Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (3): Ethnie Nationalism dan Varian 'Umat Islam'

26 Maret 2023   23:29 Diperbarui: 26 Maret 2023   23:35 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: komunitasbambu.id

Kalau Anies dikatakan tokoh politik identitas, maka siapa tokoh politik yang bukan politik identitas? Dari orasi ilmiah Buya Syafii Maarif di Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) yang kemudian disunting jadi buku itu, kita bisa menyimpulkan bahwa politik identitas itu niscaya, lagipula positif saja dalam dunia politik kita.

Hanya saja belakangan politik identitas, apalagi dengan background Islam, selalu diframing negatif. Utamanya karena keberadaan kelompok-kelompok progresif, yang dinilai sebagai radikalis atau intoleran itu, juga turut hadir menghiasi blantika politik Indonesia.

Dalam beberapa kasus, kehadiran kelompok-kelompok radikal cukup mengganggu, tetapi dalam musim konstalasi politik menjelang pemilu, isu kelompok fundamentalis selalu dimainkan. Misalnya di pilpres 2019, karena kelompok-kelompok Islam progresif berada di barisan pendukung Prabowo Subianto, maka mereka diindentifikasi tunggal sebagai kadrun (kadal gurun)--itu juga karena mereka kerap menyebut barisan pendukung Jokowi sebagai cebong. Pun sebaliknya.

Mestinya Prabowo lah yang paling cocok disebut bapak politik identitas. Ia bukan lagi hanya dekat dengan kelompok-kelompok Islam, malahan kekuatan Islam selalu ditampilkan berada di belakangnya untuk memback-up. Jelas sekali, istilah ijtima' ulama dan restu "umat Islam" yang memilih Prabowo, menjadi dua penanda kuat akan politik identitas itu.

Belum lagi jika melihat kelompok progresif yang dinilai sebagai fundamentalis semacam FPI maupun eksponen PA 212, yang menyumbang kekuatan utama pada kubu Prabowo. Anies belum tentu punya backing-an dari "umat Islam" seperti ini. Tetapi framing Anies bapak politik identitas berjubah agama Islam marak menyambut Pilpres 2024.

Hal yang paling menggelitik, saya kira--dari pengalaman Pilpres kemarin, mengapa ada frasa "umat Islam" yang marak dalam satu istilah "suara umat Islam" yang sering didengungkan oleh pihak pendukung Prabowo? Apakah berarti kubu Jokowi bukan "umat Islam"? Nyatanya sama-sama Islam. Tetapi satu lebih menonjolkan latar belakang Islamnya, satunya lagi memang Islam (bahkan termasuk di dalamnya sementara kalangan santri) namun tidak mengatasnamakan Islam, mungkin sebatas kesadaran bahwa sikap politik yang paling penting, identitas tidak usah.

Kenyataan ini mengingatkan saya akan dua hal. Pertama, sebuah forum diskusi buku karya Anthony Reid tentang Nasionalisme di Asia Tenggara (Imperial Alchemy; Nationalism and Political Identity in Southeast Asia). Hasil diskusi itu kemudian ditranskrip ke dalam bentuk buku.

Kedua, buku "Agama Jawa" (alih bahasa dari The Religion of Java) yang ditulis oleh Clifford Geertz yang membagi golongan Islam menjadi tiga: abangan, santri, dan priyayi. Buku ini cukup masyhur di kalangan para pengkaji sejarah Indonesia, bahkan ketiga istilah Geertz (abangan, santri, priyayi) itu nyaris menjadi istilah sehari-hari masyarakat kita.

Dilihat dari kedua buku itu, adalah sangat wajar jika frasa "umat Islam" (dengan tanda kutip) di tengah umat Islam (dengan tanpa tanda kutip) karena memang ada sejarahnya. Dari Anthony Reid kita bisa mempelajari istilah Ethie Nationalism atau etno nasionalisme, yang bisa kita maknai sebagai bangsa yang terbentuk berdasarkan etnik. Kaitannya dengan Islam, Reid mengambil contoh salah satunya Aceh.

Kata Ihsan Ali-Fauzi dalam diskusi buku Reid, "Aceh punya pengalaman yang panjang dengan Islam, punya sense kebangsaan yang sangat tinggi." Begitu Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara-bangsa (di mana negara berarti meliputi seluruh etnik, ras, suku, dan bangsa seluruh Indonesia), dan kelihatannya negara hanya mementingkan Jawa dan Jakarta, maka dengan perasaan kebangsaan yang mendalam, Aceh yang Islam itu kerap memunculkan kemarahannya.

Ketika Aceh diidentikkan dengan Islam, itu wajar, sebab dalam proses pembentukan negara-bangsa Indonesia, secara etnik Aceh sudah menyatu dengan Islam. Demikian pula Minang, di mana Islam melekat padanya, sehingga akan ganjil ketika ada orang dari agama lain mendaku sebagai orang Minang.

Maka fenomena frasa "umat Islam" saat ini motifnya mirip dengan etno-nasionalisme tadi, yaitu perasaan menyatu dengan Islam karena menyadari sejarah bangsa kita yang tidak bisa dilepaskan dari Islam. Juga dari aspek identitas keagamaan, biar bagaimanapun, meminjam istilah Nurcholish Madjid dalam suatu kesempatan di Aula Yayasan Paramadina usai salat jumat (Lihat: Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman ..., 2009: 125), "dibolak-balik Indonesia tetap Islam".

Benar saja, Indonesia adalah penduduk mayoritas (80 - 90 persen), namun terbagi ke dalam pelbagai macam aliran pemikiran maupun aliran politik. Mari kita membuka kembali "Agama Jawa" nya Clifford Geertz, yang membagi umat Islam di Jawa ke dalam tiga golongan besar: abangan, santri, dan priyayi.

Bagi sementara orang, wacana Geertz boleh jadi sudah usang. Di samping klasifikasi masyarakat yang kurang tepat yaitu mencampurkan kategori kelompok berdasarkan aliran keagamaan dengan satu kelompok yang berdasarkan strata sosial, juga karena lebih banyak analisa lain yang lebih mutakhir, serta karena kebudayaan yang mengalami perubahan seiring perkembangan masyarakat. Tetapi tetap saja Geertz tidak dapat diabaikan.

Cakupan penelitian Geetz memang berkonteks lokal, dibatasi pada satu daerah di Jawa bernama Mojokuto--sebutan lain dari Pares, namun itu diyakini merupakan representasi yang bisa menggambarkan Jawa secara keseluruhan. Bahkan dalam beberapa kasus merupakan gambaran "agama (Islam) Indonesia".

Berangkat dari asumsi Jawa mayoritas Islam (sekira 90 persen), tetapi Islam terbagi antara lain ke dalam varian (1) abangan. Yaitu golongan masyarakat yang dalam hal keagamaan, lebih mementingkan upacara slametan, lebih menaruh perhatian terhadap ritual, ketimbang doktrin agama. Kewajiban agama tidaklah lebih penting dari keharusan menolak gangguan kekuatan gaib yang jahat. Secara umum, abangan diidentikkan dengan penduduk pedesaan.

Selanjutnya varian (2) santri, yaitu golongan masyarakat yang taat dalam menjalankan agama. Berkebalikan dengan abangan yang lebih mementingkan acara slametan, santri menempatkan perintah agama sebagai yang paling utama. Figur santri terdapat pada terutama ustad, kiai, ulama, serta ragam sebutan untuk pemuka agama lainnya, di samping juga orang biasa yang pengetahuan dan pengalaman agamanya baik. Santri diidentikkan dengan pedagang, kehidupan mereka dominan di pasar.

Serta varian (3) priyayi, golongan masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi dan etiket jawa. Geertz memberi perbedaan mendasar antara abangan dan priyayi pada kelas sosial, namun pemahaman keagamaan relatif sama dalam hal menaruh perhatian pada unsur supranatural. Abangan adalah kelas petani, yang menggunakan slametan untuk menahan kemurkaan dunia gaib, sedangkan priyayi adalah kelas bangsawan yang melakoni spiritualitas demi menjadi pribadi yang karismatik, berwibawa, dan terhormat. Priyayi lebih identik dengan kehidupan perkotaan.

Kategorisasi sekalian dengan definisi oleh Geertz tentang varian di atas tentu tidak relevan lagi sekarang. Ini adalah ciri yang datang dari masa-masa awal baik di era kolonial maupun di era pra-kolonial. Utamanya bagi kaum priyayi, ciri-ciri yang dikemukakan lebih cocok di era penjajahan di mana para bangsawan dijadikan pejabat administratif, sedang kekuasaan tertinggi berada di tangan orang asing.

Yang menarik adalah varian santri. Pada mulanya Geertz membuat ambiguitas dengan membedakan secara mendasar abangan dan santri dari sisi mementingkan slametan atau doktrin agama. Kelompok Islam sendiri pada akhirnya harus ia bedakan antara yang modernis dan yang konservatif. Agaknya yang dibedakan dari abangan adalah golongan santri yang modernis.

Sedang yang konservatif, perbedaannya hanya dari sisi pemahaman keagamaannya. Santri konservatif menghidupkan acara slametan bukan dalam rangka takut pada murka yang gaib (selain Allah), melainkan tidak lebih dari sekadar memelihara tradisi, menghidupkan syiar Islam, demi ketenangan batin, serta demi membangun solidaritas masyarakat.

Ada ilustrasi dari interaksi santri modernis dengan santri konservatif yang diselipkan Geertz dalam narasi bukunya. Kaum konservatif menilai kaum modernis kurang Islami, mereka dalam mengadakan rapat-rapat hanya membaca bismillah di awal dan membaca alhamdulilah di akhir. Dua lafal itulah yang masih menandakan bahwa mereka itu Islam.

Sedang kaum modernis memandang kaum konservatif sebagai orang-orang yang hanya berpasrah diri dengan takdir. Mereka sibuk dengan mempelajari agama sembari membaca doa-doa demi bekal akhirat. Sedang masalah besar saat ini sedang berada di depan mata. Problem negara mesti diurusi, Islam harus menjadi kekuatan yang mengatasi kondisi penjajahan.

Maka dengan rasa kepedulian yang didorong oleh nilai-nilai ajaran Islam, kelompok modernis aktif dalam aksi-aksi politik. Melalui ormas Muhammadiyah dan SI (Sarekat Islam), kelompok modernis melakukan gerakan-gerakan sosial maupun pendidikan. Utamanya Muhammadiyah, yang mendaku berhasil membangun banyak sekolah.

Juga SI yang akhirnya terbelah menjadi SI-merah dan SI-putih, lantaran perbedaan pemikiran dalam menanggapi masalah politik. SI merah yang revolusioner, dengan Haji Misbah yang jadi tokohnya, menyebut gerakannya dengan "Komunisme Islam" (bayangkan, komunisme dan Islam yang selalu dipertentangkan itu, di tangan Haji Misbah bisa menyatu). Selanjutnya SI-Merah kemudian bertransformasi menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Sedang SI-Putih tetap menjadi ormas yang moderat.

Namun santri konservatif (yang dalam hal ini tergabung dalam NU) juga rupanya turut masuk ke dalam gelanggang politik. Melalui Masyumi, santri konservatif ambil bagian dalam tubuh pemerintahan Jepang menjalankan misi "duri dalam daging". Juga, meski tanpa doktrin revolusioner seperti kaum kiri dan Islam ekstremis, NU juga pernah mengumandangkan resolusi Jihad: hubbul wathan minal iman, membela tanah air adalah bagian dari iman. Di sini, NU sebagai representasi santri konservatif, merupakan dimensi mistis dari sejarah pergerakan Islam di tanah air, keputusan-keputusan mereka tak tak terduga sama sekali.

Demikianlah, sejarah bangsa kita turut mengabadikan gerakan "umat Islam"  sebagai salah satu kekuatan politik yang berhasil menggoyang pemerintahan kolonial. Taufik Abdullah dalam pengantar buku Geertz itu tiba-tiba secara iseng membayangkan kalau varian abangan, santri, dan priyayi itu masing-masing mewakili gagasan Soekarno tentang nasakom (nasionalis, agama, komunis).

Kalau kita pakai bayangan Taufik Abdullah itu dalam konteks politik sekarang, istilah "umat Islam" itu disuarakan oleh kelompok santri, itupun dari yang modernis. Lawannya bukan berarti "bukan umat Islam", tetapi lawannya lebih kepada dua representasi varian lainnya, abangan yang marhaenis dan priyayi yang nasionalis. Serta satu lagi yaitu santri konservatif. Yang modernis pun tidak tunggal, di dalamnya bisa jadi tergabung kelompok-kelompok modernis yang beragam.

Misalnya di Indonesia dewasa ini, yang dikenal luas sebagai Islam modernis adalah Muhammadiyah. Tetapi dalam kasus gerakan santri modernis 212 misalnya, itu tidak berarti kelompok itu adalah dari Muhammadiyah. Kini golongan santri tidak lagi sesederhana klasifikasi Geertz. Belakangan banyak juga kelompok yang pemahamannya terbentuk dari ideologi Islam transnasional, yang menuntut kita lebih realistis lagi dalam membedakannya.

Jadi, perlu kehati-hatian mempersandingkan antara Islam modernis dengan puritanisme Islam. Namun bukan pada tempatnya untuk dibahas di sini.

*** 

Apakah Anies Baswedan memenuhi syarat disebut bapak politik identitas dari "umat Islam"? Apakah Anies selama ini menunjukkan semangat etno nasionalisme (Islam), lalu memainkannya dalam pertarungan politik?

Apakah Anies bersikap seolah-olah berasal dari kalangan santri, lalu dengan sengaja maju ke gelanggang politik sebagai representasi "umat Islam"?

Anies sama sekali tidak menunjukkan dua hal di atas. Dia malah pernah memilih sikap mendukung Jokowi (yang nasionalis), hingga menjadi salah satu mentri di Kabinet Jokowi. Kemudian berbalik, ia memilih untuk mendukung Prabowo pada pilpres selanjutnya, lalu di sana bersama pula dengan kelompok-kelompok Islam dari pelbagai latar belakang turut mendukung Prabowo.

Tentu saja pendukung Prabowo bukan hanya dari kelompok "umat Islam". bahkan termasuk mereka yang tidak percaya lagi pada Jokowi, dari latar belakang yang berbeda pula, lebih memilih untuk berdiri di barisan pendukung Prabowo.

Dalam hal mengikuti kontestasi pilgub pun, tanda-tanda itu tidak kelihatan. Yang ada adalah "umat Islam" secara kolektif menaruh harapan kepada Anies, yang kini tengah berhadap-hadapan dengan kubu yang tidak mereka sukai.

Karena Anies mau mendengar aspirasi, dan tidak menolak keberadaan mereka. Juga tak sampai melabeli mereka intoleran dan anti-pancasila.

***

Judul asli: The Religion of Java
Judul terjemahan: Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa
Penulis: Clifford Geertz
Penerjemah: Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun: Cet. II, 2014
Tebal: xxxiv + 606 halaman
ISBN: 978-602-9402-12-4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun