Kericuhan bukan hanya soal faktor pertandingan sepakbolanya. Tetapi juga kualitas manusia-manusianya. Maka perlu adanya upaya pembinaan SDM. Setiap klub atau tim sepakbola mesti dimintai komitmen menjaga ketertiban timnya. Juga komitmen itu terhadap para pemain atas suporternya.
3. Menjernihkan Proporsi antara Politik dan Olahraga
Menyatakan bahwa harus memisahkan politik dengan olahraga sebenarnya merupakan pernyataan yang berbahaya. Apakah olahraga benar-benar bisa dipisahkan dari politik?
Tahun 1942 dan tahun 1946 piala dunia batal digelar, sebab berkecamuknya perang dunia. Ini merupakan bukti bahwa politik dengan pelbagai arah kebijakan dan situasinya dapat memengaruhi jalannya even olahraga.
Menpora juga perlu menafsirkan haluan kebijakan negara. Kaitannya dengan insiden penolakan timnas Israel U-20, bukan semata karena kepentingan politik parsial, tetapi itu merupakan garis kebijakan politik luar negeri.
Jika memang wujud membela Palestina tidak harus menolak timnas Israel, maka penjernihan inilah yang perlu. Menpora perlu aktif mengampanyekan wacana yang lebih moderat.
Sebab menyerukan pemisahan antara politik dan olahraga, berpotensi menimbulkan lupa sejarah bagi masyarakat kita.
Ingatlah bahwa dahulu Presiden Soekarno beberapa kali menolak keikutsertaan Israel baik di even-even olahraga maupun di forum internasional.
Penolakan itu bukannya atas dasar sentimen pribadi, tetapi arah kebijakan, serta ideologi negara tidak cocok dengan kebijakan politik Israel terhadap Palestina.
Membela Palestina pun bukan semata karena rasa empati, tetapi memang kutipan pembukaan undang-undang yang menyerukan "... penjajahan di atas dunia harus dihapuskan."
Semoga dengan menuntaskan ketiga hal ini, kepercayaan FIFA terhadap Indonesia bisa kembali, dan Indonesia kembali ditunjuk sebagai tuan rumah piala dunia baik U-20, ataupun U-17.