam penggunaannya mesti dilakukan dengan cara-cara yang bertanggung jawab.

5. Sesekali terlibat dalam aktivitas gadget anak

Kebahagiaan terbesar seorang anak apabila ia mendapat perhatian dari orang tuanya secara wajar. Apalagi ketika ia dimintai pendapat, dan ia memberikan buah pikirannya, kemudian ide-idenya dipakai untuk mengambil keputusan.

Maka, sesekali orang tua perlu minta diajari tentang aktivitas anak di gadget. Misalnya jika anak memainkan game, orang tua dengan seolah-olah membutuhkan informasi meminta sang anak turut mengajarinya bermain. Jika perlu, sesekali mabar bersama.

Atau jika anak gemar membuat video konten di Tiktok, orang tua mesti sesekali terlibat membuat konten bersama. Seperti yang pernah dilakukan oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla terhadap cucunya.

Keuntungan dari keterlibatan ini meliputi 3 hal. Pertama, semakin memelihara kedekatan hubungan antara anak dan orang tua. Di mana ini merupakan kunci keberhasilan pendidikan di keluarga;

Kedua, anak merasa aktivitas mereka didukung, mereka merasa diberi kepercayaan, dengan begitu mereka akan terbuka, tidak akan menutup-nutupi aktivitas gadget mereka dari orang tua.

Ketiga, anak merasa orang tua tahu dan update terhadap dunia pergaulan maya mereka, yaitu berasal dari informasi yang mereka berikan sendiri. Suatu saat, jika mereka membutuhkan saran atau solusi dari penggunaan gadget mereka, maka orang tua menjadi tempat konsultasi pertama yang mereka tuju, bukan kepada orang lain.

Dengan demikian, jika semua hal itu terpenuhi, orang tua tidak perlu lagi khawatir memberikan gadget kepada anak. Menjauhkan anak dari gadget bukanlah solusi, itu hanya akan menjauhkan mereka dari realitas dunia terkini.

Alangkah bagusnya jika anak diberi pengertian bahwa beginilah dunia, asalkan orang tua bisa sabar dan cerdas dalam melakukan terhadap anak pendidikan di rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun