Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (4): Umat Islam vs Umat Islam; Berkaca pada Varian Muslim Tanpa Masjid

28 Maret 2023   13:56 Diperbarui: 28 Maret 2023   14:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: ircisod.com


Anies Baswedan dianggap menggunakan politik identitas demi hasrat politiknya. Lantaran itu, timbul sesat pikir di kalangan sementara pendukung pemerintah. Antara lain jika Anies terpilih, maka hukum syariat akan ditegakkan, negara Islam akan berupaya didirikan, serta kelompok-kelompok fundamentalis akan semakin menguat dan kehidupan toleransi dan pluralisme akan terancam.

Bahkan ada yang berupaya menggiring ke wilayah ras. Bahwa Anies itu Arab secara keturunan, maka secara otomatis Indonesia dalam ideal Anies adalah Arab-Islam. Serta tak jarang pelbagai kebiasaan buruk orang Arab turut dilekatkan kepada Anies. Semua itu bisa dengan mudah kita temukan di media sosial twitter.

Itu semua sesat pikir. Pertama, Anies secara keturunan boleh saja punya kakek buyut orang Arab. Tetapi ingat, kakek Anies bukan saja orang Indonesia, bahka ia termasuk salah satu pahlawan Nasional, sudah itu masuk di dalam keanggotaan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) lagi. Tetapi bisa dimaklumi, pelaku produksi wacana sembrono seperti itu tentu bukan orang yang terbiasa membaca, apalagi membaca sejarah. Atau pemahamannya digunakan di jalan yang salah.

Kedua, ketika "umat Islam" menjatuhkan dukungan kepada Anies, maka "umat Islam" itu sendiri mesti dipilah-pilah lagi. Sebab, ada ragam organisasi Islam. Setiap ormas Islam punya tujuan, visi, misi, tradisi, dan manhajnya sendiri-sendiri yang antara satu dengan yang lainnya berbeda. Bahkan dalam satu organisasi saja, ketidaksetujuan bisa melahirkan kelompok-kelompok kecil non-formal. Contohnya di dalam tubuh NU ada lagi NU Garis Lurus, lalu adapula yang garis lucu, dan lain sebagainya.

Itu wajar-wajar saja. Buya Syafii Maarif bahkan dalam tanggapan balik terhadap tanggapan atas pidatonya di NMMC mengatakan bahwa yang Islam pun masih berbeda-beda soal selera dan sikap dan pilihan politiknya. Ini menunjukkan bahwa "umat Islam" itu juga plural, tidak bisa dipukul rata. Mungkin di dalamnya ada yang punya tujuan mendirikan negara Islam, tetapi tidak bisa asumsi itu dipakai untuk menjustifikasi semuanya.

Salah satu contohnya Persaudaraan Alumni (PA) 212. Frasa "persaudaraan" itu menyiratkan ragamnya elemen gerakan Islam disatukan dalam persaudaraan. Walaupun gerakan itu atas komando Imam Besar Habib Rizieq Shihab, nyatanya aksi 212 itu bukan semata FPI. Kita tahu saat awal munculnya gerakan 212, ulama-ulama yang tidak tergabung di dalam FPI pun turut hadir memperkuat gerakan itu.

Membicarakan aksi 212 di sini sekadar dalam rangka mencontohkan bagaimana kekuatan Islam ketika mendukung salah satu capres tidaklah tunggal. Ada banyak kelompok atau organisasi di dalamnya. Bukannya bermaksud menunjukkan dukungan kepada gerakan itu.

Lagipula adanya kekhawatiran Anies akan didukung oleh kelompok radikal tertepis dengan sendirinya pada saat kemarin, sekitar tanggal 4 - 5 oktober, dari pihak PA 212 menyatakan tidak mendukung Anies sebagai capres 2024. Soalnya Anies diusung oleh Nasdem, partai yang punya sejarah kelam dengan mereka.

Soal pluralnya kelompok "umat Islam", Kuntowijoyo menuliskannya dalam sebuah esai yang kemudian menjadi judul bukunya, "Muslim Tanpa Masjid". Esai itu menunjukkan adanya kelompok Islam yang lain berhadapan dengan Islam mainstream, bahkan dengan siapapun. Mereka adalah kelompok mahasiswa yang bersujud syukur (yang berarti mereka juga muslim) di gedung DPR/MPR RI sewaktu Presiden Soeharto resmi dinyatakan mundur dari jabatannya.

