Padahal, kata Cak Nun, perut hanya membutuhkan sedikit sekali dari keseluruhan makanan yang kita punya. Jika ruang-ruang di dalam perut sudah terisi dengan sepersekian liter nasi, seonggok lauk pauk, serta segelas air, maka perut berhenti untuk meminta.
Sejatinya, bukan perut yang meminta kebutuhan yang banyak dari kita. Melainkan lidah, yang tidak puas mencecap satu macam rasa. Olehnya itu, Cak Nun--dengan kepiawaiannya dalam menggunakan pelbagai perspektif--menyebut kebutuhan perut seminim standar yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw. di dalam sabdanya:
"Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang."
Sepintas redaksi "sebelum kenyang" itu sepele, tetapi jika direnungkan, sesungguhnya memiliki filosofi yang dalam: manusia tidak akan pernah kenyang, namun tetap saja berharap akan kenyang. Maka harus segera disadarkan, berhentilah sebelum (berharap) kenyang!
Kenyang, sekali lagi, ukurannya bukan di perut, tetapi di lidah, nafsu. Prinsip "sebelum kenyang", sesungguhnya, mengandung perintah untuk segera mengerem tarikan atau dorongan atau godaan atas diri kita untuk mencari kepuasan.
Dan inilah tipsnya, kesehatan keuangan kita ditentukan oleh seberapa sadar dan mampunya kita mengerem godaan untuk kenyang; meraih kepuasan. Selama rem itu berfungsi, selama itu pula manajemen keuangan bisa diatur dengan rapi.
Contoh kongkritnya bisa kita jumpai di bulan ramadan, lapar dan haus membuat kita serba ingin minum yang segar-segar, makan yang enak-enak, sehingga belanja buat buka puasa pun mesti beranekaragam. Padahal yang dibutuhkan perut hanya sedikit, sisanya hanya tarikan nafsu sesaat.
Tidak hanya makanan, pakaian pun demikian. Membeli baju lebaran terkadang standarnya tidak lagi pada fungsional dan tidaknya bagi diri, atau asalkan bisa berbaju baru di hari raya. Tetapi motivasinya sudah berdasarkan nafsu, antara lain demi tuntutan fashion gaya kekinian, yang itu melebihi kemampuan keuangan kita.
Pada saat itu sesungguhnya bukan lagi tubuh yang dibelikan pakaian, melainkan nafsu kita sendiri. Kebutuhan dan keinginan menjadi kabur. Semuanya berpadu dalam anggapan keharusan memiliki segalanya.
Lebih dari soal makanan dan pakaian, terkadang bisnis dan kepunyaan lainnya dijalankan dalam rangka memenuhi nafsu, alih-alih kebutuhan.
Maka sepanjang nafsu yang ingin diberi makan, sepanjang itu pula keuangan kita menjadi bermasalah.