"Indonesia Zamrud Toleransi", sebagaimana yang tertera pada sampul sebuah buku karya Henry Thomas Sinarmata dkk., merupakan potret bangsa Indonesia secara makro. Miniaturnya dapat kita saksikan realitanya di sepanjang wilayah geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu yang merupakan perwujudan dari realitas itu ada di Kota Palu. Tepat pada selasa, 21 maret 2023 di mana penyambutan Nyepi tahun Saka 1945 itu dilaksanakan dengan tradisi pawai Ogoh-ogoh oleh masyarakat beragama Hindu.
Ogoh-ogoh sendiri menurut umat Hindu merupakan simbol sifat kurang baik; cerminan sifat negatif dalam diri manusia. Olehnya ia diwujudkan dalam rupa makhluk menyeramkan (Bhuta Kala), kuku-kukunya panjang, dan lidahnya menjulur keluar. Ujung dari ritual itu adalah pembakaran ogoh-ogoh tersebut, sebagai manifestasi sebuah harapan bahwa sifat-sifat yang tidak baik dalam diri manusia dapat musnah seiring dengan habisnya ogoh-ogoh dimakan api.
Bersamaan dengan pawai itu, kita tahu bahwa hari itu umat Islam juga tengah melakukan persiapan menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H. Terkait dengan dua momentum yang terjadi secara bersamaan itu, rupanya ada beberapa hal menarik, dapat menyita perhatian:
1. Pura Agung Wana Kertha Jagatnatha Bertetangga dengan Kampus Unismuh Palu
Tetangga yang baik adalah mereka yang hidup tentram dan damai dalam wilayahnya masing-masing, dan tidak saling ganggu. Baik Pura Jagatnatha Palu sebagai representasi dari masyarakat Hindu maupun Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Palu yang merupakan institusi perguruan tinggi dan representasi Islam, betapapun hidup dalam perbedaan keyakinan, namun tetap menjaga keharmonisan.
Hingga pada momen pawai ogoh-ogoh yang telah disebutkan, suasana toleransi dan saling menghargai tetap terpelihara. Tidak pernah terdengar keributan atau perselisihan atau aroma sikap intoleransi antar umat beragama yang berasal dari dua representasi umat yang saling bertetangga itu.
2. Warga Muslim Juga Ikut Mengabadikan Momen Pawai Ogoh-ogoh
Toleransi antar umat beragama sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. Perayaan hari besar suatu agama tidak menjadi pengganggu bagi ketenteraman umat agama lain. Baik yang mayoritas maupun minoritas, hal-hal seperti itu sudah menjadi maklum. Bahkan menurut pak Prof. Quraish Shihab, kalau ada orang yang tidak toleran, ia adalah orang yang terlambat lahir.
Pada pawai ogoh-ogoh di Palu kemarin, terlihat warga yang beragama Islam pun ikut mengambil foto iring-iringan tersebut. Tampak ibu-ibu berjilbab mengangkat gawainya membidik patung ogoh-ogoh yang diarak itu. Hal ini tidak dapat kita sebut sebagai pengakuan akan kebenaran kepercayaan umat lain. Melainkan apa yang oleh Gerardette Philips sebagai: kamu menjalankan agamamu, dan saya akan memperhatikannya dengan serius.
3. Insiden Kemacetan Pawai Ogoh-ogoh Dapat Mengingatkan Posisi Hilal
Dalam setiap kejadian, selalu ada hikmah atau pelajaran yang terdapat di dalamnya, kalau saja orang-orang yang menghadapai kejadian itu mau memikirkan, merenungi, dan menyadari bahwa di balik penciptaan alam semesta ini (termasuk kejadian di baliknya) selalu menyimpan rahasia.
Salah satunya kemacetan, tentu insiden itu bukan hal yang mengenakkan. Tetapi kalau kita mau bersabar dan bersikap stoik (menjadi kuat di hadapan realitas) bahkan kemacetan pun bisa mendatangkan inspirasi.
Seperti dalam pawai ogoh-ogoh di Palu kemarin, rute awal pawai tersebut adalah jalan menurun, dan jika berada di jalur itu, kita akan menghadap ke barat lalu menyaksikan pemandangan laut (itu karena Pura Jagatnatha Palu, titik berangkat pawai itu berada di perbukitan) dan gunung di sebelah barat; tempat matahari terbenam.
Jika mau merenungkan, ini bisa mendatangkan suatu pertanyaan kritis, mengapa harus melakukan rukyat al-hilal (melihat bulan di tempat terbenamnya matahari) dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan? Padahal sudah memungkinkan bagi kita--dengan bantuan sains--melakukan metode hisab (perhitungan), soalnya pergerakan bulan dapat dihitung dan dipastikan.
Dua metode ini masing-masing mewakili NU, Pemerintah, serta ormas-ormas lain di satu pihak, dengan Muhammadiyah di pihak lain. Kedua metode ini tetap berlaku hingga kini, dan perbedaan penentuan hari pertama dan akhir Ramadhan di tahun-tahun tertentu tidak dapat terhindarkan.
Namun sebaiknya kedua cara menetapkan awal dan akhir Ramadhan itu tidak perlu disikapi dengan debat yang tidak berkesudahan. Melainkan dengan mempelajari alasan syar'i masing-masing pihak mengapa menggunakan metode yang berbeda.
Lagipula dengan memahami perbedaan metode ini, niscaya bukan hanya toleransi antar umat beragama yang terwujud, tetapi juga toleransi antar mazhab dalam Islam. Soalnya, agaknya lebih sulit mewujudkan toleransi antar mazhab ketimbang toleransi antar umat beragama.
4. Polantas yang Menjaga Titik-titik Dilaluinya Pawai, Rupanya Bisa Menimbulkan Razia-phobia.
Salah satu pemandangan menarik, dan juga lucu pada suasana pawai ogoh-ogoh di Palu kemarin adalah beberapa pengendara sepeda motor segera berbalik arah ketika melihat Polisi lalu lintas yang menjaga salah satu titik dilaluinya pawai ogoh-ogoh.
Adanya aparat kepolisian di titik-titik jalan itu tujuannya demi kondusifnya rute pawai ogoh-ogoh. Supaya kendaraan lain tidak melintas ketika rombongan lewat dan akhirnya menyebabkan kemacetan yang parah.
Tetapi beberapa pengendara sepeda motor yang berbalik arah itu mungkin mengira bahwa itu adalah titik razia kendaraan bermotor (swiping). Mengingat bahwa belum lama (februari - maret 2023) ini razia kendaraan bermotor kerap digelar di beberapa titik arus utama lalu lintas Kota Palu, dan tentu saja beberapa pengendara itu yakin bahwa mereka bakal kena tilang jika dirazia.
Demikianlah potret toleransi antar umat beragama di Kota Palu dalam penyambutan Nyepi tahun saka 1945 dan dalam menyambut bulan suci Ramadhan 1444 H. Jadi, tidak benar jika ada pihak yang mengatakan Kota Palu adalah sarang teroris dan pusat intoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H