Namun sujud syukur itu rupanya bukan penanda akhir dari perjuangan, naiknya Habibie menggantikan Soeharto memaksa mahasiswa ini berhadap-hadapan dengan "umat Islam". Habibie itu ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), ia didukung oleh Kongres Umat Islam (KUI). Logika yang berlaku saat itu: sesiapa yang menentang keputusan KUI berarti bukan bagian dari "umat Islam".

Praktis saja, mahasiswa Islam tadi itu melakukan aksi demonstrasi pada 22 Mei 1998 (sehari setelah Soeharto lengser) menyatakan menolak Habibie sebagai Presiden, serta menolak Sidang Istimewa (SI) MPR yang akan memutuskan antara lain bahwa Pemilu 1999 mesti dipercepat.

SI MPR akhirnya digelar pada 10 - 14 november 1998. Sebelumnya, KUI diselenggarakan tujuh sampai tiga hari menjelang SI. Pada saat SI digelar, Pam Swakarsa (pasukan pengamanan sipil bersenjata tajam yang dibentuk oleh TNI) yang kata Kuntowijoyo berisi muslim yang taat itu, akhirnya bentrok dengan mahasiswa, kejadian itu dikenal dengan peristiwa Semanggi.

Menariknya, Pam Swakarsa berteriak di depan aparat bahwa mereka para mahasiswa itu bukan orang Islam. Sebab mereka berani melanggar keputusan yang dibuat oleh KUI. Bayangkan, tidak sejalan dengan KUI dijadikan penanda bukan Islam, padahal mereka juga muslim.

Selanjutnya, tanggal 27 november 1998, mahasiswa rencananya menggelar aksi besar-besaran. Tetapi MUI menghimbau agar jangan membuat kegaduhan di bulan suci ramadan. Akhirnya rencana demo itu dialihkan menjadi rencana salat tarawih berjamaah serta memperingati malam ke-40 korban peristiwa Semanggi, yang pada akhirnya pun batal dilaksanakan. Mahasiswa yang juga umat Islam itu pada akhirnya mengalah demi umat Islam yang lebih besar.

Fenomena ini bisa kita sebut dengan "umat Islam" vs "umat Islam". Antara mahasiswa Islam dengan orang-orang Islam yang sejalan dengan KUI dan mereka yang mendukung Habibie karena faktor ICMI atau karena Habibie ikon umat Islam.

Mengapa mahasiswa yang Islam itu menolak Habibie yang dianggap mewakili suara "umat Islam"? Sebab yang dilihat bukan karena kesamaan identitas. Jangan mentang-mentang Habibie itu ICMI dan didukung oleh KUI lantas dia wajib didukung oleh seluruh umat Islam (tanpa tanda kutip).

Mahasiswa melihat Habibie biar bagaimanapun adalah murid politik Soeharto, dia adalah warisan Orde Baru yang tentu masih akan memelihara tradisi politik Orde Baru. Serta jika SI MPR diterima, pemilu merupakan bentuk ketidakberdayaan mahasiswa.

Pemilu mengharuskan mahasiswa pasrah menerima kenyataan atas nama demokrasi, tuntutan yang mereka inginkan selama ini pupus sampai di situ saja. Lagipula, siapa yang akan percaya pada pemilu yang masih dalam suasana Orba? Menolak Habibie saja mereka sulit, apalagi jika pemilu 1999 ternyata masih mirip dengan pemilu yang selalu dimenangkan Soeharto, yang penuh rekayasa itu, dapatkah mereka tolak?

Oleh Kuntowijoyo, mahasiswa tadi disebut "Muslim Tanpa Masjid". Masjid di samping tempat muslim melaksanakan salat, juga merupakan institusi tempat menimba ilmu agama. Utamanya jika masjid rutin melaksanakan pengajian yang diisi oleh ustad-ustad.

Masjid juga representasi jamaah, sebuah penanda identitas. Ormas juga punya masjid. Atau minimal masjid kampus yang aktif melakukan pengajian lalu melahirkan sejumlah tokoh Islam, seperti Masjid Salman ITB atau Masjid Salahuddin UGM.

