Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Sejarah Dunia yang Disembunyikan (3): Manusia sebagai Cermin Tuhan (Khalifah di Bumi)

16 Maret 2023   20:40 Diperbarui: 16 Maret 2023   20:43 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: istockphoto.com

Untuk apa dunia ini diciptakan, dengan segala drama di atasnya? Pengajaran rahasia akan menjawab bahwa Tuhan ingin melihat gambaran dirinya. Tuhan membayangkan makhluknya bebas, cerdas, kreatif, berpikir, penuh kasih sayang, dan yang terpenting adalah mampu mengubah diri sendiri. Oleh sebab itulah Jonathan Black menulis di halaman 9 bukunya, "Alam semesta yang digambarkan ini berbeda karena dibuat dengan memikirkan manusia."

Salah satu bukti yang mendukung pernyataan ini, yaitu Tuhan ingin mendapatkan gambaran dirinya, adalah dengan adanya sebuah gambar (masih di halaman 9, sebelum kutipan di atas) kabalistis abad ke-19, yaitu berupa wajah purba berlatar segitiga, digambar dengan kesan bayangannya memantul. Antara yang asli dengan yang bayangan dibedakan dengan hitam dan putih secara kontras.

Sumber foto: dokpri
Sumber foto: dokpri
Dalam Alkitab, konsep ciptaan sebagai gambaran Tuhan dinyatakan di dalam Kitab Kejadian 1:26-27:

"(26) Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. (27) Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."

Di dalam Islam, konsep semacam itu terdapat dalam sebuah hadis Qudsi: "Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku." Ada yang memaknai hadis ini bahwa makhluk (manusia) adalah cerminan diri Tuhan. 

Namun hadis ini beredar dan hanya diyakini di kalangan para sufi. Sedang ulama lain semisal Ibnu Taimiyah dan Imam As-Suyuthi menganggap hadis ini tidak jelas sandarannya ke mana.

Hal yang paling mungkin untuk memaknai sebagai cerminan Tuhan (di dalam Islam) adalah Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 30, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Aku hendak menjadikan khalifah di bumi' ...." Khalifah, baik diartikan sebagai pengganti maupun pemimpin, adalah mewarisi sifat-sifat ketuhanan untuk mengatur ciptaan di muka bumi. 

Kalau memang manusia adalah cerminan atau gambaran Tuhan, bagaimanakah kita akan mengatakan mitos-mitos dalam pengajaran kuno itu sebagai gambaran Tuhan? Makhluk-makhluk yang digambarkan secara telanjang, kemudian makhluk-makhluk setengah siluman, atau barangkali setengah dewa yang dikisahkan itu selalu saling berperang, iri hati, cemburu ... semuanya itu akan membuat kita berkesimpulan bahwa beginilah gambaran Tuhan(?)

Di antara perilaku makhluk-makhluk itu digambarkan di dalam Alkitab, yaitu pada Genesis (Kitab Kejadian) 6 ayat 1 - 5:

"Ketika manusia mulai bertambah di permukaan bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, dan anak-anak Tuhan melihat pada anak-anak perempuan manusia cantik-cantik: lalu mereka mengambil istri-istri dari perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; ialah orang-orang yang gagah perkasa pada zaman purbakala, orang-orang kenamaan. Dan, Tuhan melihat bahwa kejahatan besar di bumi, dan bahwa hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata."

Sains mungkin akan mengingkari keberadaan makhluk-makhluk yang digambarkan mitos-mitos terdahulu itu, tetapi bersamaan dengan itu bukti-bukti berupa fosil makhluk aneh juga kerap ditemukan. Contoh paling sering dibicarakan adalah UFO, benarkah alien dan kendaraannya itu ada? Terhadap fosil-fosil itu, sikap sains adalah takjub dengan keabnormalannya, namun sistem penjelasnya sendiri tidak memadai.

Kalau kita membaca Mukti Ali (seorang peneliti manuskrip kuno, bukan mantan Menteri Agama RI itu) dalam "Para Penghuni Bumi Sebelum Manusia" (saya pernah mereview buku ini, bisa dilihat pada link berikut: https://tanwir.id/khalifah-pra-manusia-dari-bangsa-jin-hingga-bangsa-nisnas/) itu, makhluk-makhluk aneh itu ada. Ia menyusun buku itu berdasarkan narasi agama (Islam) dan juga penelusuran terhadap naskah kuno, di samping juga menelaah penemuan fosil-fosil oleh para ilmuwan di bidang sejarah. Mukti Ali mula-mula mengutip Ibnu Abbas (RA):

"Setelah Allah menyempurnakan penciptaan langit dan bumi dengan segala sifatnya, gunung-gunung telah ditancapkan, angin telah dilepaskan, di bumi telah ada binatang-binatang liar, dan bermacam-macam burung, makan buah-buahan mengering dan berjatuhan ke bumi lalu di bumi tumbuh rerumputan yang satu sama lain saling tumpang tindih. Pada saat itu bumi mengadukan persoalan tersebut kepada Tuhannya. Atas pengaduan itu, Allah menciptakan umat yang beranekaragam dan berlainan jenis, yang diberi nama Jin."

