Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

5 Keseruan Ramadan di Masa Kecilku

2 April 2023   12:53 Diperbarui: 2 April 2023   13:17 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa kecil adalah masa yang penuh imajinasi, penuh petualangan, coba-coba, dan penuh kegembiraan. Layaknya anak-anak kampung pada umunya, masa kecilku tidak hanya habis di sekolah, di luar sekolah bahkan merupakan pengalaman yang lebih panjang.

Dulu jam sekolah tidak seharian seperti sekarang. Apalagi semenjak SD, bangun pagi-pagi dan harus sudah berada di sekolah sebelum jam 07:00. Sebab di hari senin upacara bendera mulai di jam itu, dan di hari lain apel pagi mulai jam 07:15.

Sejak pagi-pagi sekali kepala sekolah akan menunggu di depan pagar dengan mistar kayunya yang panjang. Jika terlambat maka merahlah betisku, dan setelah itu kadang aku disuruh mencabut rumput.

Begitu sekolah bubar pukul 12:00, di situlah petualangan sesungguhnya dimulai. Mulai bersepeda lintas desa bersama kawan-kawan, berburu durian, mandi di sungai, bermain bola, atau bermain kelereng, lalu sore harinya mengaji ke rumah Encik Hadirah. Mengaji pun kebanyakan bermainnya hingga tak jarang kena gesper. Semua itu merupakan masa indah yang tak tergantikan.

Demikianlah serunya hidupku di masa kecil, terlebih jika datang bulan ramadan. Bagiku, bulan itu bukan hanya bulan latihan, tetapi juga bulan keseruan, bulan pengalaman, dan bulan prestasi.

Setelah kuingat-ingat, ada 5 keseruan ramadan yang kurasa di masa kecilku:

1. Belajar Berpuasa Setengah Hari

Di dalam Islam, tidak ada ketentuan puasa boleh setengah hari, untuk anak-anak sekalipun. Puasa setengah hari diserukan orang tua ke anaknya semata dengan maksud melatihnya berpuasa sejak dini, sebelum kewajiban puasa benar-benar dibebankan kepadanya.

Bisa puasa setengah hari saja sudah senang. Mulai dibangunkan untuk bersahur, dalam perasaan kantuk yang cukup hebat, hingga menunggu waktu berbuka jam 12:00, lapar dan haus sudah amat terasa. Rasa senang tiba, yaitu ketika puasa sudah sampai setengah hari.

Waktu itu aku belum tahu semua aturan-aturan puasa, yang kutahu puasa harus bisa menahan lapar dan haus. Pada orang dewasa seharian penuh dan pada anak-anak cukup setengah hari.

Bahkan belum tahu kalau makan dan minum karena lupa tidak membatalkan puasa, dan begitulah, ketika lagi sadar sedang ngemil, anggapanku puasa sudah batal.

Padahal kalau tahu aturannya, cukup membuang makanan yang ada di dalam mulut lalu membersihkannya, setelah itu puasa tetap sah diteruskan (sampai setengah hari).

Terbiasa puasa setengah hari, lama kelamaan puasaku bisa sampai sehari penuh, meski tetap saja diselingi dengan puasa setengah hari. Salah satu motivasi agar lebih banyak mengupayakan puasa tembus satu hari adalah membagi cerita berpuasa sehari ke teman-teman. Semacam kebanggan jika ceritaku lebih seru, dan puasaku lebih banyak dari teman-temanku.

2. Mengisi Buku Catatan Ramadan

Bila bulan ramadan tiba, guru agama menugaskan untuk mencatat kegiatan ramadan selama sebulan ke dalam sebuah buku. Guru menggambar formatnya di papan tulis berupa tabel isian nama kegiatan; waktu; jika salat atau tausiyah ramadan, nama imam dan penceramah dicatat dan parafnya diminta.

Kami tinggal mengikuti format itu dan menuliskannya di buku catatan kami masing-masing. Kalau sudah begitu, selain buku dan pensil, disiapkan pula mistar untuk menggaris, jangan sampai kolomya miring atau bengkok.

Padahal formatnya sudah jelas, tetapi tetap saja membingungkan di kemudian hari jika menemui keadaan ini: beda imam salat isya, tarawih, dan witir. Biasanya setiap berapa rakaat salat tarawih, imamnya bergantian. Jadi, yang manakah namanya ditaruh di kolom untuk dimintai paraf?

Atau pada saat jadwalnya tausiyah ramadan, namun penceramahnya tidak ada. Hanya pengurus masjid yang menyampaikan himbauan panjang lebar, kadangkala disertai pula dengan mengutip ayat Al-Qur'an. Apakah itu akan dimasukkan di kolom tausiyah ramadan, lalu yang menyampaikan dicatat sebagai penceramah dan dimintai parafnya?

Maka di saat itulah buku catatan ramadhan menjadi kotor. Kolomnya ditambahi garis supaya muat dua nama, misalnya. Kesalahan penulisan dihapus pakai karet sampai kotor, menghitam. Atau pakai tipe-x jika menggunakan balpoin.

Tetapi serunya, terletak di momen ketika salat berjamaah selesai, maka aku dan teman-teman langsung bersiap menyergap pak imam dan penceramah, mereka kami kepung dan kami todongkan buku catatan ramadhan untuk diparaf.

Tak ubahnya sejumlah fans mengerubuti artis favoritnya, sesak, berdesak-desakan, dan berimpit-impitan. Sesekali sang artis tertawa melihat penulisan namanya yang keliru, lalu ia akan segera mengoreksi dan diikuti oleh gelak tawa kami.

Gara-gara buku catatan ramadan itu, aku jadi rajin salat berjamaah lima waktu di masjid. Sebab jika tidak, buku catatan ramadhan tidak terisi, lalu hukuman dari guru agama menanti.

Apalah arti motivasi beramal bagi anak-anak, demi keikhlasan kah, atau karena takut dihukum guru kah? Semuanya sah-sah saja, yang terpenting adalah aspek latihannya.

Juga persepsi tentang hukuman guru, tidak seperti sekarang yang apa-apa hukuman guru harus berhadapan dengan HAM. Dulu, guru adalah sumber ilmu dan karenanya guru adalah sumber kebenaran. Tak ada yang berani memprotes guru. Bahkan hukuman guru bisa berlanjut menjadi hukuman orang tua.

3. Ikut Lomba Kegiatan Ramadan

Sewaktu kecil, aku rajin mengikuti lomba kegiatan ramadan untuk anak-anak. Cabang lomba yang ku ikuti dan selalu mendapat juara 1 adalah lomba peragaan busana muslim.

Aku tak begitu beruntung di lomba azan, karena cengkok yang buruk dan pengaturan napas yang payah. Walhasil selain fals, napas terputus, dan salah sambung lafal azan.

Hal yang membuat heran orang-orang, dan juga orang tuaku sendiri, aku tak pernah mau ikut lomba kultum (kuliah tujuh menit), padahal ayahku seorang da'i kondang di kampung. Aku mulai belajar memberi tausiyah nanti umur sudah remaja.

Aku menjadi langganan pemenang lomba peragaan busana muslim di setiap even ramadhan di kampungku, kuingat, sebab bajuku unik. Baju itu namanya "baju Selangor". Modelnya seperti baju yang dikenakan Upin & Ipin di momen lebaran. Pamanku yang menjahitkan baju itu, ia pernah tinggal lama di Malaysia.

Berulangkali dewan juri bertanya, baju itu dibeli di mana? Kujawab saja bahwa pamanku yang buatkan. Baju Selangorku ada beberapa pasang, ada yang dipakai khusus lomba dan ada yang khusus lebaran.

Hadiah lomba pun cukup memuaskan, buku beberapa eksemplar dan balpoin dan sejumlah uang di amplop. Jenis hadiahnya sesungguhnya tidak begitu penting, yang terpenting dapat hadiahnya, itu sudah mendatangkan kesenangan tersendiri bagiku.

4. Berburu Durian dan Mandi di Sungai

Kuingat-ingat, bulan ramadan di kampungku selalu bertepatan dengan musim durian. Tidak jauh dari kompleks masjid, masuk ke lorong pasar tua yang sudah agak berhutan, di situlah pohon-pohon durian itu mengeluarkan buah yang aromanya menghipnotis.

Ayahku patungan dengan Kepala KUA membeli satu kebun di antaranya, dan kami anak-anaknya ditugasi menunggui pohon-pohon durian itu jika lagi musim nya berbuah. Bukan untuk dijual, hanya untuk dinikmati dan dibagikan ke tetangga.

Tetapi mereka berdua--ayahku dan pak KUA--tidak memasang pagar di lokasi durian itu. Tidak seperti orang lain yang memagari kebunnya. Siapa saja yang lewat, selama tidak ditunggui, bebas mengambil buahnya yang jatuh.

Maka di malam-malam tarawih, usai 8 rakaat, aku segera bergabung dengan teman-teman berburu durian. Sambil dengar-dengar suara imam di masjid melalui pengeras suara. Jika sudah berdoa, berarti 20 rakaat plus witir pun selesai. Waktunya berlari masuk masjid menyerbu pak imam dan pak ustaz untuk mengisi buku catatan ramadan dengan parafnya.

Serunya berburu durian di malam hari ditambah kejahilan khas anak-anak. Terkadang melempari rumah penjaga kebun, atau mencuri durian milik tetangga kebun, pas kepergok langsung lari.

Siang harinya, sambil ngabuburit, menuggui durian tak lengkap tanpa mandi-mandi di sungai dekat kebun durian itu. Aku beserta teman-temanku melampiaskan rasa gerah dengan menceburkan diri ke sungai hingga berjam-jam. Sampai mata merah dan jari tangan kaki sudah pucat.

Sesekali menelan air sungai tak dapat terhindarkan, tapi itu kan tidak sengaja, hihihi. Namanya juga anak-anak, puasa tetap lanjut.

5. Bermain Petasan dan Meriam Bambu

Dulu, sepertinya tak ada anak-anak yang tak hapal jenis-jenis petasan. Karena petasan memang adalah jenis mainan utama anak-anak di bulan ramadan. Mulai petasan rica-rica (istilah di kampungku untuk menyebut petasan kecil seukuran cabe rawit), petasan gasing, petasan roket, petasan busi, petasan banting ... hingga petasan segitiga.

Yang terakhir disebutkan, petasan segitiga, bunyi letupannya minta ampun kerasnya. Pekak telinga rasanya. Bayangkan saja di siang bolong, lagi sepi-sepinya suasana kampung, lalu petasan segitiga meletup membangunkan orang-orang yang lagi tidur siang. Kebayang bagaimana murkanya orang-orang itu. Pengalaman diteriaki, dimarahi, dimaki akibat main petasan, bagiku merupakan kesenangan tersendiri jika dikenangkan bersama kawan-kawan.

Lebih seru lagi bermain meriam bambu. Bambu besar dipotong seukuran satu hingga satu setengah meter. Dilubangi ruas-ruasnya, lalu dibuat pula lubang tempat mengisi minyak tanah sekaligus lubang tempat membakar meriam itu.

Sebelum digunakan, meriam dipanaskan lebih dulu di bagian bawahnya, untuk mendapatkan bunyi letupan yang cetar menggelegar. Tetapi harus hati-hati, jika tak segera menjauhkan wajah saat membakar meriam, luapan api bisa membakar pipi.

Adikku pernah mengalaminya, terbakar pipinya gegara bermain meriam bambu. Ia meniup lubang minyak tanah supaya asapnya keluar dan siap diletupkan lagi. Malang, belum sempat ia menjauhkan muka, temannya datang menyodorkan api ke lubang minyak tanah itu. Dan akhirnya, pipi itu dijilat api sampai terkelupas.

Keseruan memainkan meriam bambu terletak pada saling balas membalas. Letupan besar akan dibanggakan, sedang letupan kecil akan ditertawai. Begitu seterusnya hingga ngabuburit menjadi menyenangkan, dan waktu berbuka puasa tak terasa semakin mendekat.

Itulah 5 keseruan di bulan ramadan yang ku alami di masa kecilku. Semuanya menyenangkan, untuk ukuran anak yang tinggal di desa. Belum mengenal gawai dan game daring. Juga belum mengenal apa perlunya bikin konten sebanyak-banyaknya di medsos, juga apa pentingnya mendapat banyak followers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun