Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Pergerakan Bulan Bisa Dihitung Pakai Sains, Mengapa Masih Harus Meneropong Bulan?

25 Maret 2023   21:06 Diperbarui: 25 Maret 2023   21:08 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dari ratusan tahun yang lalu, perdebatan mengenai perbedaan penentuan awal dan akhir bulan ramadhan tidak kunjung selesai. Secara garis besar, ada dua metode yang berbeda yang mendasari mengapa kerap terjadi perbedaan hari pertama puasa dan hari lebaran. Yakni hisab dan rukyat.

Metode rukyat, umumnya dipakai oleh masyarakat muslim seperti NU serta ormas-ormas lain yang sehaluan, juga oleh pemerintah. Sedangkan metode hisab dipakai oleh ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah.

Bukan hanya alasan dalil, kriteria derajat tingginya bulan juga menjadi penentu apakah bulan baru sudah masuk atau belum. Kini, berdasarkan kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) tahun 2021, ketinggian hilal adalah 3 derajat.

Jika mengacu kepada dalil-dalil yang ada, baik Al-Qur'an maupun Hadis, maka penetapan awal dan akhir Ramadhan diperintahkan untuk melakukan rukyatul hilal. Antara lain Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 185, "... Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah ...."

Dalam ayat itu kata yang dipakai adalah syahidah, menyaksikan. Apakah di sini menyaksikan dengan mata kepala, atau dengan pengetahuan? Mungkinkah kata syahid ataukah syahidah juga bisa ditafsirkan menyaksikan dengan pengetahuan? 

Jawabannya adalah sangat mungkin. Sebab dalam syahadat pun, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah bukan dilakukan dengan mata kepala, tetapi pengetahuan akan adanya Dzat yang menyebabkan segalanya tercipta, dari pengetahuan itu timbul keyakinan bahwa Tuhan itu ada.

Namun jika ditilik dari redaksi hadis, makna yang diberikan adalah melihat dengan mata kepala. Misalnya hadis riwayat Ibnu Umar yang terdapat dalam kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani: 

"Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila kalian melihat Hilal maka berpuasalah dan apabila kamu melihat Hilal maka berbukalah. Jika mendung menutupi kalian (dalam melihat Hilal) maka genapkanlah. "' (Muttafaq 'alaih), sedangkan di dalam riwayat Muslim disebutkan, "Jika mendungi menutupi kalian maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari." Dan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan, "Maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari"

Imam Ibnu Hajar menambahkan, bahwa dalam kitab Bukhari riwayat Abu Hurairah, "... maka genapkanlah Syakban menjadi 30 hari."

Kata yang digunakan dalam hadis itu sepadan dengan 'menyaksikan' (syahidah) adalah ra'aiytu, asal katanya adalah ra'a, kemudian menjadi istilah yang dipakai dalam metode penetapan awal bulan ramadhan menjadi ru'yah (rukyatul hilal), istilah ini digunakan juga dalam hadis lain yang redaksinya mirip dengan hadis yang diketengahkan di atas (tentang penggenapan syakban menjadi 30 hari apabila hilal tidak terlihat).

Mengutip Lisanul Arab Ibnu Mandzur, Yazid Muttaqin di website NU Online membeberkan makna kata ru'yah yang berarti melihat dengan mata kepala, dibedakan dengan kata ra'yi yang berarti melihat dengan pengetahuan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun