Cerita ini berasal dari ramadan tahun lalu, 2022 masehi atau 1443 hijriah. Yaitu ketika istri saya menghadapi persalinannya yang kedua. Prediksi bidan, istri saya akan melahirkan malam hari sewaktu diperiksa siangnya di rumah sakit.
Malamnya ketika habis berbuka puasa dan salat magrib, istri saya merasakan sakit yang hebat. Saya kembali membawanya ke rumah sakit, dan kata perawat yang ada di sana, belum waktunya. Nanti jika sakitnya teratur setiap lima atau tiga menit, baru boleh dibawa lagi ke rumah sakit.
Terpaksa kami pulang lagi ke rumah. Saya menghitung frekuensi kontraksi yang dialami istri saya. Begitu hitungan saya sudah mencapai tiap lima menit sekali, segera saya bawa lagi istri saya ke rumah sakit.
Sampai di sana, jawaban yang saya dapati sungguh mengecewakan. Rumah sakit tersebut meminta kami mencari rumah sakit yang lain, padahal mereka janji bakal menangani persalinan istri saya. Saya jadi heran bercampur panik sebab istri sudah dekat-dekatnya melahirkan.
Akhirnya saya diberitahu alasannya: istri saya mengalami Plasenta Previa, yaitu ari-ari menutupi jalan lahir. Kemungkinan terburuknya, bayi tidak dapat tertolong. Terkecuali jika sang bayi mampu menabrak plasentanya dan ia bisa keluar.
Atau menempuh jalan operasi sesar. Tetapi itu bisa dilakukan hanya di pagi hari, sedang waktu masih menunjukkan pukul 23:00 WITA.
Lagipula bukannya tak mau menolong, saya sempat menangkap gelagak keengganan perawat (yang berkonsultasi dengan dokter via sambungan telepon) dalam menangani pasien seperti istri saya, sebab waktu pemeriksaan rutin, istri saya kontrolnya ke dokter yang lain, bukan dokter yang bertugas di rumah sakit itu.
Akhirnya saya putuskan membawa istri saya ke rumah sakit bersalin. Sampai di sana, kami tidak dilayani sebab belum melakukan rapid test antigen. Rumah sakit bersalin itu juga lagi tidak menyediakan alatnya.
Saya coba lagi membawa istri saya ke rumah sakit yang lain, kali itu Rumah Sakit Umum milik pemerintah kota. Sampai di sana istri saya sudah mengalami pendarahan. Begitu perawat memeriksa, lalu berkonsultasi ke dokter yang lagi tidak masuk (via telepon), memberi kami jawaban yang sama dengan rumah sakit yang pertama.
"Pak, sebaiknya ibu dibawa ke rumah sakit tempat dokter yang meng-USG ibu bertugas."
Dan kalau istri saya tetap dirawat, maka mereka hanya akan memasangi infus, belum langsung ditangani, sampai dokter masuk di pagi harinya, dan mungkin langsung menempuh jalan operasi.
Sedang waktu kini menunjukkan pukul 02:00 dinihari. Istri saya sudah kesakitan, darah terus mengucur. Akhirnya saya putuskan, meski agak jauh, menuju ke rumah sakit yang disarankan, yaitu Rumah Sakit Samaritan.
Sampai di sana, istri saya langsung ditangani oleh seorang perawat bertubuh kecil, ramping, berjilbab, dan lincah. Ia dengan cepat memeriksa keadaan istri saya, bertanya, lalu menyuruh istirahat.
Saya juga mendengar ia menelpon dokter yang kerap kami datangi untuk kontrol kandungan. Dan saran dari dokter kepada perawat itu, ditangani saja dulu, jika memang tidak bisa, maka paginya dokter itu sendiri yang akan melakukan operasi sesar.
Pukul 03.00 dinihari, tatkala masjid terdekat memperdengarkan seruan untuk bangun sahur, istri saya mulai mengejan sangat teratur tiap semenit sekali. Dua orang perawat berjilbab, dan satu lagi tidak berjilbab, mempersiapkan proses kelahiran.
Di sinilah momen menegangkan bagi saya yang mendampingi istri menghadapi persalinannya. Proses persalinan pun dimulai. Perawat menginstruksikan istri saya untuk mendorong. Ikuti rasa sakit dan mengejan kuat-kuat.
Namun beberapa kali mencoba, tetap saja gagal. Bayi belum bisa dikeluarkan, masih ada bagian dari plasenta yang agak menghalangi pundak bayi sehingga belum bisa lahir.
Pukul 04:00 atau sejam lamanya mencoba mendorong bayi keluar, akhirnya istri saya kelelahan. Perawat menyarankan ia memiringkan badan ke kiri. Air mata saya menitik ketika sang perawat memberitahu istri saya:
"Ibu, usahakan kuat mendorong, ya? Kalau tidak, nanti bayinya tidak menangis. Usahakan adik ini bisa lahir sebelum jam 6."
Istri saya hanya bisa menahan sakit, saya mematung di sampingnya. Dua perawat berjilbab pamit sebentar untuk makan sahur. Satu perawat lainnya, yang tak berjilbab, duduk menunggui istri saya, mengamati jika proses persalinan sudah boleh dilanjutkan.
Istri saya pun menyuruh saya untuk bersahur. Waktu itu hanya ada biskuit gabin dan beberapa butir kurma. Suasana hati saya sangat tidak mendukung, tidak ada selera karena perasaan masih tegang. Tetapi akhirnya saya memampukan diri, sebiji kurma dan sepotong biskuit akhirnya saya lahap bersama beberapa teguk air mineral.
Pengumuman terdengar lagi dari corong pengeras suara masjid, waktu imsak telah masuk. Masih menunggu sampai selesai azan subuh sebelum dua perawat tadi masuk kembali untuk melanjutkan proses persalinan.
Istri saya kembali mengejan, mendorong sekuat yang ia mampu, beberapa kali, lagi dan lagi. Tetap saja gagal. Salah satu perawat gemas dan tak tahan akhirnya bersuara tinggi, "Ibu! Dorong!"Â ia hampir putus asa.
Entah energi datang dari mana, dorongan yang terakhir kuat sekali. Ketiga perawat bersamaan berteriak, "Ya, ya, ya ...!" dan bagai meluncur dengan derasnya, bayi kami lahir, tangisannya yang keras disambut pekikan alhamdulillah oleh kedua perawat yang berjilbab.
"Wah, laki-laki, berarti namanya Muhammad Ramadan." Kata salah seorang di antaranya.
Ia lahir tepat pukul 6 lewat 10, dengan panjang 49 cm dan berat 3,15 kg. Suatu keajaiban, sebab kata perawat jika sampai jam 6 anak ini belum lahir, ia tak akan menangis. Nyatanya Allah memberi bonus hingga lewat 10 menit. Rasa syukur yang tak terhingga saya haturkan atas karunia ini.
Saya kemudian diminta mengisi formulir, yang salah satu kolomnya memuat nama bayi.
"Tirto Medan Priyayi Ihsan".
Nama itu akhirnya menjadi nama bayi laki-laki kami. Terinspirasi dari seorang pahlawan nasional, Tirto Adhi Soerjo, pendiri media "Medan Prijaji" yang kami kagumi pribadinya.
Dua hari berikutnya, kami diperbolehkan pulang. Kami merasa waktu di rumah sakit berlalu begitu cepat seusai anak kami lahir. Tidak lain karena pelayanan rumah sakit itu adalah pelayanan yang terbaik yang pernah kami alami.
Serta kamar rawat inapnya yang rapi, bersih, serta diawasi secara ketat dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Petugasnya ramah-ramah, mulai dari cleaning service, pengantar makanan, perawat, hingga dokternya, berbicara dengan mereka sangat menyenangkan.
Momen kelahiran anak kami yang kedua itu memang sangat membekas. Terutama bagi saya, yang malam itu begitu paniknya. Di masjid terdengar imam memimpin salat tarawih, sedang saya dalam keadaan berkeringat dingin membawa-bawa istri saya yang kesakitan, lalu ditolak oleh beberapa rumah sakit.
Padahal, istri saya sedang membutuhkan pertolongan, dan kami akan membayar. Tetapi kadangkala manusia terlalu tunduk pada sistem, individualisme, sehingga lupa kalau menolong sesama manusia hukumnya wajib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H