Masjid juga bisa berarti madrasah atau pesantren. Tempat seorang muslim belajar agama dengan baik.

Muslim tanpa masjid lain, mereka bukan berasal dari masjid mana. Tidak terakomodir menjadi anggota ormas mana. Mereka yang berkembang jatidirinya menjadi seorang muslim melalui bacaan-bacaan--kata Kuntowijoyo (plus) lewat kaset-kaset serta sumber-sumber anonim lainnya.

Mereka memahami Islam yang bukan sekadar ritual peribadatan. Islam harus mendorong terjadinya keadilan sosial, serta berupaya untuk mengakhiri segala ketimpangan sosial. Fokus mereka bukan bagaimana tata cara wudhu dan salat yang benar. Tetapi soal penindasan, diskriminasi, eksploitasi, neoliberalisme, malpraktik kekuasaan, serta perbaikan nasib bangsa.

***

Demikian juga dalam kasus mendukung Anies di tahun 2024. Boleh-boleh saja jika "umat Islam" memilih Anies karena merasa Anies adalah representasi "umat Islam". Sah-sah saja memilih Anies karena sentimen keagamaan. Negara demokrasi hanya memfasilitasi menggunakan hak pilih, tetapi tidak ada larangan soal motif memilih. Intervensi motif berarti juga intervensi kebebasan memilih, dan itu tidak demokratis.

Inilah yang pantas disebut politik identitas, fokus utamanya karena identitas Islam itu, yang belakangan ini merasa didiskreditkan oleh pihak yang berkuasa sekarang. Apa bedanya misalnya memilih Jokowi karena ia dari kelompok nasionalis atau marhaenis, bukan karena ia memiliki kompetensi dalam memimpin negara.

Lain hal kalau memilih Anies utama karena kompetensinya, yang kebetulan ia adalah orang Islam. Identitas Islam di sini dijadikan hal yang sekunder. Baru bisa disebut motif yang rasional. Tetapi, sekali lagi, dalam dunia demokrasi motif apapun sah-sah saja selama tidak menimbulkan huru-hara.

Mari kita melihat tanggapan Budiman Sudjatmiko atas orasi Buya Syafii Maarif di NMMC (dalam tulisan sebelumnya), ia menyebut politik identitas sebagai politik aliran. Namun tidak khas Islam. Bisa ras, bisa suku, bisa ideologi tertentu. Semua itu menjadi politik identitas jika ada perasaan tertindas dan menunjukkannya ke publik sebagai kondisi objektif hari ini. Lalu atas dasar itu, identitas yang tertindas dijadikan bahan untuk meraup suara di pemilu.

Fenomena saat ini di Indonesia, ada perasaan tertindas bagi mereka yang tak suka gerakan "umat Islam". Rasa ketertindasan itu bukan soal ekonomi, tapi berupa ancaman kekhawatiran, yang sesungguhnya rasa itu hanya berkutat sekitar ranah psikologis.

"Umat Islam" itu warna, kehadirannya mengancam yang "netral". Mungkin beginilah pola pikir penuduh Anies sebagai bapak politik identitas itu. Politik identitas berati politik warna, sedang yang netral (tanpa baju agama) adalah politik yang murni. Padahal netral bagaimana pun juga adalah warna, yang bisa dibedakan dengan warna Islam.

Tetapi kita semua sudah tahu, kalau tuduhan politik identitas itu hanyalah sebuah manuver politik. Stigma harus tetap diberikan demi mempengaruhi opini publik. Adapun netral, nasionalis, anti-politik identitas, itu adalah produksi wacana demi memenangkan kontestasi.

Pada akhirnya, apapun identitasnya, yang terburuk dari semua itu adalah malpraktik kekuasaan. Bagi pemimpin, atau bagi kepala negara, tidak usah dulu mengurusi apa agamanya, apa latarnya identitas politiknya. Yang penting adalah bagaimana dia menjalankan pemerintahan, kebijakannya merugikan rakyat dan negara atau tidak? Serta mampu menghadirkan rasa tentram bagi rakyatnya.

***

Judul buku: Muslim Tanpa Masjid
Penulis: Kuntowijoyo
Penerbit: IRCiSod
Tahun: Cet. I, 2018
Tebal: viii + 452 halaman
ISBN: 978-602-7696-53-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun