Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Love

Layangan Putus dari Minoa-Kreta

21 Maret 2023   06:56 Diperbarui: 21 Maret 2023   07:29 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: pikiran-rakyat.com

"Istri sah selalu jauh lebih cantik daripada si pelakor", adalah semacam kredo di kalangan anti-poligami. Kredo itu semakin kuat dengan hadirnya serial "Layangan Putus", film khusus dewasa yang diadaptasi dari sebuah novel "Layangan Putus" karya pemilik nama pena Mommy ASF. Serial yang cukup menuai kehebohan itu, terutama di kalangan ibu-ibu, yang dengannya semakin pandai membaca gerak-gerik bapak-bapak.

Antara novel dan film itu tak ada perbedaan soal judul. Tetapi isinya jauh meleset bukan hanya jalan cerita, tetapi juga paradigma intinya. Jelasnya, ini lebih dari soal beda misi antara penulis novel dan penulis naskah (script) film. Mommy ASF mengklaim kasus dalam novelnya adalah poligami. Sedang dalam serial--yang diproduseri oleh Manoj Punjabi itu--yang ditampilkan adalah perselingkuhan. 

Bagi yang serius ingin memeriksai sejauhmana perbedaan antara poligami dan perselingkuhan mulai dari kosa kata, terminologi, aspek metode penelitian, tafsiran, hingga rasionalisasi tanpa batas; tetap saja dalam kacamata anti-poligami, orang yang baru hadir di antara dua orang yang sudah saling mengikat, dianggap sebagai pelakor (kata pelakor tak mesti hanya merujuk perempuan, ia bisa juga berkonotasi untuk lelaki perebut pasangan orang lain).

Ketimbang dua istilah itu, yang sekaligus juga adalah dua masalah utama yang berbeda bagi kedua versi itu (film dan novel), yang lebih menarik sesungguhnya adalah judul, mengapa harus "Layangan Putus"? 

Dokter Echa, alias Mommy ASF membocorkannya, sewaktu ia diwawancarai secara eksklusif oleh Feni Rose. Layangan Putus melambangkan seseorang yang rapuh; seorang wanita yang terombang-ambing, tak punya pegangan secara tiba-tiba, mengagetkan, setelah ditinggal secara mengecewakan oleh sang suami.

Saya tiba-tiba saja teringat pada Endiq Anang P., pemenang kedua Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013, dalam esainya ia "Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki", terkhusus pada sajak "Sapi Lada Hitam". Ia menghadirkan sebuah mitos dari Yunani di zaman Minoa-Kreta sebagai pisau bedah untuk membuktikan adanya gema dikotomik lelaki-wanita di dalam sajak Nirwan Dewanto itu.

Tersebut dalam kisah, Minos, raja Kreta diminta oleh dewa Poseidon untuk mempersembahkan seekor banteng. Malah raja menyembunyikannya. Maka Poseidon memberi kutukan. Pasifae, istri raja dibuat jatuh cinta pada banteng itu. Atas bantuan Daidalos, Pasifae mendapatkan tiruan banteng betina, ia masuk ke dalamnya. 

Dari persetubuhan banteng sembunyian dan banteng tiruan yang di dalamnya ada Pasifae itulah lahir Minotaus, sosok manusia berkepala banteng. Minotaus menjadi makhluk yang mengerikan, kepadanya masyarakat Kreta selalu memberi persembahan. Namun ia dikurung dalam labirin yang sulit dikenali mana ujung dan pangkalnya.

Tersebutlah Theseus sebagai pahlawan, ia adalah orang yang berhasil membunuh Minotaus, makhluk banteng berbadan manusia itu, yang sudah tentu ia adalah jantan atau lelaki, dengan buli-bulinya; kaki kelimanya.

Namun, Theseus mungkin saja nahas sekiranya bukan karena Ariadne, putri raja Kreta, membantunya sebilah pedang untuk merobek jantungnya, serta sepintal benang guna penelusuran kembali jalan keluarnya setelah masuk tersesat di dalam labirin, tempat Minotaus bersemayam.

Satu permintaan Ariadne, Theseus boleh saja menghabisi setiap bagian dari tubuh Minotaus, tetapi jangan buli-bulinya; kaki kelimanya; simbol kejantanannya. Minotaus (simbol kekasaran kaum pria) boleh begitu menakutkan, tetapi kaum wanita tetap merindukan buli-bulinya (keperkasaannya, perlindungannya)

Demikianlah ideologi Nirwan yang dimaksud, memandang kaum wanita begitu bergantung pada keperkasaan kaum lelaki sebagai pelindung. Klop dengan tafsiran Mommy ASF atas kisahnya yang lantas diberi judul Layangan Putus (dalam bahasa keseharian kami di kampung di Kabupaten Tolitoli, disebut layang-layang embang) itu.

Demikian pula Jean Baudrillard, menyebut feminin--konotasi bagi kaum wanita--bukan lagi sebagai yang bertentangan dari maskulin, tetapi "apa yang merangsang maskulin" (Baudrillard dalam "Seduction", Berahi dalam terjemahan bahasa Indonesia versi penerbit Narasi, cetakan I tahun 2018, halaman 11).

Apa yang diandaikan oleh Baudrillard ini jelas bermakna lelaki tidaklah setara dengan perempuan. Perempuan hadir hanya agar lelaki tergerak, melalui rayuannya yang meski bukan berupa kata-kata; walau hanya penampilannya yang memukau.

Walau dunia hanya mengakui dua jenis ini, yakni maskulin dan feminin, namun di "Berahi" nya Baudrillard itu, jenis transvestites (kaum waria) lebih memiliki jatidiri ketimbang jenis feminin tulen. Meski kaum trans ini, kata Baudrillard, sesungguhnya:

"... lahir dari ketidakpercayaan seksual dan bukan, secara tradisional, lahir dari keterikatan satu jenis kelamin pada jenis kelamin lain." (Baudrillard, 2018: 18).

Demikianlah, berangkat dari kekaburan identitas, waria tetap saja pede dengan statusnya sebagai jenis ketiga. Maka di samping sebagian yang betul-betul ingin menegaskan diri menyebrang jenis kelamin, sebagiannya malah mempertahankan ciri khas asal. Misalnya, walau ingin tampil seperti perempuan, tetap saja memelihara kumis layaknya lelaki pada umumnya.

Di negara kita, jenis trans ini memiliki dunianya sendiri termasuk pekerjaan. Salon-salon tata rias kecantikan adalah lapangan kerja yang lekat dengan mereka. Serta, baik segi ekonomi, politik, sosial, maupun asmara, mereka tidak ketergantungan pada satu jenis kelamin tertentu. Meski kebanyakan interaksi seksualnya bersama kaum lelaki.

Apakah Baudrillard memang memandang wanita demikian? Bagi kita yang akrab dengan wacana-wacananya jelas akan menjawab, tidak! Kita tahu bahwa Baudrillard sering menyatakan dunia yang dipahami, bukan dunia apa adanya.

Demikian pula feminin sebagai apa yang merangsang maskulin, tak lain konteksnya adalah dunia yang didandani. Segalanya tampak apa adanya, padahal sesungguhnya adalah permainan tanda. Dunia ini tampak bergerak mekanis memenuhi hukumnya, padahal pemain-pemain di atasnya ikut menciptakan dunia tiruan, simulasi, realitas yang simulakrum. Kepalsuan dikemas menjadi sesuatu yang tampak benar di permukaan.

Wanita sebagai pelengkap, tak ada yang benar-benar berkesimpulan demikian jika bukan karena kehidupan di atas bumi ini didominasi kaum lelaki. Ini bukan pembelaan saya terhadap kaum perempuan, melainkan ini sebuah keinsafan pribadi; dan filosofi judul Layangan Putus versi novel tentu bagi saya adalah cara pandang zaman Minoa-Kreta, cara pandang yang sama dengan sajak Nirwan Dewanto yang kritiknya sudah saya kemukakan di atas.

Lain halnya dengan versi serialnya, filosofi judul Layangan Putus versi film agaknya ada pada bagian akhir (10 B): "... kita membutuhkan kekuatan yang jauh lebih besar untuk melepaskan sesuatu, ketimbang menggenggamnya erat-erat ...."

Layangan (yang) Putus versi film lebih bermakna 'sesuatu yang dilepaskan'. Dengan begitu kemudian yang melepaskan menjadi pribadi yang independen. Ketimbang versi--di pengakuan judul--novelnya yang bermakna 'pribadi yang goyah' tanpa pegangan.

Benar saja, versi film mengungkapkan bagimana Kinan, sebagai istri yang diselingkuhi, menempuh jalan yang rasional, membuktikan segala kecurigaan melalui penyelidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti yang di masa kini begitu memungkinkan: pelacakan jejak digital, mencatat peristiwa, menghubungkan kejadian, termasuk strategi untuk mendapatkan bukti yang kuat. 

Ini sikap ilmiah seorang perempuan. Di balik dirinya yang selalu bergulungan dengan perasaan, rupanya perempuan adalah manusia yang pikirannya bagus. Bandingkan dengan kasus perselingkuhan yang kerap ditampilkan di tempat lain, perempuan selalu menjadi yang kalah, dengan perasaannya ia hancur. Harga dirinya di depan publik jadi robek--tak jarang diterawai dan dijadikan olok-olokan.

Lalu bagaimana dengan Islam yang di dalamnya poligami tak dilarang, malah sebagian menyebutnya sunnah--sebab Nabi menjalaninya, bukankah poligami adalah sebentuk kekalahan kaum perempuan di bawah kekuasaan kaum lelaki?

Ada beragam tafsir, salah satunya yang cukup menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Agus Mustofa, penulis serial buku-buku tasawuf modern itu, dalam buku yang ditulisnya berjudul "Poligami Yuuuk!", bahwa poligami dalam Islam dikhususkan bagi Nabi, dan tidak untuk orang lain secara umum. Juga terhadap orang-orang dahulu yang benar-benar melindungi kaum wanita, sebab di masa itu kebudayaan di masyarakat tidak sepenuhnya memberi tempat bagi kaum perempuan untuk mandiri, disamping oleh keamanan yang belum betul-betul terjamin.

Bandingkan dengan kini, perempuan bisa berkarir dan dapat mengurusi hartanya sendiri. Kemerdekaannya lebih besar dibanding masa lalu. Lagipula pemraktek poligami dewasa ini lebih banyak menghadirkan luka bagi kaum perempuan dibanding rasa keadilan. Padahal menurut Agus Mustofa, pernikahan itu pada intinya agar tercapai sakinah, mawaddah, dan warahmah. Namun tujuan utama itu harus dikorbankan dengan adanya hasrat ingin lebih dari satu istri dengan cara merasionalisasinya dengan ayat-ayat.

Hal ini sejalan dengan tafsiran lainnya: dulunya budaya kaum lelaki Arab pra-Islam beristri banyak, ada yang sampai ratusan istri untuk seorang lelaki. Jumlah yang amat banyak itu kemudian dibatasi dengan jumlah istri Nabi yang 14 orang (versi Husen Haikal, versi Agus Mustofa 12, dan lainnya ada yang mengatakan 9), atau dalam Q.S. al-Nisa ayat 4 yang membatasi 4 saja, adalah pengurangan yang sangat besar.

Artinya, kalau peradaban Muhammad adalah peradaban termaju dibanding nabi-nabi sebelumnya, maka seharusnya semakin maju peradaban umat manusia, mestinya istri yang dimiliki seorang lelaki semakin sedikit; semakin satu saja.

Apalagi kehadiran Islam sejalan dengan spirit pembebasan dan pengangkatan harkat, martabat, dan harga diri manusia. Termasuk kaum perempuan, sudah saatnya setara dengan kaum lelaki berkaitan hak-haknya. Walau dari segi kodrat dan fitrah tetap saja berbeda.

Ini hanya salah satu sudut pandang. Bagi sudut pandang lain, silakan saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun