Ada seorang pemuda, marbot, tinggal di Kelurahan Tondo, sekira enam kilometer dari jantung Kota Palu; namanya Karmin.
Sore itu, kira-kira sejam sebelum bencana, entah mengapa si Karmin ingin cepat-cepat ke masjid. Masih pukul lima sore. Jarak antara rumah Karmin dengan masjid sekira selemparan anak panah yang dilepaskan dari busurnya kencang-kencang. Letak masjid di arah timur, agak berbukit.
Kala hendak menyeberangi jalanan menuju ke masjid, tiba-tiba saja serombongan sapi lewat, hampir saja si Karmin kena seruduk. Ia menyerapah, 'Kurangajar! Kalau lewat lihat-lihat dong!' Katanya, kesal kepada sapi-sapi itu.
Sehabis menyapu serta mengelap debu-debu, dan baru saja si Karmin hendak mengumandangkan azan magrib, gempa tektonik berkekuatan 7,4 skala Richter mengguncang Kota Palu. Karmin tidak jadi mengumandangkan azan, ia bergegas pulang untuk menyelamatkan anak dan istrinya.
Karmin membawa diri, anak, dan istrinya berlari ke atas bukit, melewati masjid, ia berusaha mendapatkan titik tertinggi. Soalnya, gempa sekencang itu biasanya disertai tsunami. Belajar dari pengalaman Aceh di tahun 2004--dan benar saja, pantai Teluk Palu memang pada akhirnya disapu tsunami.
Sesampainya di atas bukit, Karmin bertemu dengan rombongan sapi yang tadi hampir menabraknya. Ia kembali menyerapahi sapi-sapi itu:
'Kalian juga ini, kenapa tadi tidak bilang-bilang kalau mau gempa?'
"Hahaha ...." Tawa Muzakkir semakin keras saja. Teman-temannya juga tertawa dengan level yang sama.
"Belum," kata Mas Syam, "masih ada sambungannya ...."
Beberapa hari setelah itu, beberapa ekor sapi masuk ke pekarangan masjid. Rumput-rumput plus bunga-bunga habis digasak hewan-hewan malas itu. Ditambah, kotorannya berhamburan, menebarkan aroma yang sangat tidak mengenakkan.
Pak imam masjid yang tiba belakangan, mengusir sapi-sapi itu.