"Maqam tertinggi seni adalah antik." celetuk musisi papan atas Indonesia, Ahmad Dhani, sewaktu Jelly Tobing bersama Deddy Corbuzier mengunjunginya, di kediamannya yang bak istana itu. Deddy--dan tentunya juga saya--terkesima berkali-kali melihat koleksi Ahmad Dhani yang beragam itu. Ia hanya bisa berkata, "Tidak masuk akal!"
Sebagai seorang musisi, wajar kalau leader Dewa 19 itu mengoleksi kaset-kaset, piringan hitam, hingga penyimpanan suara dalam bentuk yang lebih baru. Juga alat-alat musik, studio, dan aneka lukisan tentang para musisi yang sudah melegenda.Â
Mengenai kaset-kaset itu, memang benar jika tak masuk akal. Benda itu dijejer di beberapa lemari secara alfabetikal (dari A - Z). Bukan hanya itu, album apa yang ditanyakan kepadanya segera saja dijawab "ada", lalu menunjukkan letak kaset itu. Salah satunya yang bukan saja tak lagi ada di pasaran, melainkan rumah produksinya tak lagi ada, adalah "Remember Mo", album yang rilis di tahun 1980 yang diinisiasi oleh De Lane Brothers asal Belanda itu.
Namun yang tidak wajar, dan inilah yang menurut saya Dhani itu pas jika dijuluki sesuai celetukannya yang sudah saya tampilkan di atas, maqam tertinggi seni adalah antik, maqam tertinggi seorang seniman adalah memiliki banyak koleksi antik; dia juga punya banyak koleksi barang antik. Andre Taulany, masih memasuki lantai dasar rumah Ahmad Dhani saja sudah geleng-geleng kepala. Lemari berjejer-jejer memuat aneka barang pecah-belah antik; guci-guci, piring, gelas, teko, dan lain-lain.
Lainnya, berjejer lukisan pelbagai tokoh politik. Terutama Soekarno. Dhani bukan hanya punya fotonya dan lukisannya dan posternya dan patungnya, tetapi juga buku-buku yang ditulis Soekarno, serta buku-buku tentang Soekarno.Â
Oleh beberapa yang menyaksikan koleksi Soekarno-nya, Dhani kerap disebut Soekarnois. Ditambah lagi dengan aksinya yang belakangan terang-terangan masuk ke gelanggang percaturan politik nasional. Hingga ia pernah dijebloskan ke dalam penjara, gara-gara cuitannya di medsos, soal politik.
Setelah Soekarno, menyusul sebuah poster besar pemimpin agung Revolusi Islam Iran, Ayatullah Imam Khomeini. Adanya poster Khomeini tidaklah lantas serta merta Dhani menjadi Syiah, juga ia tak pernah dituding sebagai penganut Syiah. Dhani adalah salah satu contoh orang yang mampu memisahkan antara tokoh sebagai subjek, dengan identitas sebagai predikat yang disematkan. Ia seolah tidak peduli bagaimana Syiah di mata orang-orang, sehingga ia menaruh poster besar pemimpin agung penganut Syiah itu. Ia hanya peduli bahwa Imam Khomeini adalah tokoh penting dalam sejarah.
Demikianlah jika seorang tokoh beserta identitasnya jika dilihat menggunakan pendekatan keilmuan. Bukan kultus agung. Dhani melihat Khomeini berdasarkan wawasannya, bukan sentimennya. Ia melihat Khomeini sebagai martir yang menggerakkan revolusi, dan bukan sebagai seorang ahli fikih yang wajib diikuti fikihnya.
Ngomong-ngomong soal Khomeini, Dhani sampai mendapatkan koleksi novel terlarang Salman Rushdie Satanic Verses, novel yang disebut telah menghina Nabi Muhammad saw., dalam versi bahasa Inggris. Dhani tahu ceritanya. Rushdie difatwa mati oleh Imam Khomeini lantaran novelnya itu.
Cerita ini sesungguhnya menarik, Khomeini yang Syiah itu dengan tegas memfatwa mati seseorang yang telah dinilai menghina Nabi Muhammad saw., waima dalam bentuk cerita fiksi. Bandingkan dengan pemimpin "negara-negara Islam" dewasa ini yang tak kunjung memfatwa mati pembuat karikatur nista Nabi Muhammad saw. yang jelas-jelas maksud dan kemasannya bukanlah tokoh fiksi.