Satu permintaan Ariadne, Theseus boleh saja menghabisi setiap bagian dari tubuh Minotaus, tetapi jangan buli-bulinya; kaki kelimanya; simbol kejantanannya. Minotaus (simbol kekasaran kaum pria) boleh begitu menakutkan, tetapi kaum wanita tetap merindukan buli-bulinya (keperkasaannya, perlindungannya)
Demikianlah ideologi Nirwan yang dimaksud, memandang kaum wanita begitu bergantung pada keperkasaan kaum lelaki sebagai pelindung. Klop dengan tafsiran Mommy ASF atas kisahnya yang lantas diberi judul Layangan Putus (dalam bahasa keseharian kami di kampung di Kabupaten Tolitoli, disebut layang-layang embang) itu.
Demikian pula Jean Baudrillard, menyebut feminin--konotasi bagi kaum wanita--bukan lagi sebagai yang bertentangan dari maskulin, tetapi "apa yang merangsang maskulin" (Baudrillard dalam "Seduction", Berahi dalam terjemahan bahasa Indonesia versi penerbit Narasi, cetakan I tahun 2018, halaman 11).
Apa yang diandaikan oleh Baudrillard ini jelas bermakna lelaki tidaklah setara dengan perempuan. Perempuan hadir hanya agar lelaki tergerak, melalui rayuannya yang meski bukan berupa kata-kata; walau hanya penampilannya yang memukau.
Walau dunia hanya mengakui dua jenis ini, yakni maskulin dan feminin, namun di "Berahi" nya Baudrillard itu, jenis transvestites (kaum waria) lebih memiliki jatidiri ketimbang jenis feminin tulen. Meski kaum trans ini, kata Baudrillard, sesungguhnya:
"... lahir dari ketidakpercayaan seksual dan bukan, secara tradisional, lahir dari keterikatan satu jenis kelamin pada jenis kelamin lain." (Baudrillard, 2018: 18).
Demikianlah, berangkat dari kekaburan identitas, waria tetap saja pede dengan statusnya sebagai jenis ketiga. Maka di samping sebagian yang betul-betul ingin menegaskan diri menyebrang jenis kelamin, sebagiannya malah mempertahankan ciri khas asal. Misalnya, walau ingin tampil seperti perempuan, tetap saja memelihara kumis layaknya lelaki pada umumnya.
Di negara kita, jenis trans ini memiliki dunianya sendiri termasuk pekerjaan. Salon-salon tata rias kecantikan adalah lapangan kerja yang lekat dengan mereka. Serta, baik segi ekonomi, politik, sosial, maupun asmara, mereka tidak ketergantungan pada satu jenis kelamin tertentu. Meski kebanyakan interaksi seksualnya bersama kaum lelaki.
Apakah Baudrillard memang memandang wanita demikian? Bagi kita yang akrab dengan wacana-wacananya jelas akan menjawab, tidak! Kita tahu bahwa Baudrillard sering menyatakan dunia yang dipahami, bukan dunia apa adanya.
Demikian pula feminin sebagai apa yang merangsang maskulin, tak lain konteksnya adalah dunia yang didandani. Segalanya tampak apa adanya, padahal sesungguhnya adalah permainan tanda. Dunia ini tampak bergerak mekanis memenuhi hukumnya, padahal pemain-pemain di atasnya ikut menciptakan dunia tiruan, simulasi, realitas yang simulakrum. Kepalsuan dikemas menjadi sesuatu yang tampak benar di permukaan.
Wanita sebagai pelengkap, tak ada yang benar-benar berkesimpulan demikian jika bukan karena kehidupan di atas bumi ini didominasi kaum lelaki. Ini bukan pembelaan saya terhadap kaum perempuan, melainkan ini sebuah keinsafan pribadi; dan filosofi judul Layangan Putus versi novel tentu bagi saya adalah cara pandang zaman Minoa-Kreta, cara pandang yang sama dengan sajak Nirwan Dewanto yang kritiknya sudah saya kemukakan di atas.