Perkataan Ibnu Abbas di atas menguatkan apa yang termaktub di dalam Q.S. al-Hijr (15) ayat 27, "Dan Kami telah menciptakan jin (sebelum Adam) dari api yang sangat panas." Jin adalah nama golongan. Lebih jauh Mukti Ali menyebut istilah lain yang masing-masing mewakili bangsanya: abul jan, banul jan, bin, bangsa Nis-nas dan terakhir iblis. Khusus bangsa Nis-nas, mereka adalah makhluk yang berjasad. Mungkin merekalah manusia siluman yang kerap digambarkan di film-film.

Makhluk-makhluk ini menjadi jawaban atas pertanyaan: siapa yang dimaksud oleh malaikat sebagai makhluk yang kerap menumpahkan darah pada Q.S. Al-Baqarah (2) ayat 30, pada saat Allah ingin mengutus khalifah di muka bumi sebelum Adam diciptakan?

Sejarah yang dikemukakan Mukti Ali lebih runut dibandingkan dengan Jonathan Black. Itu karena Jonathan mengejar kelengkapan versi-versi yang ada. Perbedaan paling mencolok adalah, jika Mukti Ali meletakkan makhluk jin atau makhluk setengah berdaging itu hidup sebelum Adam (Homo Sapiens) diciptakan. Sedangkan Jonathan Black, berdasarkan narasi pengajaran kuno, meletakkan makhluk-makhluk ini hidup berdampingan dengan spesies Adam. 

Makhluk-makhluk pra-manusia terakhir yang mendiami bumi sebelum akhirnya naik ke langit, yang dikemukakan oleh Mukti Ali, adalah bangsa Nis-Nas. Mereka adalah penghuni Atlantis, surga yang hilang itu. Mereka adalah makhluk yang culas dan gemar berbuat kerusakan, meskipun juga mereka adalah makhluk yang cerdas. Maka langit menitahkan Iblis untuk menghabisi mereka semua. Bersamaan dengan itu, bencana besar terjadi, yaitu tenggelamnya pulau Atlantis. Namun sisa-sisa mereka masih ada, antara lain bersembunyi di gunung-gunung, di dasar laut, di dalam goa, dan di hutan-hutan, dalam bentuk makhluk mitos.

Versi pengajaran kuno yang diteliti oleh Jonathan Black lain lagi. Dewa-dewa atau makhluk setengah arwah semakin jarang terlihat di bumi, dengan kata lain masanya berakhir, seiring dengan unsur materi di bumi semakin mengalami kepadatan. "Karena roh dan materi bertentangan," demikian kata Jonathan Black pada halaman 131 bukunya itu.

Sedang peristiwa Atlantis, sejarah versi pengajaran kuno meletakkannya di zaman Dyonisos muda, atau yang kita kenal dengan Nabi Nuh (AS). Tenggelamnya Atlantis memang bukanlah serangkaian dengan banjir bah era Nuh, tetapi hubungannya adalah melalui sosok Gilgamesh, yang kelak diklaim sebagai epik yang menyangkal kebenaran kisah Nuh.

Dalam dunia sains kemudian ada yang mulai memperbandingkan antara Epik Gilgamesh dengan banjir Nuh. Temuan mereka kemudian menyimpulkan bahwa cerita Nuh tidak punya ketersambungan dengan bukti-bukti yang ada. Melainkan era Gilgamesh, lebih cocok karena lebih dekat ke zaman banjir besar.

Padahal antara Nuh (Dynisos) dengan Gilgamesh saling bertemu--dalam versi sejarah pengajaran kuno--dan Nuh adalah alasan mengapa Gilgamesh bisa mendapatkan kembang serupa mawar di dasar Atlantis, supaya kembali muda, meskipun ia segera mati sebelum benar-benar memanfaatkan kembang itu. Tetapi Gilgamesh lebih beruntung, dengan umur lebih panjang ketimbang Enkidu.

Kelak dari Dyonisos, makhluk di atas bumi berevolusi menuju ke kesadaran yang berpusat pada pikiran. Kelak, setelah era Dyonisos, evolusi kesadaran bergerak ke zaman Tower of Babel, di sana ada Abraham yang menghadapi Nimrod (Raja Namruz), lalu kita akan melihat bagaimana kesadaran itu menjadi lebih agung di zaman Islam, di tangan Muhammad. Walaupun zaman Islam bukanlah yang terakhir di buku itu.

***

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun